Published Desember 19, 2011 by with 0 comment

Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance
2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.

B. Filsafat Ilmu Era Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.
Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.

C. Filsafat Ilmu Era Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme

D. Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka Download makalah lengkapnya...
Read More