Published November 03, 2007 by with 0 comment

PEMBAHASAN DINASTI GHAZNAWIH (Sejarah Pembentukan, Kemajuan, dan Kemunduran)

A. Sejarah Pembentukan Dinasti Ghaznawih
Cikal bakal eksistensi dinasti Ghaznawih didirikan pada tahun 351 H / 962 M oleh Alpatikin, seorang budak belia berbangsa Turki yang dibeli oleh Amir Abd al-Malik bin Nuh (342-350 H / 954-961 M), salah seorang penguasa dinasti Samaniyah. Oleh Abd al-Malik bin Nuh mengangkatnya sebagai anggota pengawal istana dinasti Samaniyah. Karena keberanian dan jasa-jasanya yang banyak Alpatikin diangkat sebagai kepala pengawal dan selanjutnya diangkat sebagai gubernur di Khurasan pada tahun 961 M, salah satu daerah di bawah kekuasaan dinasti Samaniyah.
Setelah satu tahun menjabat sebagai gubernur, Alpatakin bersama tentaranya bergerak menuju Ghazna untuk dikuasainya dan akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan, dan berhasil menguasai wilayah tersebut dari penguasa aslinya yang bernama Padshah, sekutu dari Hindu Shashis, Kabul. Ghazna adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebelah selatan kota Kabul, Afghanistan. Alasan Alpatakin untuk menguasai kota tersebut sebagai sasaran awal penaklukan adalah karena letak geografis wilayah tersebut yang cukup strategis sebagai pusat perdagangan dengan India, sehingga akan menguntungkan pemerintahan baik dari segi ekonomi, politik, maupun keperluan militer.
Alpatakin meninggal pada tahun 963 M, kemudian kekuasaan dinasti Ghaznawih digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Ishak bin Alpatakin di kota Ghazna tersebut. Abu Ishak berkuasa selama 13 tahun. Baik pada masa Alpatakin maupun pada masa Abu Ishak bin Alpatakin dinasti itu belum mengalami kemajuan yang berarti. Setelah Abu Ishak meninggal pada tahun 976 M, kekuasaan pemerintahan digantikan oleh menantunya yang bernama Sabaktikin (977-997 M), (juga bekas budak berbangsa Turki) yang memegang kendali kekuasaan di Ghazna sebagai penerus Abu Ishak. Sabaktikin memprakarsai penguasaan jalan-jalan lalu lintas ke India.
Sabaktikin inilah yang dianggap sebagai pendiri dinasti Ghaznawih, sebagai pemimpin yang handal dan berpengaruh, serta telah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan dinasti Ghaznawih selanjutnya. Namum ia masih menganggap dirinya sebagai gubernur bawahan dinasti Samaniyah. Dengan demikian ia masih mengakui hak Dipertuan dinasti Samaniyah tersebut. Hal ini terlihat pada mata uang yang dikeluarkannya atas nama Nuh bin Mansur dan namanya sendiri.
Pada tahun 997 M, Sabaktikin meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Ismail bin Sabaktikin. Ia memerintah hanya sekitar 7 bulan, karena kurang cakap dalam mengendalikan pemerintahan, akhirnya kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh saudaranya yang bernama Mahmud bin sabaktikin yang memerintah dari tahun 997-1030 M.
Pada masa inilah dinasti Ghaznawih mencapai puncak kejayaannya, sehingga disebut dengan Mahmud al-Ghazni atau Mahmud dari Ghazni. Ia seorang tokoh yang masyhur, administrator, pemberani, dan menguasai sebagian besar benua India.
Mahmud al-Ghazni telah membuktikan dirinya sebagai penguasa yang cakap, bijaksana, dan besar baik dalam perang maupun damai. Ia adalah penakluk yang tak terkalahkan, seorang administrator ulung serta pembangun yang besar. Khalifah Abbasiah dari Baghdad dan al-Kadir Billah mengakui Mahmud sebagai penguasa Ghazni dan Khurasan, serta menganugrahkan gelar kepadanya “Yamen al-Dawala” dan “Yamin al-Milal”.

B. Kemajuan Dinasti Ghaznawih
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Sabaktikin sebagi pendiri dinasti Ghaznawih yang berkuasa selama kurang lebih 20 tahun telah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan dalam pemerintahan, yang kemudian mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan sesudahnya yaitu pada masa Mahmud al-Ghaznawih. Kemajuan-kemajuan yang dicapai meliputi bidang politik, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.
1. Bidang Politik
Langkah awal yang dilakukan Mahmud adalah memperkuat daerah Khurasan (tempat kakeknya Alpatakin dipecat dari jabatannya sebagai Gubernur), Transoxsania sampai sungai Oxus (999 M). Kemudian meluaskan kekuasaan sebagai lanjutan dari Sabaktikin ke India bagian utara, sehingga berhasil menguasai Punjab, termasuk Multan dan Lahore serta sebagian daerah Sind. Kalau Sebaktian hanya cenderung mengadakan semacam penjarahan kekuasaan tersebut, maka Mahmud berhasil memperkuat dan mengokohkan kekuasaannya.
Di samping wilayah-wilayah tersebut, ia juga berhasil menguasai wilayah-wilayah bagian India lain seperti Pashawar, Kashmir, Bathinda, Delhi, Buluchistan, Mathura, Kanauj, Kalinjar, Makran, Kirman, Gujarat, Surat, dan Newahand. Untuk mengendalikan kekuasaan di India yang hampir seluruhnya dikuasai, Mahmud mengangkat seorang Gubernur yang berkedudukan di Lahore.
Dalam hal ini, Heig mengatakan bahwa Mahmud al-Ghaznawi adalah seorang raja India yang pada masa hidup beliau telah menduduki Punjab dan daerah sekitarnya.
Mahmud berhasil menaklukkan wilayah Afghanistan yang bernama Gur, dan Syamsabani sebagai penguasa daerah yang berada di bawah naungannya. Pengangkatan ini merupakan langkah politik yang tepat, yang tampaknya lebih dimaksudkan untuk efektifitas pengawasan wilayah tersebut di masa selanjutnya.
Ketika kekuasaan Samani yang terus menurun dan akhirnya secara formal diakhiri oleh kelompok Turki Karluk pada tahun 999 M memberi kesempatan kepada Mahmud untuk memperkuat posisinya sebagai penguasa independen. Ia berhasil menguasai Iran termasuk Rayy dari kekuasaan Buwaihi (1026 M), Isfahan, Khwarazm, dan Jibal, sehingga di satu pihak membendung ekspansi Karluk dan di pihak lain menekan orang-orang Buwaihi. Sebelum ini terjadi pada tahun 1025 M Mahmud menaklukkan Gujarat yang merupakan penaklukan terakhir di bagian wilayah India.
Dengan demikian sampai akhir hayatnya wilayah teritorial dinasti Ghaznawih telah meliputi daerah-daerah di India, Persia, Khurasan, Turkhirstan, sebagian Transoxiana, dan Afghanistan.
Adapun faktor-faktor pendukung yang menyebabkan Mahmud al-Ghaznawi dalam memperluas wilayah teritorialnya antara lain:
a. Letak Ghazna yang strategis di puncak dataran tinggi, hal ini memudahkan Mahmud mengadakan ekspansi militer.
b. Semangat agama dan jihad yang tinggi pada diri Mahmud dan pasukan militernya.
c. Keinginan memperoleh harta ghanimah yang akan digunakan untuk keperluan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
d. Keadaan laskar Mahmud yang mahir dan memiliki strategi perang dan didukung oleh semangat yang tinggi, peralatan perang yang lengkap. di samping itu karena adanya perpecahan di kalangan raja-raja India.
2. Bidang kebudayaan
Mahmud al-Ghazni menjadikan kota Ghazni sebagai kota yang hebat dan megah dalam pembangunan. Bahkan ia dijuluki dengan “Permaisuri Timur”. Masjid agung Ghazni dikenal sebagai “Pengantin Surga” dan merupakan keajaibaan dunia timur pada saat itu. Di samping itu ia juga menghiasi kota Ghazni dengan museum, sebuah perpustakaan dan sebuah universitas serta masjid-masjid yang indah, pendopo-pendopo, air mancur, waduk, talang-talang air dan tempat-tempat penampungan air yang membuat orang takjub, semua dibangun dalam bentuk yang megah.
Mahmud dalam mensejahterakan rakyat, dibangunnya parit-parit untuk keperluan pertanian hal ini dapat membangkitkan semangat rakyat dalam usaha pertanian tersebut. Daerah kekuasaannya yang jauh dihubungkan dengan jalan-jalan yang bagus dan indah yang bagian-bagiannya terlihat tempat-tempat penginapan para pembesar . Hal ini menjadikan perkembangan pesat terhadap perkembangan di dalam kerajaan. Di sisi lain Mahmud al-Ghazni juga membangun sebuah kandang besar berkapasitas kurang lebih 1000 ekor binatang dan bangunan tempat tinggal para pelayannya.
Sebagai bukti keberhasilan Mahmud terdapat pekerjaan umum yaitu parit-parit yang masih ada dan dipergunakan dampai sekarang. Parit tersebut dibangun di mulut sebuah celah 18 mil jauhnya dari Ghazni, 25 kaki di atas permukaan air sungai Nawar sepanjang 200 yard. Di sisi lain banyak gedung-gedung megah dibangun, sehingga membuat orang terpesona melihatnya.
3. Bidang ilmu pengetahuan dan kesusasteraan
Di samping memberi perhatian besar kepada upaya perluasan dan pembangunan wilayah, Mahmud juga mempunyai kepedulian yang cukup besar kepada upaya pengembangan dan pembinaan ilmu pengetahuan serta kesusastraan, sehingga pada masa itu tercatat nama-nama seperti Farukhi, Usri, Manukheri, Asjudi, dan Firdausi yang terkenal dengan karya sastranya berjudul Shah-Nama, yaitu syair-syair kepahlawanan yang merupakan epik tentang raja-raja Iran Kuno di Persia. karya sastrawan tersebut di kemudian hari dipandang sebagai cikal bakal perkembangan kesusastraan di Iran khususnya dan di dunia Islam pada umumnya.
Di sisi lain tercatat pula nama al-Biruni dengan hasil karyanya tentang astronom yang masyhur adalah al-Qanun al-Mas’udi fi al-Hay’ah wa al-Nujum. Buku tersebut merupakan ensiklopedi terlengkap tentang astronomi, geografi, dan sebagainya. Buku lain yang ditulisnya adalah al-Atsar al-Baqiyah (bekas-bekas peninggalan) ditulis dengan berbahasa Arab. Setelah al-Biruni tercatat pula al-Utbiy, dia adalah sejarahwan dengan karya monumentalnya al-Yamin, dan masih banyak lagi buku-buku yang ditulis yang mungkin tidak semua sampai ke tangan kita.
Mahmud sangat menaruh perhatian besar terhadap para ilmuwan, ulama dan sastrawan. Hal ini terlihat bahwa ia tak tertandingi mungkin hingga saat ini dalam kedermawanannya demi pendidikan dan ilmu pengetahuan. Di antaranya universitas yang dibangun dilengkapi dengan koleksi terbesar buku-buku dalam aneka bidang dan bahasa. Kemudian sebuah museum keajaiban alam termegah ketika itu dan keraton-keraton yang dipenuhi oleh orang-orang jenius dalam segala bidang serta penyair-penyair yang terdiri dari 400 orang.
Di antara tokoh-tokoh intelektual yang menerangi keraton-keraton di samping terdapat ahli astronomi dan metafisika al-Biruni juga terdapat filosof dan ahli teori musik al-Farabi, filosof dan ahli bahasa al-Anshari, penyair jenaka Manuchecri, penyair besar Asjadi dan lain-lain.
Tercatat dalam sejarah bahwa kisah mengenai bagaimana ia (Mahmud) membayar 60.000 keping perak kepada Firdausi seperti yang telah disetujuinya, dan demikian pula kepada para ilmuwan lainnya.
Tercatat pula pada masa Mahmud dan putranya Mas’ud para ilmuwan lain seperti Ibnu al-Arraq dan Ibnu al-Khammar, al-Baihaqi seorang sejarahwan, dan pada masa ini pula dalam masalah menerologi al-Biruni menulis buku berjudul al-Jamahir fi al-Ma’rifat al-Jawahir (buku kumpulan pengertahuan tentang batu permata).
Mahmud al-Ghaznawi sendiri selain ahli dalam bidang peperangan dan bidang pembangunan termasyhur juga dalam bidang ilmu pengetahuan. Ia sangat menghormati para sarjana, sebagai bukti terlihat pada uraian di atas, bahwa kota Ghazna tidak saja dijadikan sebagai tempat pertahanan perang tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya para ulama, ilmuwan yang ahli dalam segala bidang baik dalam persoalan keduniawian maupun agama. Hasjmy mengatakan dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam bahwa Mahmud menjadikan istananya sebagai majlis ilmu pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..