Published Oktober 18, 2007 by with 0 comment

Pembentukan Dinasti Abbasyiah, Perkembangan Politik, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban

A. Latar Belakang
Jatuhnya Daulat Bani Umayyah pada tahun 750 M dan bangkitnya Daulat Bani Abbasyiah telah menarik perhatian banyak sejarawan Islam klasik. Para sejarawan melihat kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantian sturuktur sosial dan ideologi. Maka, atas dasar itu, mereka menilai bahwa kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul The Abbasid Consfiracy and Modern Revolutionary Teory yang dikutip oleh Atho Mudzhar menyatakan bahwa ciri-ciri yang menyertai kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah ketika itu sama ciri yang menyertai revolusi di berbagai negara di dunia modern sekarang ini. Dengan teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang diamatinya yaitu Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa pada masa sebelum revolusi, ideologi yang sedang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa. Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak efisien, lalai dalam menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan zaman. Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik; The dissertion of the intellectuals. Keempat, bahwa revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kaum penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan sistem yang ada. Secara berangsur-angsur mereka ini menarik kembali dukungan mereka atas sistem yang berlaku sehingga tinggal sebagian kecil saja yang masih mendukung sistem lama sampai saat keruntuhannya. Maka pukulan terakhir atas sistem lama sebenarnya bukanlah karena kuatnya sistem baru yang akan muncul, melainkan karena semakin melemah sistem lama, disebabkan oleh berbagai internal crisis yang terjadi. Keempat ciri ini, ternyata didapati pada kebangkitan Daulat Bani Abbsyiah.
Demikianlah pentingnya kebangkitan Daulat Bani Abbsyiah dalam pandangan para sejarawan, sebagaimana juga dipahami oleh umat Islam bahwa zaman itu memang dicatat sebagai zaman keemasan Islam. Pada masa itu perkembangan pemikiran ke-Islaman mencapai puncaknya, para filosof Islam, ahli-ahli ilmu kalam, imam mazhab lahir dan berbagai kemajuan lainnya.

B. Teori-Teori tentang Kebangkitan Bani Abbasyiah
Pemahaman tentang sebab-sebab kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah oleh para sejarawan telah ditawarkan beberapa teori. Teori-teori itu umumnya menekankan pada salah satu aspek sebagai poros utama dari kebangkitan itu. Jika disederhanakan, sedikitnya empat teori tentang hal ini, dan masing-masing teori menekankan aspek tertentu dalam penjelasannya. Pertama, teori faksionalisme rasial, pengelompokan kebangsaan. Teori ini menyatakan Daulat Bani Umayyah itu pada dasarnya adalah Kerajaan Arab yang mementingkan kepentingan orang-orang Arab dan melalaikan kepentingan orang-orang non-Arab meskipun yang disebut terakhir ini sudah memeluk Islam seperti orang-orang Mawali dari Iran; daerah sebelah timur yang baru saja ditaklukkan oleh Islam ketika itu. Atas perlakuan diskriminatif itu oleh pihak penguasa, maka orang-orang Mawali Iran itu merasa kecewa dan kemudian menggalang kekuatan di wilayah Islam di sebelah timur yaitu Khurasan untuk menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Atas dasar itu menurut teori ini, jatuhnya Daulat Bani Umayyah adalah jatuhnya kerajaan Arab dan bangkitnya Daulat Abbasyiah adalah kemenangan orang-orang Iran atas orang-orang Arab. Kedua, teori faksionalisme sektarian; pengelompokan atas dasar paham keagamaan. Teori ini menerangkan bahwa kaum Syiah selamanya menjadi lawan dari Bani Umayyah yang dianggapnya telah merampas kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana diketahui bahwa Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah setelah kemenagannya atas Ali bin Abi Thalib atas siasat yang licik. Padahal menurut Syi’ah, orang yang berhak memegang pemerintahan setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Keberhasilan Bani Abbsyiah dalam menggulingkan Daulat Bani Umayyah, menurut teori ini terletak pada koalisi mereka dengan kelompok Syi’ah yang oposan. Bahkan untuk kadar tertentu Bani Abbasyiah juga menyerap ajaran-ajaran Khawarij. Atas dasar ini, maka teori ini menyatakan bahwa kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah akan dapat dipahami jika dilihat dari golongan-golongan penganut paham keagamaan tersebut di atas. Ketiga, teori faksionalisme kesukuan. Banyak sejarawan berpendapat bahwa persaingan antara suku Arab ala jahiliah sebenarnya masih terus berlangsung atau hidup kembali pasa masa Daulat Bani Umayyah. Antara suku atau qabilah yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan seperti suku Mudhariah bagi orang-orang Arab yang datang dari sebelah utara dan suku Yamaniah bagi orang-orang Arab yang datang dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap Khalifah dari Bani Umayyah didukung oleh salah satu dari kedua suku besar ini. Jika yang satu mendukung satu khalifah maka yang lainnya menjadi oposisi, demikianlah pertentangan ini berkepanjangan dan menyebar keseluruh wilayah kekuasaan Islam termasuk wilayah sebelah timur yaitu Khurasan. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Daulat Bani Abbasyiah di Khurasan; daerah teritorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat dari hasil pertentangan kedua suku tersebut di wilayah itu. Dengan kata lain menurut teori ini, Kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah akan dapat dipahami dengan lebih baik jika dilihat dalam bingkai pertentangan kedua kelompok ini. Keempat, teori yang menekankan kepada ketidakadilan ekonomi dan disparitas regional. Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiriah mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Daulat Bani Umayyah dengan keringanan pajak dan hak mengelola tanah pada wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, sedangkan orang-orang Arab dari sebelah timur khususnya Irak yang tinggal di wilayah Khurasan tidak memperoleh perlakuan seperti itu. Bahkan mereka harus membayar pajak yang tinggi yang administrasinya masih diatur oleh kaum ningrat Iran pra-Islam yang disebut Dihqan yang umumnya belum memeluk Islam. Dengan demikian, kekecewaan dikalangan Arab ini pun muncul dan mengkristal dari waktu-kewaktu, yang akhirnya berkeinginan menungbangkan Daulat Bani Umayyah itu sendiri-sendiri karena alasan-alasan diskriminasi ekonomi tersebut. Oleh karena itu menurut teori ini kebangkitan Bani Abbasyiah akan dapat dipahami dengan baik bila ditinjau dari sudut diskriminasi ekonomi ini.
C. Bani Abbasyiah dan Syi’ah
Khalifah Bani Abbasyiah yang pertama adalah Abdullah Abu al-Abbas, memerintah tahun 750-754 M. Namun usaha dan klaim untuk menduduki jabatan khalifah jauh sebelum masa hidup al-Safah. Sebagian sejarawan menilai bahwa klaim itu dimulai sejak masa hidup kakeknya bernama Ali bin Abdullah bin al-Abbas bin Abdul Mutthalib, cucu dari al-Abbas bin Abdul Mutthalib, salah seorang dari paman Nabi Saw.
Sejarawan mencatat bahwa al-Abbas yang hidup pada masa Nabi tidak pernah menunjukkan sikap dan ambisi politiknya. Ia juga tidak termasuk kelompok al-Sabiqun al-Awwalun karena ia baru memeluk Islam beberapa saat sebelum penaklukan Mekkah pada tahun 8 H/630 M, karena itu ia tidak memainkan peranan penting dalam sejarah Islam periode Mekkah kecuali hak shiqaya yaitu hak untuk membagikan dan menyuplai air kepada para jemaah haji. Gejala-gejala yang menunjukkan ambisi politik pada anak al-Abbas; Abdullah bin Abbas juga tidak terlihat. Ia malah menyibukkan dirinya untuk mempelajari al-Qur’an dan al-Hadis sehingga beliau dikenal sebagai salah seorang memiliki otoritas dalam bidang tafsir dan hadis di Hijaz pada saat itu.
Keturunan Bani Abbas yang pertama kali menunjukkan ambisi politiknya adalah Ali bin Abdullah bin Abbas(w. 118 H/736 M). Ia sering berkunjung ke istana Bani Umayyah di Damaskus terutama dimasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (685-705M). Ketika masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik(705-715 M), ambisi politik Ali bin Abdullah mulai tercium oleh kalangan Bani Umayyah sehingga Walid menindak Ali bin Abdullah hingga beliau mendapatkan tiga kali hukuman. Pertama, Ketika Ali bin Abdullah menikahi Lubaba bint Abdullah bin Ja’far; jandanya ayahnya. Hal ini dianggapnya sebagai sebuah penghinaan atas ayahnya. Kedua, Beliau dicurigai melakukan kegiatan politik anti Umayyah. Ketiga, dituduh membunuh saudaranya bernama Salit bin Abdullah. Untuk yang ketiga ini beliau dipukul, dipenjarakan dan kemudian diusir dari Damaskus hingga beliau tinggal dan wafat di Humaimah. Pendek kata Ali bin Abdullah oleh pemerintahan Umayyah dianggap sebagai figur yang dapat membahayakan kelangsungan kekuasaan politik mereka.
Setelah Ali bin Abdullah meninggal dunia, cita-cita politiknya dilanjutkan oleh anaknya bernama Muhammad bin Ali bin Abdullah. Pada masa hidup Muhammad inilah Bani Abbasyiah secara resmi berkoalisi dengan Syi’ah atau bahkan memklaim dirinya sebagai imam dari kelompok itu; garis keturunan non-Fatimah, setelah sebelumnya Abu Hasyim yang merupakan pewaris imamah dari ayahnya Muhammad bin Hanafiyyah mewariskan posisi tersebut sebelum beliau meninggal dan memerintahkan kepada para pengikutnya untuk mengikuti perintah Ibn Ali. Inilah langkah jitu dari Bani Abbasyiah yang melakukan koalisi dengan Syi’ah dalam rangka menggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Bani Umayyah.
Menyatunya kepemimpinan pada satu orang; Muhammad bin Ali merupakan suatu bentuk keberuntungan bagi Bani Abbasyiah untuk selanjutnya meluaskan pengaruh ke basis-basis Syi’ah. Ibn Jarir al-Thabary menyatakan bahwa tiga tahun setelah menjabat sebagai imam (100 H), Muhammad mengirim Maisara ke Iraq dalam rangka menjajaki perekrutan pengikut baru dalam gerakannya. Dukungan dari orang-orang Kufah di Iraq dengan mudah dapat diperoleh oleh Maisara. Dan selanjutnya mengirim tiga orang Kufah ke Khurasan untuk meluaskan pengaruh gerakan Abbasyiah. Di Khurasan mereka bertiga membentuk suatu komite yang terdiri dari 12 orang yang dikenal dengan nama Nuqabaa. Komite 12 ini kemudian membentuk komite yang lebih besar lagi yang terdiri atas 70 orang .
Kiranya patut dicatat di sini bahwa sampai tahap ini gerakan Bani Abbasyiah masih bersifat di bawah tanah dan menjadikan ahl al-Bait, al-rida Muhammad sebagai dasar gerakan.
D. Bani Abbasyiah dan Khurasan
Khurasan adalah suatu wilayah yang terletak di Iran timur dan ketika itu merupakan wilayah Islam yang paling timur. Sumber sejarah menyebutkan bahwa penaklukan Khurasan oleh Islam dimulai pada masa pemerintahan Usman bin Affan dibawah komando seorang Jenderal bernama Abdullah bin Amir yang juga merangkap gubernur Bashrah dari tahun 29-35 H/ 649-655 M. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa penaklukan itu dimulai pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Srdangkam Ibn Jarir sendiri mencatat bahwa penaklukan itu terjadi pada tahun 22H/643 M.
Penduduk Khurasan sebagian besar merupakan keturunan-keturunan yang berasal dari suku-suku Arab kecuali sekitar 1000 orang yang merupakan bekas rakyat kerajaan Sassanian Iran yang telah takluk kepada Islam. Mereka yang berasal dari keturunan Arab ini merupakan bekas-bekas tentara yang ditinggalkan di Khurasan oleh Abdullah bin Amir dalam rangka menjaga keamanan wilayah tersebut akibat kekaucauan yang sering terjadi oleh rakyat setempat.
Wilayah Khurasan dari sejak awal hanya merupakan bagian dari wilayah Basrah hingga pada masa kekhalifaan Ziyad dimana beliau menjadikan Khurasan sebagai sebuah provinsi yang berdiri sendiri dan sebagai gubernurnya adalah anaknya yang bernama Ubaidillah. Pada masa selanjutnya, gebernur berganti gubernur sampai akhirnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86H) Khurasan digabungkan kembali menjadi bagian dari provinsi Iraq yang gubernurnya ketika itu adalah al-Hallaj. Salah satu alasan pokok penggabungan tersebut adalah karena Khurasan selalu menjadi tempat yang subur bagi huru-hara dan rasa tidak puas dari orang-orang Arab yang menetap disana atas kebijakan pemerintahan pusat di Damaskus.

Download makalah lengkapnya...

0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..