Published Desember 25, 2007 by with 0 comment

MUKTI ALI (Ijtihad dan Pembaharuannya)

Pergumulan antara Islam dan modernitas yang membawa ide-ide pembaharuan merupakan salah satu agenda permasalahan yang dihadapi oleh kaum Muslim di berbagai belahan dunia Islam setelah berabad-abad lamanya mengalami stagnasi, taqdis al-fikr dalam berbagai sendi kehidupan manusia. Kondisi ini telah mengundang pemikir-pemikir Islam diberbagai belahan dunia untuk memberikan diagnosa sekaligus merumuskan solusinya masing-masing.

Dalam konteks keindonesiaan, gaung pemikiran para tokoh-tokoh modernitas tersebut memberikan warna tersendiri bagi perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia. Salah seorang intelektual Muslim terkemuka yang menaruh minat besar terhadap wacana pemikiran keagamaan ini adalah Mukti Ali, mantan Menteri Agama Republik Indonesia yang pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Yogyakarta.
Mukti Ali, dalam pandangan banyak orang dikenal sebagai tokoh Muslim yang memiliki pemikiran yang beragam. Ia, berlatar belakang santri tradisional, menjadi tokoh organisasi revivalis; Muhammadiah, pelopor Ilmu Perbandingan Agama dan yang tak kalah pentingnya, beliau adalah mantan Menteri Agama yang melakukan re-orientasi penting dalam kebijakan politik-keagamaan di masa Orde Baru.
Perjalanan pemikiran keislaman dan politik beliau dianggap menampilkan dua kutub pemikiran yang berbeda. Beliau disebut sebagai tokoh Muslim terpenting yang telah memperjuangkan pluralisme keberagamaan di Indonesia. Pada sisi lain, ia dituduh sebagai agen politik Orde Baru dalam membangun basis legitimasi politik dan sekularisasi dalam masyarakat.

Berdasar pada gambaran di atas, pertanyaan yang patut dijawab adalah bagaimana konsep ijtihad yang dipahaminya hingga melahirkan pembaharuan pemikiran, aspek-aspek pembaharuan apa yang telah beliau cetuskan? benarkah beliau menjadi agen Orde Baru?

Mukti Ali: Personalitas dan Latar Belakang Kehidupannya.
Penulis teringat dengan sebuah pemikiran yang dilontarkan oleh seorang tokoh filsafat Perancis abad XX M. Michel Foulcault tentang pentingnya sejarah kehidupan seseorang dalam membentuk struktur berpikirnya. Dalam sebuah karyanya, The Order of Things: An Archeology of The Human Science, Foulcault yang dikutip oleh Wahyudi menyebutkan bahwa manusia disetiap zaman memandang, memahami, dan membicarakan kenyataan dengan cara tertentu. Setiap abad atau zaman memiliki ciri dan corak epistimologi sendiri dengan peranan bahasa yang juga berlainan sama sekali.
Kaitan antara pemikiran Michel Foulcault dengan Mukti Ali adalah upaya untuk memahami kondisi objektif yang melingkupi kehidupannya (baca : Mukti Ali) sehingga dengan demikian tergambar jelas konteks setiap pemikiran yang beliau lahirkan.
Mukti Ali yang dimasa kecilnya dikenal dengan nama Bedjono lahir di sebuah kota kecil bernama Cepu, pada tanggal 23 Agustus 1923. Orang tuanya adalah sosok yang sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Ia mulai dari mendatangkan guru ngaji dan ibadah ke rumah mereka, memasukkan Mukti di sekolah milik Belanda HIS hingga mengirimnya ke pondok Pesantren Termas, Kediri, sebuah pesantren yang menggunakan metode madrasi; sistem sekolah dengan menggunakan kelas. Bedjono tidak hanya belajar di pesantren itu , tetapi juga diwajibkan mengikuti kegiatan ngaji kitab dengan sistem sorongan (bacaan) atau bedongan (diskusi) dengan materi terdiri dari ilmu fikih, hadis, tasawuf dan akhlak. Lewat pendidikan di pondok inilah, dikemudian hari ia dapat mengapresiasi khazanah intelektual Islam klasik.
Di tengah-tengah pergumulannya dengan dengan pengalaman keagamaan, selama di Termas juga, Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal mengorganisasikan kegiatan politik. Tidak mengherankan pada tahun kelima sepanjang hidupnya di Termas, yakni pada tahun 1945, ia dan bersama teman-temannya ikut terlibat dalam “pergerakan” ;
Perhatiannya terhadap dunia politik pada masa pergerakan membuat karir politiknya terus berkembang. Pada tahun 1946, ia terpilih sebagai Dewan Wakil Rakyat untuk kabupaten Blora, mewakili Masyumi. Selama keanggotaannya, beliau banyak mendapatkan wawasan tentang masalah sosial-politik umat Islam.
Keterlibatannya dalam dunia politik memotivasi beliau untuk mengambil keputusan untuk mendaftar menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) DI Yogyakarta –Universitas Islam Indonesia(UII) sekarang ini- pada tahun 1947. Beliau diterima sebagai mahasiswa tingkat persiapan pada Fakultas Studi Agama.
Pada masa kuliah inilah beliau bertemu dan akhirnya tertarik pada K. H. Mas Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah dan dosen yang paling dikaguminya di STI. Mukti Ali kagum dengan cara mengajar Kiyai Mas Mansur yang lebih banyak memberikan pemahaman dan penafsiran baru mengenai wawasan keagamaan.
Keasyikannya belajar di STI terhenti akibat kedatangan Belanda ke Yogyakarta yang dalam perkembangan selanjutnya berujung pada terjadinya pertempuran antara pada tahun 1949. Jiwa patriotismenya terpanggil untuk ikut terjun dalam medan pertempuran sebagai anggota pasukan tentara Angkatan Perang Sabil (APS) di bawah pimpinan K. H. Abdurrahman dari Kedungbanteng.
Setelah kedaulatan negara Republik Indonesia kembali diakui, Mukti Ali menerimana tawaran orang tuanya untuk naik haji dengan syarat beliau diizinkan untuk tinggal belajar di Mekkah dan Madinah.
Tiba di Mekkah tahun 1950, namun karena kondisi masyarakat Mekkah pada saat itu dari segi pendidikan tidak lebih baik dari umumnya masyarakat Indonesia. Beliau memutuskan untuk hijrah ke negara lain. Atas saran H. Imron Rosyadi, SH. Konsul Haji Indonesia waktu itu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari belajar di Mekkah karena situasi politik yang ditimbulkan oleh kerasnya gerakan Wahabi di Arab. Mukti Ali lantas mempertimbangkan untuk ke Mesir. Tetapi akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan.
Mukti Ali dengan kemampuan yang baik dalam bahasa Arab, Belanda, dan Inggris menyebabkan beliau diterima pada program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab,Universitas Karachi. Ia mengambil program sejarah Islam sebagai spesialisasinya.
Setelah menamatkan program tingkat sarjana muda, beliau melanjutkannya pada program Ph.D. di Universitas yang sama.Beberapa saat setelah itu, beliau diminta oleh Anwar Harjono; mantan sekjen Masyumi untuk meneruskan studinya ke McGill Universitas Montreal, Kanada tahun 1955.
Di Universitas McGill, beliau mengambil spesialisasi ilmu perbandingan agama. Pemahaman beliau tentang Islam berubah secara fundamental. Perkenalannya dengan metode studi agama-agama dan professor- professor studi Islam, khususnya Wilfred Cantwell Smith adalah awal dari semua itu.
Beberapa tahun setelah kembalinya ke Indonesia, beliau bergumul dalam wilayah pendidikan dengan merintis dan memperkenalkan disipilin ilmu perbandingan agama hingga berhasil menjadikannya sebagai jurusan baru dikalangan mahasiswa IAIN; Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1960. Dan pada tahun 1971 beliau ditunjuk menjadi Menteri Agama menggantikan K. H. Muhammad Dachlan; tokoh NU, yang belum habis masa jabatannya.
Ide-ide Pembaharuan Mukti Ali
1. Ijtihad
Dalam menghadapi keadaan dunia yang serba berubah dengan cepat, ada orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan prinsip-prinsip lama dengan berdalih bahwa al-Qur’an menyatakan seperti itu, begitu juga dengan sunnah Nabi. Mereka menyatakan bahwa itu adalah cara untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Ajakan ini kadang-kadang menarik karena diletakkan dalam bingkai “pemurnian”, “keaslian” dan sebagainya. Tetapi sikap seperti itu adalah “reaksi” yang tidak didasarkan pada sebuah pemikiran yang dalam dan komprehensif tentang teks-teks agama dan realitas sosial-kemasyarakatan. Kelompok seperti ini (baca: fundamentalisme) tidak menyelesaikan masalah.
Kelompok pemikiran seperti di atas, tidak menyadari betapa cepat dan kuatnya gelombang serbuan peradaban modernisasi yang tak terbendung telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia.
Bagi Mukti Ali sendiri, perubahan itu bukanlah sesuatu yang harus ditakuti ataupun dihindari karena itu adalah sesuatu yang mustahil. Sebagaimana ungkapan beliau :
Abad kita adalah abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan yang kritis dan cepat merata keseluruh ujung dan pojok dunia. Benturan-benturan itu adalah produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif, yang dengannya itu terjadi transformasi sosial dan kultural yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama. Transformasi yang sedemikian itu membawa masalah-masalah yang sulit, disertai krisis pertumbuhan.

Melihat kenyataan seperti di atas, menurutnya, disinilah peran ijtihad untuk melakukan upaya pembacaan secara cermat terhadap teks-teks agama dan mengaitkannya dengan konteksnya. Karena setiap teks-teks agama memiliki konteksnya sendiri-sendiri. Hal ini dapat dipahami dalam pernyataan beliau :
“Teks” (nash) Al-Quran dan As-Sunnah dipahami dengan mengingat keadaan yang berhunbungan disekitarnya, “konteks” dan dengan itu merupakan usaha untuk memahami agama secara “kontekstual”. Memahami agama secara kontekstual adalah sebuah keharusan. Artinya, agama hanya dapat berfungsi apabila ia benar-benar konstektual. Apabila tidak, maka agama hanya merupakan ajaran yang kosong saja. Dalam memahami ajaran Islam, umpamanya, kita harus berusaha mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara “teks” dengan “konteks” : antara “din” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Artinya kita harus berusaha untuk merumuskan ajaran Islam pada konteks ruang dan waktu tertentu.
Persoalan kita adalah bukan perlu tidaknya atau sah tidaknya pemahaman agama secara kontekstual. Setiap pemahaman agama harus kontekstual, karena dalam pemahaman itu harus ada “teks” dan “konteks”. Keduanya harus diperhitungkan. Persoalan kita adalah bagaimana mempertemukan keduanya “teks” dan “konteks”, dalam pemahaman kita. Ini merupakan persoalan, oleh karena amat tergantung pada pemahaman kita tentang hakikat “teks” dan “konteks” dan tempatnya dalam pemahaman kita.
Dalam upaya memahami “teks” dan “konteks” al-Qur’an dan sunnah Nabi. Beliau menawarkan pendekatan hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajiannya pada persoalan interpretasi; understanding of understanding terhadap teks, terutama teks kitab suci, yang datang dalam kurun waktu, tempat, serta situasi tertentu. Secara garis besar dibagi pada tiga pokok kajian, yaitu : the world the Author (dunia pengarang), the world of theTex (dunia teks) dan the world of the Reader (dunia pembaca).
Mukti Ali menegaskan, wahyu itu bersifat kekal dan universal untuk sepanjang zaman. Wahyu Allah (baca: al-Qur’an) atau dalam istilah Syafi’i, al-Wahyu al-Mathlu’ diturunkan kepada Nabi Muhammad dan beliau memiliki otoritas untuk menjelaskannya (baca; hadis, al-Wahyu ghair al-Mathlu’) keduanya adalah juga kontekstual dari kehendak Allah swt.Oleh karena itu masalah kita adalah bagaimana memahami kehendak Allah yang telah sampai kepada kita melalui konteks yang lain itu, sehingga merupakan kehendak Allah yang benar-benar mengenai kita dalam konteks kita, disini dan sekarang ini. Masalah hermeneutik kita, bukanlah bagaimana mengangkat kita agar bisa berada dalam konteks yang “lain” itu dan mencari kehendak Allah di “sana” tetapi justru bagaimana mengangkat “wahyu Allah” itu dari konteksnya yang “lain” untuk hadir dalam konteks kita disini dan sekarang ini. Tiada wahyu tanpa konteks.
Kerumitan pertama di dalam pemahaman kontekstual adalah bagaimana menghubungkan antara yang universal dan partikuler. Mencangkokkan sesuatu yang universal secara semena-mena pada yang partikuler adalah tidak benar. Karena pada hakikatnya yang universal itu selalu ada dalam bentuk yang partikuler. Mengutamakan yang partikuler dan mengabaikan dimensi yang universal juga adalah tidak benar. Karena Allah yang berfirman pada zaman ini tidak lain dan tidak bukan adalah Allah yang sama yang telah berfirman sepanjang zaman.
Persoalan kemudian adalah apakah seluruh ajaran Islam bisa dikontekstualkan tanpa ada pemisahan antara yang qath’iy ataupun yang dzanniy; antara aqidah, akhlak ataupun mu’amalah ? Untuk menjawab peratanyaan di atas, Mukti Ali menyatakan bahwa: Kontekstualisasi bukanlah subjektivisme dan relativisme kultural. Islam yang dipahami secara kontekstual adalah Islam itu, dalam artian pasti ada “masalah pokok” atau entitas “qur’anis” yang berlaku secara universal, yang dapat dikatakan bahwa bila ia diubah, maka seluruh identitas pun berubah pula. Ia tidak “qur’anis” lagi. Pemahaman Islam secara kontekstual lalu hanya merupakan kontekstualisasi, bukan Islam lagi.
Dari pernyataan di atas, menurut hemat penulis tergambar pemahaman beliau bahwa hal yang pertama harus mendapatkan perhatian serius dalam upaya kontekstualisasi adalah membedakan secara jelas antara aspek ajaran Islam yang pokok dan berlaku universal serta abadi. Ketika ajaran Islam dikontekstualisasikan; apakah yang bersifat qath’i ataupun dzanniy maka nilai-nilai keislaman tidak boleh kemudian terkaburkan ataupun terileminasikan oleh dominasi aspek konteks. Karena ketika itu terjadi, maka hilanglah nilai Islamnya. Pemahaman yang harus dimunculkan adalah disamping ia kontekstual ia juga qur’anis.
Penerapan metode ini menurut beliau adalah sesuatu yang tidak mudah. Pernyataan ini memgambarkan bahwa kontekstualisasi pada aspek-aspek ajaran Islam yang “qath’iy” masih membutuhkan perdebatan serius, termasuk menetapkan dalil-dalil mana dari teks-teks agama yang qath’iy.
Secara umum pandangan Mukti Ali tentang ijtihad sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh Muhammad Iqbal, seperti yang dikutipnya sendiri tentang the Principle of Movement atau dalam istilah Fazlur Rahman dalam menggambarkan makna sunnah adalah “Living Tradition”. Kedua istilah mengandung makna kontekstualisasi tanpa menghilangkan “ruh” atau “spirit” ajaran agama.
2. Sosio-Politik Keagamaan: Relasi Agama dan Negara
Pergumulan antara agama (baca: Islam) dan negara telah muncul dari sejak awal hingga saat ini telah melahirkan dua kutub pemikiran -untuk tidak mengatakan gerakan- yang saling berlawanan mewarnai percaturan politik di Indonesia. Pertama, Faksi politik Islam yang berjuang bagi berdirinya negara Islam, dan yang lain, konsep negara sekuler dari faksi non-politik Islam atau dalam istilah Endang Syaifuddin Anshari yang dikutip oleh Din Syamsuddin “nasionalis-Islamisis” versus “nasionalis-sekularis”.
Pergumulan kedua kubu tersebut terus berlansung, termasuk pada masa munculnya dominasi ABRI dan Golkar akhir tahun 1960-an. Pemerintah Orde Baru yang diwakili oleh ABRI dan Golkar berupaya untuk memperkuat basis politiknya dengan mengeleminir kekuatan-kekuatan politik lain, khususnya yang ada dalam pemerintahan. Salah satu hasil dari sikap itu adalah pemberhentian K.H. Mohammad Dachlan sebagai Menteri Agama karena afialiasi politiknya yang menguntungkan kelompok NU. Maka pada saat itu ditunjuklah Mukti Ali sebagai penggantinya.
Sebagai Menteri Agama yang baru, Mukti Ali dihadapkan pada agenda modernisasi politik Orde Baru yang memcoba memisahkan antara otoritas politik dan otoritas keagamaan yang terkesan mengarah pada pembentukan negara sekuler. Hal itu dalam pandangan umat Islam akan semakin meminimalisir dan menghilangkan peran dan hak dalam penentuan kebijakan di pemerintahan.
Ketika kerisauan dan kekhatiran itu muncul dari kalangan umat Islam, dalam konteks inilah, Mukti Ali memberi perhatian yang besar terhadap upaya untuk mendekatkan hubungan umat Islam dengan pemerintahan Orde Baru. Kepada para ulama dan politisi Muslim, ia menyakinkan iktikad baik pemerintah Orde Baru untuk membina kehidupan beragama. Pemerintah, dalam hal ini Departeman Agama, akan memberikan keluasan, bahkan membantu, umat Islam mengerjakan semua kewajiban agama.
Usaha itu terlihat jelas, ketika beliau mencanangkan berbagai program kegiatan keagamaan, seperti disekolah, penjara, rumah sakit, kantor-kantor pemerintah, dan sebagainya. Begitu pula kebijakan untuk mengembangkan seni baca al-Qur’an (MTQ Tingkat Nasional) dan LPTQ di tingkat propensi, kodya, kabupaten dan kecamatan. Pembentukan MUI sebagai lembaga aspirasi umat Islam. Penyusunan UUD Perkawianan 1974, walaupun dalam proses dialog yang cukup panjang dan menegangkan adalah sederet usaha yang tidak sedikit.
3. Dialog Antar Umat Beragama
Latar belakang pendidikan ilmu Perbandingan Agama yang ditempuhnya selama di Kanada telah begitu mempengaruhi pola dan paradigma beliau dalam melihat agama. Begitu juga kondisi sosial-keagamaan masyarakat Indonesia yang heterogen, plural; sering melahirkan perseteruan dan ketegangang. Bahkan pada saat beliau menjabat sebagai Menteri Agama ketegangan antara Islam dan Kristen memcapai puncaknya.
Melihat kondisi di atas, beliau secara maksimal melakukan upaya-upaya yang memungkingkan terjadinya pertemuan dan dialog antara pemeluk umat beragama.Walaupun beliau juga yakin bahwa kebijakan dialog antar-umat beragama semacam itu belum tentu akan membuahkan hasil perdamaian yang total antara komunitas-agama di negara seperti Indonesia.Tetapi, ia percaya bahwa pasti ada sekelompok sosial-keagamaan tertentu yang bisa diharapkan memberi sumbangan terhadap berjalannya dialog antar-umat beragama. Maka beliau menghidupkan kembali forum musyawarah umat-beragama yang ada pada masa K. H. Muhammad Dachlan, yang mandeg karena tidak adanya kesepakatan.
Disamping melakukan usaha-usaha dialog melalui forum-forum umat-beragama beliau juga memperkenalkan ilmu Perbandingan Agama -sesuatu yang belum populer- dikalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa IAIN, yang dewasa ini telah menjadi salah satu mata kuliah yang banyak diminati oleh mahasiswa.
4. Pendidikan
Pengalaman pendidikan yang dirasakan dalam hidupnya telah memberikan pengalaman tersendiri bagi beliau untuk kembali merumuskan dan memformulasikan satu sistem pendidikan yang relevan dan sesuai dengan perubahan zaman.
Ketika beliau menjabat sebagai Menteri Agama beliau merencanakan pembenahan lembaga pendidikan Islam dengan berinisiatif berembuk dengan Departemen P dan K. Setelah melalui proses yang panjang dan hati-hati, maka lahirlah Surat Keputusan Tiga Menteri, yaitu : Menteri Agama, Menteri P & K dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1975, yang menetapkan tiga keputusan, yaitu : (1) Agar semua madrasah -dalam semua jenjang- dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas, dan (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70 % pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.
Melihat garis besar keputusan ini, setidaknya ada dua sasaran politik masa depan pendidikan Islam yang diinginkan Mukti Ali, yaitu : (1) integrasi sistem pendidikan nasional, (2) masuknya kurikulum umum akan memberikan pembenahan yang transformatif kepada lembaga yang beriorientasi pada pengembangan sumber daya manusia.
Keputusan ini, pada awalnya ternyata melahirkan respon negatif bagi para pelaku lembaga pendidikan Islam. Dengan sikap apriori mereka menuduh bahwa upaya ini adalah upaya untuk menghilangkan misi pendidikan Islam yang beriorientasi pada pendidikan ilmu agama, walaupun bagi Mukti Ali sendiri dimaksudkan agar persepsi mereka tentang dualisme pendidikan dapat berakhir
Reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Mukti Ali tidak hanya terbatas pada pendidikan dasar hingga atas, tetapi beliau juga melakukan restrukturalisasi pada pendidikan tinggi. Termasuk pemberdayaan tenaga pengajar melalui pengiriman mereka ke luar negeri untuk pendidikan, seperti : Timur Tengah, Kanada, Belanda hingga ke Amerika Serikat.
Download selengkapnya...

0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..