Published April 25, 2011 by with 0 comment

Perbuatan Terpuji (Kritik Terhadap Sanad dan Matan Hadis)

Pendahuluan
Hadis Rasulullah Saw. merupakan sumber ajaran kedua setelah kitab suci Alquran. Ini berarti untuk mengetahui agama Islam yang benar di samping dibutuhkan petunjuk Alquran, juga dibutuhkan petunjuk hadis Nabi. Pemberdayaan fungsi hadis yang dimaksud, setelah diketahui adanya hadis itu berstatus sahih.
Kesahihan suatu hadis dapat diketahui setelah dilakukaknnya penelitian sanad dan matan. Karena itu, hadis dalam kedudukannya sebagai hujjah, maka keharusan adanya penelitian sanad dan matan sangatlah dibutuhkan.

A. Takhrij al-Hadis
Lafadz hadis yang diteliti adalah:
....أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا....
Untuk mengetahui hadis yang bersangkutan secara lengkap dan utuh, maka penulis menggunakan kitab “Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadsi al-Nabawiy” karya A. J. Wensink.

B. I’tibar sanad
Berdasarkan hasil penelitian pentakhrijan di atas, ditemukan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh enam mukharrij pada kitabnya masing-masing, melewati jalur yang berbeda-beda namun jalur itu bertemu pada dua periwayatan I untuk tingkat sahabat yaitu Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudriy.

C. Naqad al-Sanad
Sanad yang akan diteliti adalah dari jalur Ahmad bin Hanbal sampai pada Abu Hurairah, dengan urutan sebagai berikut:
1. Ahmad bin Hanbal : Mukharrij periwayat VI
2. Abd al-Razzaq : Sanad I periwayat V
3. Malik bin Anas : Sanad II periwayat IV
4. al-A’la bin Abdurrahman : Sanad III periwayat III
5. Abd al-Rahman : Sanad IV periwayat II
6. Abu Hurairah : Sanad V periwayat I
Dari gambar skema, terlihat syahid dari Abi Hurairah adalah Abu Sa’id al-Khudriy, sedang mutabi’nya karena jalur Ahmad bin Hanbal yang diteliti, maka mutabi’ bagi Abd Razzaq adalah Qutaibah, dan mutabi’ bagi Malik adalah Ismail bin Ja’far.

D. Naqad al-Matan
Sesuai dengan hasil penelitian, penulis dalam naqad al-sanad bahwa sanad dari jalur Ahmad bin Hanbal adalah “da’³f” sekalipun menurut al-Turmuziy sebagai hadis hasan sah³h, karena hadis ini memiliki syahid, sehingga tidak menutup kemungkinan dari kedua jalur yang lain yaitu Ibnu Majah dan al-Darimiy memilki sanad yang sahih, sehingga menjadilah hadis dari jalur Ahmad bin Hanbal sebagai hadis hasan.

Syarah Hadis
Dalam hadis lain dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. melarang Aisyah berlaku kasar dengan kalaimatnya sebagai berikut:
مهلا ياعائشة عليك بالرفق وإياك والعنف والفحشى
Artinya:
Hai aisyah hendaklah kamu berlaku ramah-tamah dan jauhilah sifat kasar lagi ganas seta perkataan jelek.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan Download disini untuk lengkapnya
Read More
Published April 10, 2011 by with 0 comment

Pemikiran Filsafat Ikhwan Al Shafa

Memasuki Masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yang dikenal sebagai zaman keemasan Islam, perkembangan pemikiran dalam Islam mengalami percepatan. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai ilmuan pada berbagai disiplin keilmuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya. Hal ini antara lain didukung oleh kebijaksanaan khalifah yang memberi fasilitas berupa lembaga bayt al-Hikmah yang berfungsi sebagai lembaga ilmu pengetahuan tempat transfer dan alih bahasa ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Salah satu disiplin ilmu yang banyak diminati oleh ilmuan muslim saat itu ialah filsafat.
Filsafat Islam yang merupakan hasil dari kontak Islam dengan filsafat Yunani ini setelah masuk ke dalam Dunia Islam di antaranya ada yang tetap mempertahankan tradisi Yunaninya, misalnya filsafat paripatetik yang merupakan sintesis ajaran wahyu –Aristotelianism – Neoplatonism, dan filsafat Hermatico Pitagorean. Salah satu aliran pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah perkembangan pemikiran filsafat Islam ialah Ikhwân al-shafâ. Aliran ini memiliki karakteristik tersendiri yang membeda-kannya dari aliran pemikiran yang lain, baik yang muncul sebelum maupun sesudahnya.
Makalah ini secara khusus akan mengungkap aspek displin ilmu keislaman tradisional yang telah dijelaskan di atas, yaitu Hubb Pemikiran filsafat Ikhwân al-Shâfa’.


A. Asal-Usul dan Karya-Karyanya
Sejak berdirinya Bani Buwayhi (334-447H) dunia pemikiran umat Islam khususnya yang beraliran Sunni memasuki masa suram. Gerakan pemikiran selanjutnya beralih ke dunia Syi’ah. Di tengah kondisi seperti itu muncul satu aliran religio-politik yang menamakan dirinya Ikhwân al-Shafâ’,
Ikhwân al-Shafâ’ yang berarti persaudaraan suci muncul di Basrah sekitar pertengahan abad keempat Hijriyah (abad ke-10 M.). dan memiliki cabang di Baghdad. Disebut juga Khullân al-Wafâ’, Ahl al-‘Adl, Abnâ al-Hamd atau dengan singkatan Ikhwânunâ atau Awliyâ Allah. Dalam literatur asing non-Arab, Ikhwân al-Shafâ’ kadang ditulis dengan nama aslinya, kadang juga diterjemahkan dengan Brethen of Purity, atau Pure Brethen , atau Brethren of Sincerity.
Mayoritas sejarahwan menganggap kelompok ini sebagai pengikut sekte Syi’ah Ismailiyah. Hal ini nampak dari tulisan-tulisan mereka yang menunjukkan kecenderungannya kepada Syi’ah Ismailiyah. Namun beberapa lama kemudian mereka kemudian keluar karena mereka tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam kegiatan propaganda politik.
Mereka tidak puas dengan sikap para penguasa dan ulama yang mereka anggap telah meracuni pikiran rakyat dan menuduh para filosof sebagai penganut bid’ah yang mengakibatkan kebekuan beragama, munculnya sikap fanatism, dan fatalism. Kehadiran kelompok ini didasari oleh semangat keinginan membersihkan dan mensucikan agama dari kejahilan dan kesesatan . Usaha yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut ialah filsafat, sebab filsafat merupakan satu-satumnya jalan yang menghimpun himmah i’tiqadiyah dan maslahat ijtihadiyah. Menurut Browne, yang dikutip Hassan Ibrahim Hassan, pemikiran filsofis mereka meneruskan tradisi Mu’tazilah khususnya yang berkaitan dengan pemaduan agama (syari’ah) dan ilmu pengetahuan dan filsaf Yunani dan unifikasi kebudayaan dan peradaban Islam. Ide mereka memadukan agama dan filsafat logis sebab pengalaman sejarah filsafat membuktikan bahwa perpaduan antara agama dan filsafat pada titik tertentu akan mengantarkan kepada kesempurnaan.
Karena sifat gerakan mereka yang sangat rahasia maka pelaksanaan pertemuan dilaksanakan secara berkala dan rekrutmen anggotapun dilakukan dengan sangat ketat, setiap anggota harus merahasiakan identitasnya sehingga terkadang sesama mereka tidak saling mengenal. Kehidupan antara anggota sangat bersifat communal dan fraternal.
Anggota yang direkrut setelah melalui seleksi yang ketat, selanjutnya diklasifikasi menjadi empat kategori sebagai berikut :
1. Al-Abrâr al-ruhamâ’, yaitu mereka yang suci lahir dan batin dalam menaggapi sesuatu dalam berfikir dan mendalami sesuatu ilmu. Kelompok ini antara umur 15-30 tahun.
2. Al-Akhyâr al-Fudhalâ’, mereka mempunyai sifat lemah lembut dan menyayangi sesama manusia, berusia antara 30-40 tahun, terdiri dari para politisi.
3. Al-Fudhalâ’ al-Kirâm, mereka mempunyai kemampuan berjuang dengan penuh semangat kesederhanaan, berusia antara 40-50 tahun, dan mereka dianggap sebagai kuasa dari pelaksanaan hukum ilâhi
4. Martabat al-Kamâl, merupakan peringkat tertinggi, berusia di atas 50 tahun, dipandang telah mencapai ru’ya al-qalbu ilâ al-haqq (persepsi visual terhadap kebenaran) dan dekat dengan Tuhan.
Dari kelompok ini dikenal lima orang yang dianggap sebagai tokohnya, yaitu Abû Sulayman Muhamamd ibn Ma’syar al-Busty yang populer dengan nama al-Muqaddasy, Abû al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjany, Abû Ahmad al-Mihrajanî, al-Awfi, dan Zaid bin Rifâ’ah . Nama yang terkahir disebut-sebut sebagai ketua.
Pertemuan secara rutin dilakukan setiap 12 hari bertempat di rumah ketua perkumpulan. Dalam pertemuan tersebut mereka mendiskusikan masalah keilmuan yang mencakup filsafat dan etika. Dari diskusi yang intens tersebut mereka koleksi sehingga menghasilkan karya yang merupakan khazanah peninggalan mereka yaitu Rasâil Ikhwân al-Shafâ wa Khullân al-Wafâ’
Rasâil Ikhwân al-Shafâ’ sumbernya selain dari hasil diskusi mereka, juga mendasarkannya pada empat jenis masâdir, yaitu:
1. Karya para hukamâ’ dan filosof mencakup matematika dan ilmu eksakta.
2. Kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi terdahulu, seperti Injil, Tawrât dan al-Furqân, termasuk suhuf para nabi yang maknanya bersumber pada wahyu
3. Kitab-kitab tentang yang disusun berdasarkan anomali kosmos.
4. Kitab Jawâhir al-Nufûs yaitu kitab ilâhiyah yang tidak tersentuh kecuali oleh insan yang suci.
Rasâil Ikhwân al-Shafâ’ yang tersebut di atas mendapat penghargaan yang cukup tinggi khususnya bagi sekte Syi’ah Isma’iliyah, bahkan menganggapnya sebagai al-Qur’ân setelah al-Qur’ân , karena dianggap sebagai hasil karya sekte mereka dan dinilai sebagai karya esoterik.

B. Pemikiran Filsafatnya
Pemikiran filsafat Ikhwân al-Shafâ’ dapat ditelusuri hanya melalui Rasâil mereka yang berjumlah 52. Rasâil untuk pertama kali diterbitkan secara lengkap di Bombay-India tahun 1887-1889, kemudian diedit oleh al-Zirikhli dan diterbitkan di Cairo (1928), kemudian di Beirut (1957). Berdasarkan materinya dapat diklasifikasi sebagai berikut :
a. 14 risâlah tentang matematika dan yang berkaitan dengannya
b. 17 risâlah tentang ilmu eksakta
c. 10 risâlah tentang psikologi
d. 11 risâlah tentang metafisika.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More