Published Juni 20, 2010 by with 0 comment

Konsep Nur Muhammad Dan Insan Kamil

Kajian tentang haqiqat manusia (ma’rifat al-nafsi) merupakan obyek kajian yang menarik dan tidak kunjung selesai untuk dibicarakan bahkan diperdebatkan. Karena dengan akal yang dimiliki oleh manusia, berpotensi untuk mencari dan mengisi ruang-ruang yang kosong yang belum dijamah oleh manusia yang lain terhadap dirinya. Sehingga pembicaraan tentang manusia ini selalu menjadi dinamis mengikuti frame dan kondisi orang yang sedang berbicara.
Dalam diri manusia, terdapat dua potensi yang bergerak menopang manusia, dua potensi tersebut adalah jasmani dan rohani. Bila manusia ingin kontak langsung dengan Tuhannya, maka manusia menggunakan potensi rohaninya. Karena unsur Ilahiyah yang suci dalam diri manusia (Nur Muhammad) menjadi potensi yang dapat menghubungkan hamba dengan Tuhannya dalam mencapai kehidupan haqiqi dan abadi.
Unsur Ilahiyah merupakan substansi paling suci dalam diri manusia, karena ia berasal dari Tuahan. Jika unsur Ilahiyah tersebut dijadikan pedoman dalam menjalani kehudapan duniawi, maka manusia dapat meraih kehidupan sempurna, mulia dan tinggi di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, kehidupan sufisme sering dijadikan pola kehidupan manusia guna meraih kehidupan manusia yang haqiqi di hadapan Tuhannya. Dalam hal ini, yang menjadi pembahasan dalam makalah ini, yakni konsep Nur Muhammad dan Insan al-Kamil yang beredar di kalangan sufi, khususnya pada zaman Abd. Karim al-Jili.

Biografi Singkat al-Jili
Nama lengkap al-Jili adalah Abd. Karim ibn Ibrahim ibn Abd. Al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Namanya dinisbatkan dengan al-Jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi menurut Goldziher sebagaimana yang dikutip oleh Yunasril Ali, mengatakan bahwa penisbatan bukan pada Jilan, akan tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad.
Tahun kelahirannya adalah awal Muharram 767 H. di Bagdad bertepatan dengan 1365 M. ini disepakati oleh semua penulis yang meneliti riwayat hidup al-Jili. Dan tahun wafatnya 805 H/1402 M.
Sejak usia kanak-kanak ia dibawa orang tuanya berimigran ke Yaman karena situasi politik di Bagdan tidak aman, disanalah ia berguru berbagai disiplin ilmu agama. Tahun 790 H. ia berada di Kusyi, India. Ketika berkunjung ke India ini, al-Jili melihat tasawwuf falsafi Ibnu ‘Arabi dan beberapa aliran-aliran tarekat.
Pada akhir tahun 799 H. ia berkunjung ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Namun dalam kesempatan itu, ia sempat melakukan tukar pikiran dengan ulama di sana. Hal ini menandakan kepada kita bahwa ia mempunyai kecintaan kepada ilmu pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download lengkapnya...

0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..