Published Januari 24, 2012 by with 1 comment

MUHAMMAD IQBAL (Teori Gerak dan Kedinamisan Islam)

 MUHAMMAD IQBAL 
(TEORI GERAK DAN KEDINAMISAN ISLAM)

B A B I
PENDAHULUAN


Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslim dalam keseluruhan aspeknya, baik yang bersifat individual ataupun kolektif. Karena karakteristiknya yang serba mencakup tersebut, hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam.
Di awal perjalanan sejarahnya, hukum Islam atau fiqh merupakan suatu yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang masing-masing memiliki corak tersendiri sesuai dengan latar belakang sosio-kultural dan politik dimana mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Perkembangan yang dinamis dan kreatif ini setidaknya didorong oleh empat faktor utama: pertama, dorongan keagamaan. Karena Islam merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan kaum muslim, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut ataupun mengintegrasikan kaum muslim ke dalamnya selalu muncul ke permukaan. Demikian juga hukum Islam yang bersifat mencakup, harus selalu dapat memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang dihadapi masyarakat.

Kedua, dengan meluasnya domain politik Islam pada masa khalifah Umar ibn Khaththab, terjadi pergeseran-pergeseran sosial yang pada gilirannya menimbulkan sejumlah problem baru sehubungan dengan hukum Islam yang harus mendapat penanganan serius. Dengan latar belakang semacam inilah Umar tampil dengan sejumlah kebijaksanaan radikal yang belakangan sering dijadikan sumber justifikasi terhadap gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam.
Ketiga, independensi para spesialis hukum Islam dari kekuasaan politik. Kemandirian ini telah menyebabkan mereka mampu mengembangkan pemikiran hukumnya tanpa mendapat rintangan yang berarti. Keempat, fleksibilitas hukum Islam itu sendiri yang membuatnya mampu untuk berkembang mengatasi ruang dan waktu.

Dengan berlalunya waktu, perkembangan hukum Islam yang amat dinamis dan kreatif dalam perjalanan sejarahnya yang awal, kemudian menjelma ke dalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hukum terkenal. Dengan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan tertutup.1 Sementara pengaruh sufisme yang semakin meluas telah mengaburkan visi umat Islam dan membenamkan mereka ke alam taqlid. Dengan demikian, hukum Islam kini telah mengalami kemalangan serius dan sarat dengan muatan-muatan asing.
Pada abad ke-19 beberapa intelektual muslim bangkit menyadari permasalahan yang timbul dan mulai berbicara tentang kebutuhan “membuka gerbang (pintu) ijtihad”. Di antara intelektual muslim tersebut ialah Muhammad Iqbal. Bagaimana model pemikiran Iqbal tentang permasalahan tersebut?. Itulah yang akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini.

----------

B A B II
PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal adalah seorang penyair, filsuf dan pembaharu pemikiran dalam Islam yang dilahirkan pada 22 Pebruari 18732 di Sialkot, sebuah kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Seperti sebagian besar tokoh India dan Pakistan lainnya, Iqbal berasal dari keluarga sederhana, namun berkat bantuan beasiswa yang diperolehnya di sekolah menengah dan perguruan tinggi ia dapat memperoleh pendidikan yang bagus.4 Ayahnya, Nur Muhammad adalah seorang Muslim yang saleh dan seorang sufi yang telah mendorong Iqbal untuk menghafal al-Qur’an secara teratur. Keadaan orang tuanya yang memiliki jiwa keagamaan yang teguh dan kecenderungan-kecenderungan spiritual berpengaruh terhadap perilaku Iqbal secara menyeluruh.

Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray College, Sialkot. Di sini, oleh ayahnya ia diperkenalkan dengan seorang ulama besar, Sayyid Mir Hasan, guru dan sahabat karib orang tuanya. Setelah me-ngetahui kecerdasan Iqbal, guru yang bijaksana itu segera menyarangkannya agar ia terus menuntut ilmu. Pendidikan dari ayah dan gurunya tersebutlah yang sangat berkesan di hati Iqbal dan kemudian mengantarkannya menjadi seorang tokoh yang memiliki komitmen terhadap Islam secara utuh.
Pada 1895, setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di sialkot, Iqbal pergi ke Lahore, pusat intelektual di barat laut India untuk melanjutkan studi di Government College (sekolah tinggi pemerintah) hingga memperoleh gelar kesarjanaan MA. dalam ilmu Filsafat pada 1898. Di kota inilah ia ber-kenalan dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis yang mendorongnya untuk melanjutkan studi di Inggris. Pada tahun 1905 ia pergi ke negara tersebut dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mendalami studi Filsafat. Di samping itu, ia juga mengikuti kuliah hukum di Lincoln’s Inn, London. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munchen, Jerman, untuk lebih memper-dalam studi filsafatnya di Universitas Munchen. Di sinilah ia memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph. D.) setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “The Development of Metaphysics in Persia” (Perkembangan Metafisika di Persia).7 Pada 1922, ia dianugerahi gelar kehormatan “Sir” (Sir Muhammad Iqbal – pen.) oleh pemerintah Inggris karena jasanya dalam me-ngembangkan ilmu pengetahuan, terutama sastra Inggis dan Filsafat.

Selama 3 tahun menetap di Eropa, Iqbal berkesempatan mempelajari dari dekat pengetahuan dan peradaban Barat. Ia banyak mengkaji buku-buku ilmiah di perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Di samping itu, ia juga mempelajari watak dan karakteristik orang-orang Eropa. Dari hasil peng-kajiannya itu, Iqbal berkesimpulan bahwa terjadinya berbagai macam kesulitan dan pertentangan disebabkan oleh sifat-sifat individualistis dan egoistis yang berlebihan serta pandangan nasionalisme yang sempit. Menurutnya, agar tidak sempit dan memiliki dasar universal, paham nasionalisme mesti diintegrasikan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh gerakan pembaharuan agama dan gerakan kebudayaan baru. Pada sisi lain, Iqbal mengagumi sifat dinamika bangsa-bangsa Eropa yang tidak mengenal puas dan putus asa. Sifat inilah yang kelak membentuk Iqbal menjadi seorang pembaharu yang mengembangkan dinamika Islam.
Demikianlah Iqbal mengenal, menyaksikan dan mempelajari per-adaban Barat secara intens dari dekat, namun berbeda dengan sekelompok pemikir lain yang tergiur oleh penampilan peradaban Barat, lalu dengan cara yang sangat sumier menerima dan berambisi untuk menerapkan konsep asing itu, maka Iqbal dengan pandangannya yang tajam, memisahkan mana yang bisa dibawanya kembali ke masyarakatnya.
Iqbal menghembuskan nafas terakhirnya pada 21 April 1938 dalam usia 65 tahun, setelah menderita penyakit yang berlarut-larut sejak 1934.


B. Pemikiran Muhammad Iqbal Tentang Gerak dan Kedinamisan Islam

Setelah mempelajari watak bangsa-bangsa Eropa, ada tiga hal yang memberi kesan yang mendalam pada diri Iqbal, yaitu vitalitas dan dinamisme kehidupan orang-orang Eropa, kemungkinan-kemungkinan yang terbentang amat luas bagi manusia serta pengaruh yang mengancam harkat manusia yang dimiliki masyarakat kapitalis atas jiwa orang-orang Eropa. Kenyataan terakhir menguatkan keyakinannya atas keunggulan Islam sebagai cita-cita moral dan spiritual dan olehnya itu ia berusaha keras untuk mempertahankan dan mengembangkan cita-cita tersebut.
Untuk memajukan umat Islam India, Muhammad Iqbal menge-tengahkan beberapa pemikiran, di antaranya bahwa umat Islam India perlu mengembangkan konsep ijtihad dan paham dinamisme Islam.

1. Teori Gerak
Seperti halnya beberapa tokoh pembaharu Islam lainnya, Iqbal berpendapat bahwa kemunduran umat Islam lima ratus tahun terakhir disebab-kan karena merosotnya jumlah dan kualitas pengetahuan yang dimiliki, yang bersamaan dengan itu merosot juga cintanya kepada Allah swt. dan rasul-Nya kepada potensi terpendamnya ajaran agama dan khazanah kebudayaan yang kaya. Hal tersebut sebagai akibat dari kebekuan dalam pemikiran yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pertama, hancurnya Baghdad yang pernah menjadi pusat politik, kebudayaan dan pusat kemajuan pemikiran Islam pada pertengahan abad ke-13. Akibatnya, pemikiran ulama pada masa itu hanya bertumpu pada keseragaman kehidupan sosial dengan melarang segala jenis pembaharuan yang substansial dalam hukum Islam. Hal ini menyebaban hilangnya dinamika berfikir umat Islam. Kedua, timbulnya paham fatalisme yang menyebabkan umat Islam pasrah pada nasib dan enggan bekerja keras. Pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf yang dipahami secara berlebihan menyebabkan umat Islam tidak mementingkan masalah kemasya-rakatan. Ketiga, sikap jumud dalam pemikiran umat Islam, dimana hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. Kaum konservatif menganggap bahwa kaum rasional (Mu’tazilah) telah menyebabkan timbulnya disintegrasi yang mengancam kestabilan umat. Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab.

Beberapa faktor penyebab kebekuan berfikir di kalangan umat Islam tersebut membuat Iqbal tersentak dan mengatakan bahwa hukum Islam tidak bersifat statis tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.16 Oleh sebab itu, pintu ijtihad harus selalu terbuka pada setiap zaman karena ijtihad adalah kekuatan penggerak bagi Islam. Menurut Iqbal, ijtihad berarti upaya mencurahkan segenap kemampuan intelektual17 Hal ini berarti akal ditempatkan pada kedudukan yang tinggi.
Bagi Iqbal, dunia merupakan sesuatu yang ditundukkan melalui tindakan yang bertujuan. Dalam ceramahnya, ia mempertegas posisinya – sebagaimana yang dikutip oleh A. Syafi’i Maarif:
“….Bahwa dunia bukanlah sesuatu yang semata-mata dipandangi atau dikenali melalui konsep-konsep, tetapi merupakan sesuatu untuk di-ciptakan kembali dengan tindakan yang berkelanjutan.”

Dalam pandangan Iqbal, untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di atas bumi ini bukan saja dianjurkan, tetapi lebih dari itu, merupakan kewajiban setiap muslim. Oleh sebab itu, perkembangan individualitas adalah suatu proses kreatif yang di dalamnya manusia harus memainkan peranan aktif, terus-menerus beraksi dan bereaksi dengan penuh tujuan terhadap lingkungan. Iqbal percaya bahwa gagasan semata-mata tidaklah memberikan momentum pada gerak maju manusia, kecuali perbuatan yang membentuk esensi dan bobot kehidupan manusia.

Demikianlah teori gerak yang dikemukakan Iqbal yang salah satu cara perwujudannya ialah dengan berijtihad. Di samping itu, ia juga juga mengemukakan bahwa oleh karena ijtihad sangat urgen dan penting artinya, maka dalam setiap zaman hendaknya ada orang-orang spesial yang benar-benar tahu bagaimana menerapkan dasar-dasar Islam pada berbagai masalah zaman yang senantiasa berubah. Mereka juga harus mengetahui kategori suatu masalah dalam kerangka dasar-dasar Islam.

2. Teori Kedinamisan Islam
Dalam konsep ijtihad terdapat aspek perubahan yang dengannya akan terjadi dinamika kehidupan umat manusia, sebab berbagai kebutuhan zaman secara keseluruhan selalu berubah. Zaman tidak akan mempertahan-kan sesuatu diam di tempatnya dan tidak membiarkan sesuatu bersifat kekal. Dengan demikian, hukum Islam mempunyai kemungkinan untuk bersifat elastis.
Menurut Iqbal, hidup yang baik ialah hidup yang bersifat kreatif orisinal dan bersemangat perjuangan, bukan justru hidup yang memandang serba santai, apalagi memencilkan diri dalam hiasan kemalasan. Konsep dinamis tentang alam semesta membawa Iqbal pada kesimpulan tentang takdir dimana ia menjelaskan – sebagaimana yang dikutip oleh Thawil Akhyar Dasoeki:
“Seandainya benar bahwa takdir manusia itu sudah dipastikan lebih dahulu, maka ia merupakan sejenis materialisme yang terselubung, di mana segala-galanya terjadi dengan determinisme yang kaku tegar.”

Menurut Iqbal, seluruh masalah berputar sekeliling kondisi per-ubahan. Keberhentian baginya adalah kematian, baik jasmani maupun rohani, sedangkan perubahan tidak datang dengan sendirinya. Ia menuntut desakan dari dalam dan keinginan positif untuk menciptakan takdir-takdir baru. Karena itu, prakarsa untuk mengembangkan diri datang dari individu sendiri.

“Sudah menjadi suratan nasib”, demikian kata Iqbal, “manusia ikut ambil bagian dengan cita-cita yang lebih tinggi dari alam sekitarnya dan turut menentukan nasibnya sendiri seperti juga terhadap alam, sekali menyiapkan diri untuk menghadapi kekuatan-kekuatan alam, lain kali mengerahkan segenap kekuatannya untuk dapat mempergunakan kekuatan-kekuatan itu demi keperluannya sendiri. Dan dalam perubahan yang begitu cepat Tuhan pun bertindak sebagai kawan bekerja dengannya, asalkan manusialah yang meng-ambil prakarsa. Allah berfirman dalam QS. Al-Ra’d (13): 11:
إِنَّ الله َلاَ يُغَيِّرُمَا بِقَوْمٍ حَتىَّ يُغَيِّرُوْا مَا ِبأَ ْنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Kalau manusia tidak mengambil prakarsa, kalau manusia tidak bersedia mengembangkan kekayaan batinnya, kalau manusia berhenti merasakan gejolak batin hidup yang lebih tingi, roh yang ada di dalam dirinya akan mengeras menjadi batu dan dia merosot turun ke tingkat benda mati. Dengan demikian tidak akan tercipta suatu kedinamisan di dalam kehidupan, terutama di dunia Islam..
Paham dinamisme sebagaimana yang dikemukakan di atas itulah yang ditonjolkan Iqbal sehingga ia mempunyai kedudukan penting dalam proses pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak, menciptakan dunia baru dan jangan tinggal diam, karena menurutnya, itulah intisari hidup.

Meskipun Iqbal banyak memperoleh pendidikan di negara Barat, namun Barat baginya bukanlah model dalam melaksanakan pembaharuannya. Kapitalisme dan imperialisme Barat tidak diterimanya karena menurutnya, Barat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah meninggalkan agama. Hanya ilmu pengetahuan dari Barat yang harus diambil oleh Umat Islam.
Pemikiran-pemikiran Iqbal mempengaruhi dunia Islam secara umum, terutama pada pembaharuan di India. Ia telah menimbulkan paham dinamisme di kalangan umat Islam India dan menunjukkan jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar umat Islam yang minoritas dapat hidup bebas dari tekanan-tekanan luar.

Demikianlah Iqbal telah tampil memperingatkan kepada kita untuk selalu harus membuka diri pada pemikiran yang lebih maju. Kalau demikian, maka pemikiran Iqbal yang sedang diperbincangkan ini haruslah difungsikan untuk merangsang kita berfikir, merenung dan berijtihad lebih baik lagi.
Satu hal yang pantas mendapat perhatian bahwa ia mempunyai semangat yang tinggi dalam membela Islam, sembari menganggap bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan dunia ini. Padahal, pada waktu yang sama ia adalah seorang reformis dan tahu banyak tentang pemikiran-pemikiran modern. Oleh sebab itu, integrasi filosofisnya antara Islam sufi dengan pemikiran Barat dan pemahamannya mengenai Islam sebagai agama universal serta komitmennya untuk menafsirkan kembali prinsip-prinsip Islam dalam kondisi kontemporer menjadikannya sebagai pimpinan spiritual bagi modernisme India. Demikian pula gairah keagamaan-nya serta syair-syair moralnya.


------------------------

B A B III
KESIMPULAN


Muhammad Iqbal adalah salah seorang intelektual muslim yang hidup di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ia berasal dari negeri India, yang sekarang bernama Pakistan setelah negara ini terbentuk untuk memisah-kan diri dari India. Ia tumbuh dan berkembang di bawah bimbingan keluarga yang taat dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
Iqbal telah mengarungi dan menyelami lautan pemikiran Barat, namun ia tidak sampai terlena karenanya. Sebaliknya, tanpa ragu-ragu dia mengecam dan menolak watak materialistis dan superioritas Barat, begitupun konsep-konsepnya yang rapuh yang bertolak dari pengingkaran terhadap agama.
Menurut Iqbal, ijtihad pada dasarnya adalah upaya di pihak manusia untuk mengerahkan pemikirannya dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus-menerus menambahkan ciptaan baru. Ijtihad sebagai kekuatan dinamisasi Islam. Dengan demikian, ijtihad bukannya mengandung potensi distorsi terhadap ajaran Islam yang autentik sebagaimana diyakini oleh kaum tradisional-konservatif, tetapi justru merupakan inti khilafah manusia di atas permukaan bumi.


------------------------

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Kh. Jamil. Hundred Great Muslims. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Pustaka Firdaus dengan judul Seratus Muslim Terkemuka. Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Ali, H. A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998

Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Cet. I; Semarang: Bina Utama, 1993.

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Bunga Rampai Ajaran Islam. Cet. II; Jakarta: Jakarta Raya, 1990.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jilid 2. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ensiklopedi Islam Di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992/1993.

Hadi W. M., Abdul. Islam Cakrawala Estetika dan Budaya. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Hassan, Parveen Feroze. The Political Philosophy of Iqbal. Lahore: Publisshers United LTD, 1970.

Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Though in Islam. Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1975.

Khamene’I, Ali et al. Iqbal Manifestation of The Islamic Spirit. Diterjemah-kan oleh Andi Haryadi dengan judul Muhammad Iqbal Dalam Pandangan Para Pemikir Syi’ah. Cet. I; Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2000.

Maarif, A. Syafi’i. Islam; Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Muthahhari, Murtadha. Inna al-Dina ‘inda Allah al-Islam. Diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan Tantangan Zaman. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Sudarsono. Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

Tim Disbintalad. Al-Qur’an Terjemah Indonesia. Cet. VIII; Jakarta: Sari Agung, 1995.

Watt, William Montgomery. Islamic Fundamentalism and Modernity. Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal dengan judul Funda-mentalisme Islam dan Modernitas. Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.




1 komentar:

Silakan titip komentar anda..