Published Februari 25, 2012 by with 0 comment

KH. Abdur Rahman Wahid (Hubungan Agama dan Negara)

KH. Abdur Rahman Wahid 
(Hubungan Agama dan Negara)

BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sangat boleh jadi semua orang sepakat tentang Gus Dur hanya satu hal, yaitu bahwa dia adalah tokoh kontraversial tulen. Dan memang semua orang boleh menjuluki apa saja tentang tokoh yang satu ini mulai dari yang baik-baik sampai kepada yang buruk-buruk. Toh selama ini Gus Dur cuek saja dengan kalimat yang sekaligus menjadi ciri khasnya “gitu aja kok repot”.
Sampai saat ini, belum atau taakan perna ada yang akan bisa menandingi Gus Dur dalam banyak mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam mengumpulkan julukan itu. Mereka yang melihatnya begitu taat dan gigihnya mengikuti orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air mungkin akan mejlukunya Nasionalis. Mereka yang melihatnya berkiprah dibidang kesenian dan budaya mungkin akan menjulukinya budayawan atau seniman. Mereka yang sering menyaksikan dalam mengisi seminar-seminar dan menuliskan pemikiranpemikirannya mungkin akan mejulukinya cendekiawan atau pemikir dan seterusnya.

Sangat boleh jadi “Wallahu a’lam” Gus Dur memang merupakan “pelajaran” atau “pengajaran” yang sangat keras bagi bangsa yang tak kunjung bisa berbeda dan bersikap adil ini. Mulai dari zaman kerajaan hingga zaman raja Suharto bangsa ini boleh dikata tidak pernah diajari untuk berbeda. Bahkan yang selalu didikkan oleh para penguasanya terutama penguasa orde baru dulu adalah penyeragaman. Sehingga tanpa terasa di Republik ini perbedaan yang paling fitri pun masih dipandang sebagai hal yang angker. Orang yang berbeda diidientikkan dengan musuh. Dan pada gilirannya orangpun sulis bersikap adil dan obyektif.
Oleh karena itu jangan heran bila demokrasi disini masih terus menjadi infian dan slogan. Barangkali dan mudah-mudahan karena sayangnya Allah kepada bangsa ini, iapun terus mengingatkan dengan setiap kali memperlihatkan fenomena-fenomena kontraversial yang betapapun kita ingin menyeragamkan tak akan pernah kita dapat menyatukan pandangan kita, sebagai contoh berulangkalinya terjadi perbedaan penentuan hari raya baik “idiel fitry” maupun “idiel adha”. Betapapun hebatnya argument masing-masing pihak, tetapun pihak lain tidak akan mampu sependapat. Masing-masing hanya akan bersikap sesuai keyakinan sendiri.
Boleh jadi karena berkali-kalinya kita tidak bisa mencermati pelajaran-pelajaran Allah yang diberikan dengan cara seperti itu, maka iapun memberikan pelajaran puncak dalam bentuk seorang imam yang paling kontraversial yang pernah dimiliki Republik ini yang sedikitpun tidak pernah merasa takut terhadap perbedaan, yaitu Gus Dur !

Terpilihnya Gusdur sebagai presiden bukanlah pemberian poros tengah, bukan Amin Rais, bukan NU apalag PKB partai yang dideklarasikan oleh Gus Dur sendiri dan kalau seandainya boleh ditanyakan pada Poros Tengah yang mengusungnya waktu itu atau kepada fraksi-fraksi yang ada di MPR, termasuk Amin Rais sendiri,apakah Gus Dur pada saat itu menjadi pilihan mereka untuk menjadi presiden ? Asal mereka mau jujur pada diri mereka sendiri, pasti mereka akan menjawab bukan.

Dari sekian orang yang segar bugar, sekian ribu politisi,sekian ribu ahli politik,sekian ribu tokoh masyarakat, sekian ribu pakar tata negara, tetapi aneh Gus Dur yang bukan tokoh partai politik, bukan pemerintah yang sedang berkuasa dan buka pula milioner, dipilih secara demokratis bahkan paling demokratis dalam sejarah Republik ini oleh MPR hasil pemilu yang demokratis dalam era keterbukaan dimana setiap orang bisa menyampaikan anspirasinya sebesar-besarnya.
Jadi minimal menurut keyakinan saya sendiri, Gus Dur adalah tokoh kontraversial sejati yang suka berbeda memang dipilih oleh Allah untuk memberikan pelajaran kepada kita, bangsa yang selama ini terus menerus hanya dididik bersikap seragam dan tidak menghargai keadilan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas melalui makalah ini penulis akan mengambil secuil pemikiran dan pandangan seorang Gus Dur (K.H.ABD.RAHMAN WAHID ) melalui topic “K.H.Abd.Rahman Wahid Hubungan Agama dan Negara”dengan rumusan dan batasan masalah seperti berikut.

B. Rumusan dan Batasn Masaalah.
Dalam pembahasan makalah ini penlis membatasi rumusan dan permasalahan sebagai berikut :
1. Siapakah sebenarnya K.H.Abd. Rahman Wahiud ?
2. Bagaimana pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid tentang hubungan agama dan negara ?
3. Apa alasan-alasan K.H.Abd.Rahman Wahid dalam memisahkan antara urusan agama dan negara ?


---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi K.H.Abd.Rahman Wahid
1. Gus Dur Kecil
K.H.Abd.Rashman Wahid atau yang lebih dikenal dengan gelar Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denayar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H.Abd. Wahid Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan didunia melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang .
Ibunya, Ny. Hj Sholehah juga putri tokoh besar NU, K.H.Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan Rois ‘Aam Syuriyah PBNU setelah K.H.Wahab Hasbullah, dengan demikian secara genetik K.H.Abd Rahman Wahid memang keturunan Dara biru. Gus Dur adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar Bangsa Indonesia.
Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Sukarno Presiden pertama Republik Indonesia dan kawan-kawan. Ayah Gus Dur termasuk salah seorang perumus “Piagam Jakarta”. Iapun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam keudukannya sebagai keturunan kiyai paling terkemuka dan bangsawan di Indonesia.

Meskipun demikian kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya kebanyakan masyarakat. Gus Dur kecil belajar di Pondok Pesantren. Dalam usia 5 tahun ia sudah lancar membaca al Qur’an, gurunya waktu itu adalah kakenya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari .
Pada saat bocah tidak seperti anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dia diajari mengaji dan membaca al Qur’an oleh kakenya sendiri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Disaat serumah dengan kakenya itulah Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.

2. Proses menjadi Gus Dur.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berhasil menamatkan bebrap kitab standar mu’tabarah Pondok Pesantren. Sehingga dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim. Dalam usia itu ia kemudian berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studynya ke Timur Tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan study di Al Azhar Islamic University Mesir, mengambil konsentrasi Departemen of Higer Islamic and Arabic Studies.
Setelah tiba di Mesir Gus Dur menemui kendala karena ijazahnya tertolak, sehingga praktis selama dua tahun disana waktunya tebuang hanya untuk mengurus Ijazah tadi. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar,namun lagi-lagi hatinya tak terpuaskan karena pelajaran yang dia terima disana rata-rata sudah dia pelajari di pesantren, dan untuk menghilangkan rasa bosan sebagai gantinya Gus Dur menghabiskan waktunya disalah satu perpustakaan lengkap di Kairo.
Selama kuliah di Kairo ia lebih aktif ke perpustakaan, nonton film dan selebihnya diisi dengan kegiatan organisasi, akibatnya Gus Dur tidak naik tiungkat dalam kuliahnya di Al Azhar. Mendengar kegagalan kuliyah Gus Dur
di Mesir, gadis pujaannya Nuriyah mengirim surat dari tanah air kepadanya di Mesir yang bernada motifasi dan menghibur, “Kamu harus berhasil dalam kuliahmu seperti berhasilnya kamu menanamkan perasaan dalam hatiku,” tulis Nuriyah .
Meski begitu bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh faham “Sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang Arab kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya, hal itu dilakukan karena mereka tidak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama. Dan inilah yang ikut mempengaruhi pemikiran-pemikiran Gus Dur yang membias dalam derap langkahnya di Indonesia.
Merasa tak akan berkembang Gus Dur lalu memutuskan keluar dari Universitas Al Azhar mesir dan pindah ke Bagdad, dan pada tahun 1966, dalam usia 26 tahun Gus Dur secara resmi masuk ke Departemen of Relegion, di Universitas Baghdad Irak. Di Baghdad Gus Dur memperoleh gelar Lc-setinggkat S1 di Indonesia-Sastra Arab. Kemudian melanjutkan S2 (Setingkat MA). Judul thesisnya sudah diajukan, tapi sial sipembimbing meninggal dunia dan untuk mencari gantinya setengah mati, akhirnya ia memutuskan pulang ke Indonesia3.

3. Eksperimentasi menjadi Gus Dur.
Dengan berbekal ijazah S1 Universitas Baghdad, Gus Dur kembali ke IndonesiaPada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga tahun 1974. Ketika itu pula ia menekuni kembali bakatnya menulis dan menjadi kolumnis. Tulisannya yang anatik dan kritis, tajam dan reflektif tentang pesasntren, toleransi beragama, pluralism, demokratisasi dam filsafat tersebar keberbagai media massa, terutama majalah Tempo,Surat Kabar Kompas,pelita dan jurnal prisma .
Hal inilah yang kemudian mengantar seorang Gus Dus semakin mencuat kepermukaan karena gagasan-gagasannya yang menarik perhatian banyak orang dan tidak sedikit yang mengundang kontraversi.

B. Agama da Negara dalam Pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid
Pada dekade l980an beberapa cendekiawan muslim termasuk K.H.Abd. Raman Wahid memberikan kalaripakasi tentang hubungan anatar agama dan negara, hal ini mereka anggap perlu karena pada dekade tersebut banyak ummat Islam yang ragu-ragu dan hawatir tentang posisi Islam dan negara, keraguan tersebut dapat dimengerti karena pada dekade tersebut pemerintah Indonesia intens melakukan pembedahan idiologis yang mempunyai dampak luas terhadap kekuatan politik Islam. Sementara dipihak lain pemerintah Orde Baru meskipun kedengarannya agak berlebihan, juga meragukan kestiaan golongan Islam terhadap Pancasila. Hal ini terutama setelah terjadinya berbagai rentetan kejadian yang dinilai mengganggu stabilitas nasional.

Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan Muslim melontarkan pemikiran kreatif dan kritis, termasuk K.H.ABD. Rahman Wahid beliau berpendapat bahwa dalam Islam, negara itu adalah hukum (alhukmu) dan Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang ada pada Islam adalah etik kemasyarakatan dan komunitas, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif. Dalam persoalan yang paling pokok saja kata beliau seperti suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten, terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlulhalli wal aqdi (sistem formateur). Padahal menurut K.H.Abd. Rahman Wahid, soal suksesi adalah masaalah yang cukup urgen dalam masaalah kenegaraan, kalau memang Islam punya konsep tentu tidak terjadi demikian.

Dalam prespektif Ahl-u ‘l-sunnah wa’l-jama’ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsinya, bukan dari norma formal eksistensinya, atau negara
itu Islam apa bukan, selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh maka konteks pemerintahannya tidak laigi menjadi pusat pemikirannya. Kitab suci al Qur’an pun mengatakan dengan tegas bahwa : waja’alna kum syu’ub-an waqaba’ila lita’arafu. Syu’ub itu artinya nation (bangsa) kata beliau, sedangkan qaba’il artinya suku, namun yang penting adalah lita’arafu, untuk saling berhubungan bukan untuk saling unggul-unggulan, tandasnya.

Yang ditenatang oleh Islam bukanlah nasionalisme, tetapi fasisme seperti yang terjadi pada Jerman, Italia dan sebagainya. Namun demikian kata beliau lebih lanjut, tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis, ayat tersebut sudah ekplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian tidak perlu muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan. Tetapi beliau mengakui bahwa pengertian bangsa dalam rumusan al Qur’an diatas terbatas hanya pada bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami territorial bersama. Sementara wawasan kebangsaan dimasa modern ini pengertiannya sudah lain, ya’ni satuan politis yang didukung oleh idiologi nasional. Penjelmaan pengertian ini kata beliau adalah konsep negara bangsa (nation state). Diabad modern ini mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global yang merupakan nation state. Tulis Abdurrahman Wahid .
Tidak mudah bagi kaum Muslimin untuk mencernakan kearusan historis dalam berintraksi dengan fenomena global itu. Kesulitan besar dalm mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan, terletak pada Islam yang seolah-olah “supra nasional” sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya. Maka ada kesulitan memasukkan nilai-nilai Islam kedalam konstruksi idiologis yang bersifat nasional. Salah satu cara untuk meneropongi kaitan antara wawasan
Islam yang universal dan supra nasional dengan wawasan kebangsaan dari sebuah masyarakat bangsa ialah dengan mengambil sudut pandang fungsional antara keduanya.
Dengan jalan fikiran seperti ini Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahtraan warga masyarakat apapun bentuk masyarakat yang digunakan. Dan pada akhirnya Abdurrahman Wahid menyimpulkan bahwa tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan.
K.H.Abd.Rahman Wahid juga melihat pancasila sebagai “aturan permainan” yang menghubungkan semua agama dan faham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi kalau pancasila berfungsi membenarkan satu agama saja, mnisalnya UIslam saja maka ia akan berhenti sebagai “aturan permainan” yang disepakati bersama. Dalam kaitannya dengan klaim bahwa setiap gama benar, pancasila harus memberikan rumusan interperetatif yang memenuhi kepentingan semua pihak, dan bukan satu pihak saja. Dalam konteks ini dapat dirimuskan bahwa Pancasila memperlakukan bahwa semua agama sama dan semuja sama dimuka hukum dan dalam pergaulan masyarakat.

Tetapi dalam hubungan penerimaan NU terhadap pancasila sebagai satu-satunya asas. Abdurrahman Wahid menjelaskannya dari sudut Fiqhi kum ahl-u’l-sunnah wa’l jama’ah. Bagi NU pancasila sebagai idiologi bangsa memiliki posisi netral. Pandangan ini sejalan dengan visi imam Syafi’i tentang tiga jenis negara ya’ni dar Islam (negara Islam), dar harb (negara perang), dan dar sulh
(negara damai). Pemerintahan kita yang beridiologi pancasila termasuk dalam “negara damai” yang harus dipertahankan.
Kalau syari’ah dalam bentu hukum/fiqhi atau etika masyarakat masih dilakukan oleh kaum muslimin didalamnya sekalipun itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara, bila etika masyarakat Islam sudah dijalankan maka tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah, ujarnya.


C. Alasan-Alasan K.H.Abd.Rahman Wahid memisahkan antara hubungan agama dan negara.
Diantara sekian banyak intlektual Indonesia K.H.Abd Rahman Wahid adalah salah seorang intelektual yang jelas menolak hubungan agama dengan negara dengan beberapa alasan sebagai berikut :
  1. Dipilihnya agama sebagai suplementer dalam kehidupan bernegara akan berakibat pada kecilnya penghargaan terhadap hak asasi manusia dan tidak akan mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak dari kiebebasan berbicara dan berpendapat.
  2. Dalam posisinya yang suplementer hubungan agama dan negara akan bersifat manipulative, yaitu sekedar menjadikan sumber-sumber agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.
  3. K.H.Abd. Rahman Wahid juga menolak sebagai idiologi alternative bagi negara. Karena dalam sebuah negara pluralistik menjadikan Islam atau agama apapun, sebagai idiologi negara hanya akan memicu disintegrasi. Sementara negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan.
  4. Dalam sebuah negara pluralistik negara merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurut Abdurrahman Wahid, Islam seharusnya diinplementasikan sebagai suatu etika social yang berarti Islam harus berfungsi komplomenter dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam sebagai idiologi negara akan membawa bangsa ini kedalam masa penuh ketegangan seperti terlihat hampir selama lima dekade sejak tahun 1930-an .
  5. Bagi Abdurrahman Wahid agama sebagai etika sosial yang berfungsi koplementer dalam negara, nilai-nilai dasar Islam bersama nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
BAB III
P E N T U P

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. K.H.Abd Rahman Wahid berasl dari keluarga santri sunni namun memiliki sikap dan pemikiran yang liberal, progresif dan inklusif, kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada ditempuh di Barat secara intlektual, jauh lebih siap berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat.
  2. Bahwa nilai-nilai agama dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.
  3. Nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
DAFTAR PUSTAKA.

Abdul Rahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunanpercikan pemikiran Gusdur.(Cet. I Jakarta Gelora Aksara Pratama, 1999).

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Akasi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,(Penerbit Paramadina Jakrta. 1995).

M. Saleh Isre, Tabayn Gus Dur, Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural, (Cet.II LKIS Yogyakarta,1998).

K.H.A.Mustafa Bisri, Pasca Wacana Sinta Nuriyah Rahman,JejakAntropologis Pemikiran Dan Gerakan GUS DUR, (Cet. I PT.Remaja Rosdakarya, Bandung 2000).


Read More
Published Februari 15, 2012 by with 0 comment

Nurcholish Madjid (Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia)

Nurcholish Madjid 
(Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia)

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah jatuh bangunnya sebuah tatanan sosial dalam berbagai bentuknya (khilafah, kerajaan, kesultanan, sampai kepada negara bangsa yang dianggap paling modern) selalu ditandai dengan bangkit atau munculnya gerakan-gerakan pembaharu yang melawan dan menentang sistim dan kekuasaan dengan berbagai cara.
Cara yang lazim ditempuh oleh para pemimpin dalam mengambil kebijakan sering kali berlawanan dengan penentang atau oposisi yang memang telah mengambil jarak untuk selalu mengontrol kebijakan pemerintah. Di masa lalu (dalam sejarah Islam) oposisi seringkali berwujud dalam bentuk kekuatan militer. Namun, cara-cara tersebut tentu berbeda dengan kondosi sekarang ini. Cara dengan kekuatan militer telah beralih oposisi dalam wujudnya dalam bentuk tatanan politik dengan kontrol yang sangat ketat dan kuat.
Namun demikian, tidak semua orang terlebih lagi tokoh reformis bisa dan setuju dengan oposisi dalam gerakan politik. Cara-cara kontrol sosial dengan beropini atau berwacana melalui bantuan media dengan posisi yang independen banyak mewarnai dalam gerakan pembaharuan (pembaruan) Islam di Indonesia bahkan mungkin melampaui Islam secara formal kelembagaan karena gerakan-gerakannya bermuatan pembelaan hak-hak warga negara (kemanusiaan).

Posisi mengambil sikap oposisi dalam negara Indonesia, terlebih di bawah rezim otoriter (Orde Baru), tentu membutuhkan kecerdasan mengambil posisi agar tidak dianggap dan dinilai oleh rezim sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa. Ini diperlukan karena terlalu banyak tokoh yang dipenjarakan oleh rezim karena secara terang-terangan melakukan perlawanan melalui opini (media). Bentuk atau model perlawanan tersebut mungkin saja telah dipilih dengan secara sadar dan dengan resiko yang telah diperhitungkan.
Nurcholish Madjid, salahsatu tokoh reformis Indonesia tiga zaman (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi), memilih pendekatan budaya akademis dalam setiap gerakan dan opininya. Strategi ini kurang resiko untuk berbenturan dengan penguasa karena selalu membawa nilai-nilai pembaruan yang obyektif, yang langsung menyentuh warga sebagai umat. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pembaruan Nurcholish tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi di Indonesia selalu diterima walaupun juga terjadi kontra karena gerakannya murni akademis (tidak politis/politik) dan selalu ingin memperbarui pola pikir masyarakat menengah. Perspektif penulis bahwa gerakan pada level ini sengaja dilakukan dengan harapan masyarakat akademisilah yang perlu diubah sebagai agen pembaruan untuk masyarakat dan pemerintahan waktu itu dan ke depan. Dan inilah sesungguhnya gerakan substansi Islam (islami) tanpa simbol-simbol keagamaan.

B. Pengertian Judul
Sebelum membahas lebih jauh tentang topik di atas dengan judul Nurcholish Madjid : Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia. Terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian topik tersebut. Kata Nurcholish Madjid adalah nama salah seorang yang dinilai sebagai tokoh pembaruan Indonesia. Tema-tema gerakan pembaruannya diantaranya tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi.
Kata modernisasi dari bahasa Inggris modern yang artinya orang yang modern. Jika diberi imbuhan isasi (proses) maka modernisasi sebanding dengan kata modernize maknanya memodernisasikan atau memoderenkan. Kata moderat (kb) berarti orang lunak, sedang kata sifatnya bermakna layak, yang sekedarnya. Sedang, kata sekulerisasi juga dari bahasa Inggris secular yang artinya duniawi, maksudnya usaha (proses) memindahkan kepada urusan kegiatan-kegiatan keduniawian. Kata desakralisasi dari kata dasar sakral bermakna sesuatu yang dianggap tidak biasa (dikeramatkan, dimuliakan). Desakralisasi bermakna tidak mensakralkan (memitoskan atau mengultuskan) sesuatu yang sebenarnya bertentangan prinsip-prinsip keyakinan kepada Tuhan.
Dengan demikian, judul tersebut memuat makna bagaimana membumikan atau memanifestasikan nilai-nilai kemoderenan, sekulerisasi (bukan sekularisme) yakni membumikan hal-hal yang bersifat duniawi tidak malah mengukhrawikannya (baca:akhirat). Dan usaha untuk tidak mensakralkan sesuatu yang tidak perlu disakralkan. Usaha-usaha tersebut tentu terkait dengan tokoh atau sosok Nurcholish Madjid, sebagai pembaru dalam masalah ini.

C. Rumusan Masalah
Memerhatikan latar masalah di atas, penulis mengangkat masalah :
1. Bagaimana memahami substansi pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemoderenan (modernisasi), sekulerisasi, dan desakralisasi dalam kehidupan beragama dan berbangsa?
2. Bagaimana aktualisasi dan reaksi atas gagasan Nurcholish Madjid dalam konteks keagamaan dan keindonesiaan.

-------------
BAB II
PEMBAHSAN 

A. Nurcholish Madjid: Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi

Sebelum terlalu jauh membahas masalah ini ada baiknya kita kutip ungkapan Nurcholish tentang latar dari gagasannya yang berangkat dari pemahaman tentang Al-Quran. Gagasan ini sebagai dasar pijakan perlunya modernisasi sekularisasi dan desakralisasi. Nurcholish mengungkapkan bahwa ziarah historis akan mengajak kita memahami Al-Quran dalam sebuah lanskap kehidupan yang kaya, sehingga mendorong munculnya pembaruan, penyegaran, dan perluasan horison keagamaan. Lebih dari itu, sebuah tradisi dan paham keagamaan tidak mengeras dan menutup diri, lalu menjadi ideologi yang disakralkan dan tabu terhadap setiap upaya penafsiran baru. Perluasan horison suit diwujudkan jika seseorang tidak menyadari bahwa semua peristiwa dan pemikiran (termasuk dalam penetapan hukum) selalu dibatasi kalau tidak dipengaruhi oleh situasi, termasuk bahasa Arab sebagai medium (alat) yang digunakan Al-Quran dan masyarakat Arab yang disapa secara langsung kala itu. Menyadari akan dimensi “situasional” ini maka tradisi Islam telah melahirkan sekian banyak mujtahid yang selalu berusaha memperluas horison penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap Al-Quran , yang resikonya kadang berupa perselisihan antar tokohnya
Masalah modern dalam ungkapan Nurcholish tersebut tersirat dalam ungkapannya bahwa diperlukan pembaruan, penyegaran, dan perluasan horison bukan hanya hal-hal yang berkaitan dengan perlunya penafsiran bidang ibadah semata tapi juga yang berkaitan langsung dengan kehidupan dunia. Diperlukannya modernisasi di sini dikarenakan kuatnya pengaruh situasional (budaya, tradisi, sosial kemasyarakatan) di mana sebuah ayat diturunkan.

Kajian berikutnya terkait dengan sekulerisasi. Jika ingin didalami lebih serius lagi, sebenarnya gerakan membumikan Al-Quran oleh Quraish Shihab atau membumikan Islam oleh Endang Saifuddin Anshori atau tema-tema lain yang semangatnya sama dengan itu, semuanya sedikit banyaknya mengandung gerakan sekularisasi. Jika sekularisasi yang dimaksud adalah menduniakan sesuatu yang bersifat duniawi dan tidak mensakralkannya.

Gerakan modernisasi dan sekularisasi Nurcholish terbaca dalam gagasan-gagasannya tentang pluralisme, kesetaraan, dan toleransi merupakan ide-ide etik dari diskursus civil society yang di Indonesia sering dilontarkan Nurcholish Madjid. Perhatian utama Nurcholish adalah yang berkaitan dengan bagaimana melacak otentisitas landasan etik nilai-nilai tersebut dalam khazanah Islam dan secara liberatif mampu membangun hubungan dialogis dengan wacana modernitas.

Relevansinya dengan modernisasi dan sekulerisasi Nurcholish berpendapat bahwa Islam adalah agama egaliter. Mengutip pandangan Ernest Gellner, bahwa prinsip Islam yang formal, sentral dan murni pada dasarnya bersifat egaliter dan ilmiah serta membantunya untuk menyesuaikan diri dengan peradaban modern. Usaha menyesuaian diri inilah, posisi gerakan modernisasi dan sekularisasi serta desakralisasi Nurcholish menemukan persamaannya. Nurcholish memahami bahwa Islam yang oleh Ernest dipahami sebagai agama yang egaliter dan ilmiah tidaklah dalam makna otomatis dan statis. Melainkan harus diusahakan dengan berbagai upaya, dan upaya itu termasuk menghindari sakralisasi ajaran dan budaya Islam.

Dalam konteks Indonesia, gagasan Nurcholish telah banyak memberi warna dalam kehidupan bernegara. Baca misalnya pernyataan beliau tentang Pancasila sebagai dasar negara. Setiap bangsa mempunyai etos atau suasana kejiwaan yang menjadi karakteristik utama bangsa itu. Etos itu kemudian dinyatakan dalam berbagai bentuk perwujudan seperti jati diri, kepribadian, dan ideologi. Pancasila disebut sebgai ideologi nasional. Tetapi pancasila adalah sebuah ideologi modern. Bukan hanya karena muncul di zaman modern, tapi juga lebih-lebih karena ia ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang dewasa dengan wawasan modern. Itulah sebabnya, Kiai Haji Ahmad Shiddiq (Ra’is Amm Nahdlat al-‘Ulama) mengemukakan bahwa Pancasila sebagai sebuah ideologi negara tidak perlu lagi dipersoalkan dan bersifat final. Namun, Nurcholish mengemukakan bahwa dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya sehingga menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, pancasila tidak bisa lain kecuali harus dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis.

Masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan Nurcholis juga punya pandangan, khususnya dalam kehidupan ekonomi sosial. Kyai Ahmad Dahlan seringkali dikutip Nurcholish dalam beberapa kali ceramahnya. Ketika Kyai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju cita-cita reformasi Islam di Indonesia, beliau memperkenalkan dan mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur’an dari Juz ‘Amma, yaitu surat al-Ma’un (QS 107). Surat tersebut seringkali dibaca dalam shalat bahkan menjadi hafalan santri. Tetapi masyarakat Islam Indonesia seperti tidak pernah tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan tidak pula menyadari betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal gerakan kemanusiaan yang besar dan mendalam seperti Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya (lembaga pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi, rumah sakit, lembaga dakwah, panti asuhan, dan baitul mall-nya.

Masalah pendidikan tidak lepas dari wacana pemikiran Nurholish Madjid. Dua dimensi hidup manusia, yakni Ketuhanan dan Kemanusiaan menjadi fokus utamanya. Beliau menegaskan bahwa pendidikan itu berangkat dari keluarga. Bayangkan, orang yang dituduh sebagai sekuler, masih berfikiran konservatif (tradisional) dalam masalah pendidikan. Dimensi Ketuhanan yang perlu ditanamkan adalah meliputi nilai-nilai yang sangat mendasar seperti: iman, Islam, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur, shabr (sabar). Sedangkan nilai-nilai mendasar tentang kemanusiaan adalah: Silaturrahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat, dermawan. Semua itu adalah ilmu-ilmu terapan yang sangat universa.


B. Kontroversi Gagasan Nurcholish Madjid Dalam kehidupan Keagamaan dan Kenegaraan
Tidak mungkin dengan pengetahuan yang sempit dan dengan waktu yang terbatas, penulis dapat menjelaskan dengan lengkap sosok tokoh Nurcholish Madjid. Tetapi justru keterbatasan itulah penulis mencoba mengurai apa yang dapat penulis uraikan.
Dalam sebuah kesempatan, Nurcholish diminta memberi khutbah Idul Fitri yang menurut beliau merupakan hari raya kesucian manusia. Dalam suasana kesucian itu, kita akan kembali kepada kebahagiaan primordial kita, tempat leluhur kita Adam dan Hawa hidup bebas dan bahagia, yaitu kehidupan aman, tenteram, dan damai dalam kebahagiaan itu tidak ada sumpah-serapah dan caci-maki, yang ada ucapan salam, damai untuk semua.

Di sana mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia, juga tidak ucapan tuduhan berdosa, melainkan ucapan “Damai, damai!” semata. (Qs.al-Waqi’ah/56:25-26) Damai! Sebagai tegur-sapa dari Tuhan Yang Maha Kasih. (Qs. Yasin/36:58)
Dalam suasana rahmat dan kasih-Nya itu, Allah mengajarkan kepada kita bahwa hakikat kemanusiaan adalah satu, dengan tetap ada perbedaan yang tidak hakiki, yang perbedaan itu tidak seharusnya membawa kepada pertikaian. Bagi sementara kalangan di antara kita, perbedaan di antara kita, perbedaan lahiriah antara berbagai golongan disalahpahami sebagai perbedaan hakiki. Maka bagi mereka itu, seperti halnya bagi kaum musyrik, sulit sekali memenuhi ajakan untuk tidak berpecah-belah, untuk bersatu dalam ajaran dasar kesucian dari Tuhan Yang Maha Esa.

Di akhir khutbahnya Nurcholish menutup dengan ungkapan marilah kita galang persaudaraan antar umat, antar suku bangsa, dan antarsesama manusia seluruhnya. Marilah kita wujudkan masyarakat dan negara yang tertib, aman, dan damai, yang membuat bahagia seluruh warga negara. Marilah kita wujudkan itu semua dengan iman, amal kebajikan, bebas dari syirik pemujaan kepada harta dan kekuasaan.
Dari khutbah yang sengaja penulis kutip mengandung pesan bahwa semua manusia sama yang membedakan hanya budi pekerti dan taqwa. Jangan mengedepankan perbedaan tetapi persamaan karena perbedaan itu tidak hakiki. Yang menarik, Nurcholish menyebut syirik itu pada harta dan kekuasaan.
Lalu? Bagaimana kiprah Nurcholish di dunia politik? Nurcholish di tahun 1971 saat rezim orde baru berkuasa dengan militernya, muncul pernyataan yang mengundang polemik dan kontroversi “Islam Yes, Partai Islam No”. Apakah Nurcholish tidak senang dengan partai Islam (yang ketika itu PPP dengan lambang Ka’bah)? Dalam bukunya Islam Substantif, Prof. Azyumardi Azra menyatakan bahwa oleh Partai Masyumi Baru dengan ketuanya Ridwan (tokoh PPP yang hijrah ke Golkar) mencalonkan Nurcholish Madjid jadi Presiden pasca Habibie. Semua orang tahu bahwa waktu itu terjadi gejolak antara kubu Habibie dan Megawati. Ditampilkannya Cak Nur sebagai calon alternatif kalau-kalau Gusdur mundur dari pencalonan oleh poros tengah. Belakangan Nurcholish mengeluarkan pernyataan bahwa kalau dia maju sebagai presiden maka kemunduran bagi demokrasi kita dan tidak sehat bagi proses demokrasi. Bagi Cak Nur, yang pantas jadi calon Presiden adalah orang-orang partai politik, kecuali dalam situasi darurat yang benar-benar gawat.

Masalah sekulerisasi (dasar kata sekuler) yang juga menjadi tema pokok gagasan Cak Nur yang diwacanakan, mendapat tanggapan keras dari tokoh-tokoh lain. Seorang Doktor hadits (UIN Jakarta) bahkan dengan keras dan tegas telah mengecam pernyataan Cak Nur tersebut. Sekuler yang bermakna duniawi , sepintas memang sangat mengganggu masyarakat Indonesia yang beragama. Karena tentu dengan sendirinya istilah itu bertentangan dengan ajaran dan keyakinan. Jika nasionalisme sekuler diperhadapkan dengan nasionalisme sekuler maka penjelasan singkatnya adalah bahwa negara sekuler adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan politik ( sesuai semangat ungkapan Islam Yes, Partai Islam No). Sedangkan nasionalisme religius adalah suatu bentuk antitesis nasionalisme sekuler, dimana nasionalisme bersumber dari agama, bersumber dari keyakinan bahwa agama tidak hanya mengurus pasal ibadah, tetapi juga peduli terhadap masalah-masalah politik.

Inikah yang dimaksud Nurcholish Madjid tentang sekulerisasi? Menurut bacaan penulis dari berbagai sumber, tidak demikian. Gagasan ini muncul ketika banyak simbol-simbol agama yang sakral justru dibawa ke kehidupan dunia (diduniawikan), dan sebaliknya hal-hal yang sifatnya duniawi dikultuskan, disakralkan sehingga menuju pada pemusrikan (seperti pada pemujaan harta dan kekuasaan). Jadi, menurut penulis, gerakan sekulerisasi Nurcholish justru gerakan pemurnian ajaran Islam dalam bentuk dan versi yang berbeda dengan Muhammad Abduh atau Kyai Ahmad Dahlan.

------------
BAB III
PENUTUP

Menutup tulisan ini penulis mengajukan beberapa kesimpulan dari gagasan Nurcholish Madjid di atas. Kesimpulan itu tidaklah mewakili kesimpulan tentang gagasan dan pemikiran Nurcholish, tetapi kesimpulan dari hasil penilaian atau bacaan penulis tentang tokoh yang dibahas:
1. Nurcholish memandang bahwa semua manusia sama, termasuk kitab suci dan nabi pembawa risalah (ajaran) bersumber dari sumber yang sama yakni Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana dengan agama? Apakah semua agama sama? Biarlah jadi bahan perdebatan dalam diskusi!
2. Karena semua manusia sama, maka yang membedakan di sisi Allah Swt hanya budi pekerti dan ketaqwaannya.
3. Gagasan Nurcholish tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi sebenarnya dalam rangka semangat membangkitkan umat Islam dari sakralisasi dan bangkit dari nilai-nilai bukan bangit dengan simbol-simbol keagamaan.


------------------
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Nur dan M. Ridhwan. Pesan Damai Idul Fitri. Jakarta: Kompas, 2003
Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000
Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Bandung: Teraju (Mizan), 2004
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999
Madjid, Nurcholish, et.al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Jakarta: Mediacita, 2000
M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2003
Nata, Abuddin. Problematika Politik Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo dan UIN Jakarta, 2002
Pribadi, Airlangga dan M.Yudhie R. Haryono. Post Islam Liberal. Jawa Barat: PT Gugus Press, 2002
Sidi, Indra Djati. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina, 2001

Read More
Published Februari 10, 2012 by with 0 comment

Muhammad ‘Abduh (Anti Jumud, Rasional dan Pembaruan Pendidikan)

Muhammad ‘Abduh 
(Anti Jumud, Rasional dan Pembaruan Pendidikan)

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Salah satu agenda permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslim di berbagai belahan dunia Islam setelah berabad-abad lamanya adalah Islam dan modernitas.
Dengan munculnya tokoh-tokoh pembaharu Islam dengan pola pemikirannya masing-masing agak memberikan solusi terhadap kaum muslimin yang ditimpa musibah kejumudan fikiran.
Muhammad Abduh adalah salah satu dari pembaharu Islam Mesir juga sebagai seorang ulama besar, penulis kenamaan, dan pendidik yang berhasil, pembaharu Mesir modern, seorang pembela Islam, seorang wartawan yang tajam penahnya, seorang hakim yang jauh pandangannya, pemimpin dan politikus ulung, dan akhirnya menjadi seorang mufti suatu jabatan keagamaan yang tertinggi di Mesir.
Dengan demikian dia dikenal sebagai seorang pembaharu dalam Islam melalui ide-idenya. Ia menentang jumud, menekankan penggunaan akal manusia serta memberikan sumbangsih terhadap pengembangan sistem pendidikan baru di Mesir dan negara-negara Islam lainnya. Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan menguraikan dalam bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sebenarnya riwayat hidup Muhammad Abduh ?
2. Bagaimana ide-ide atau konsep-konsep pembaruan Muhammad Abduh dalam hal anti jumud, rasional dan pembaruan pendidikan ?

C. Tujuan dan Sasaran Pembahasan
Pembahasan ini bertujuan untuk memberi informasi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh dan konsep pembaruannya dalam hal anti jumud, rasional dan pembaruan pendidikan, agar terbangun pemahaman yang benar dan komperehensif tentang hal ini, sehingga membangkitkan kesadaran umat Islam untuk berjuang terus melawan kebodohan, kelemahan, ketertinggalan dan kejumudan dengan kembali kepada Islam yang sebenarnya sesuai dengan Alquran dan al-Hadis, dan dapat menfungsikan akal yang diberikan Tuhan untuk berfikir kritis, bebas, nyata dan rasional agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan bersaing dengan negara-negara maju namun tetap menjaga norma-norma Islam dalam berpikir.

--------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

1. Kelahiran dan masa kecilnya
Para ahli dan penulis sejarah memang tidak sependapat tentang kelahiran Muhammad Abduh. Sekurang-kurangnya ada 3 pendapat mengenai hal ini :
  • Ia lahir pada tahun 1845/1266 H di desa Mahillah Nasr provinsi Buhaerah di daerah Subrakhit.
  • Ia lahir pada tahun 1849/1265 H di sebuah dusun Delta Sungai Nil di Mesir Hilir.
  • Dan ada pula yang mengatakan, bahwa ia lahir pada tahun 1842 M.
Ketidakpastian ini disebabkan karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Selain itu juga karena suasana kacau yang terjadi di akhir zaman pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849). Tetapi yang jelas, secara umum pendapat para ahli yang mengatakan bahwa Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M. Situasi rumit yang menghimpit kehidupan masyarakat Mesir ketika itu, sehingga ayahnya terpaksa hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain tidak berkediaman, telah ikut pula membesarkan Abduh. Yang menguntungkan bagi diri Abduh adalah, meskipun kehidupan rakyat di bawah standar namun orang tuanya tergolong pada penduduk yang berbudi luhur dan kuat beragama, meskipun sama sekali tidak berpendidikan sekolah.

Dengan demikian, Muhammad Abduh besar dan didewasakan dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu dan ayah yang tidak ada hubungan dengan pendidikan sekolah, tetapi jiwa mereka penuh dengan didikan agama yang kuat, serta budi pekerti yang tinggi. Beberapa tahun kemudian, setelah kawin dengan Junainah, ayah Abduh kawin lagi dengan wanita lain. Hal ini berarti ia bertempat tinggal di sebuah rumah yang dihuni beberapa orang isteri dan mempunyai beberapa orang anak pula. Kondisi itu membawa pengaruh besar terhadap pikiran Abduh tentang perbaikan-perbaikan masyarakat Mesir.

Dilatar belakangi kondisi hidup di masa kecilnya, ketika ia biasa mendengar cerita-cerita masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya yang waktu itu masih hidup dalam ingatan orang tua-tua, Muhammad Abduh menjadi mengertia dan tertanam di dalam hati minat melayani keperluan rakyat banyak. Hal inilah yang dapat mengangkat derajat (martabat) seluruh bangsanya.

Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Perhatian mereka terhadap pendidikan anaknya nampak besar. Seperti terlihat dalam usahanya mendatangkan guru ke rumahnya untuk mengajar Abduh menulis dan membaca. Suatu bekal bagi Abduh di kelas pada masa-masa selanjutnya, baik di Tanta maupun di al-Azhar. Mereka menginginkan supaya anaknya kelak banyak mempunyai pengetahuan, sehingga dapat berguna bagi bangsanya. Keinginan ini pulalah yang menjadi suatu keistimewaan keluarga Muhammad Abduh, suatu hal yang belum lazim di waktu ini, bagi orang-orang di desanya.

Oleh karena itu secara singkat dapat digambarkan bahwa sosok pribadi Muhammad Abduh waktu kecil itu adalah sebagai seorang yang mempunyai kecerdasan dan sikap percaya diri, serta sifat-sifat utama yang diterimanya dari kedua orang tuanya.

2. Pendidikan dan Perjuangannya
Berbicara mengenai pendidikannya, tidak terlepas dari pada perjuangan Abduh dan merupakan rangkaian peristiwa yang mengukir sejarah hidupnya. Dimulai dari pendidikan yang diterimanya di rumah dari guru privatnya, segera ayahnya mengirim Abduh kepada seorang hafiz Alquran untuk belajar Alquran dengan hafalan, waktu itu tahun 1861 M. berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu 2 tahun, ia telah hafal kitab suci Alquran secara keseluruhan. Pada hal ketika itu ia masih berusia 12 tahun. Kemudian, ia meneruskan pelajaran pada perguruan agama di Mesjid “Ahmadi” yang terletak di desa Tanta. Mesjid ini kedudukannya dianggap nomor 2 setelah Universitas al-Azhar, dari segi tempat belajar Alquran dan menghafalnya. Pengalaman pertamanya dengan membaca di luar kepala, menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum, yang tidak memberinya sarana untuk memahami, ikut membentuk komitmennya di kemudian hari kepada pembaruan menyeluruh atas sistem pendidikan di Mesir.

Muhammad Abduh merasa bosan di Tanta, dan lari bersembunyi di rumah salah seorang paman ayahnya, yang membujuknya untuk belajar kembali. Syekh Darwis Khadr, paman dari ayah Abduh yang ahli tasawuf, sehingga ia membimbingnya belajar agama dengan sabar, akhirnya Abduh mau belajar lagi di Tanta dan setelah tamat di sana ia meneruskan perjalanannya ke al-Azhar di Kairo, di sanalah ia bertemu dengan al-Afghani yang sedang banyak dikunjungi oleh para mahasiswa. Semenjak pertemuan itu Muhammad Abduh merasa tertarik kepada al-Afghani dan pertemuan itu telah meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh.

Pertemuan tersebut terulang kembali, pada saat Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir untuk menetap di sana. Maka pada waktu itulah Muhammad Abduh dan kawan-kawannya kembali belajar kepada Jamaluddin al-Afghani. Pada al-Afghanilah ia belajar tentang pengetahuan-pengetahuan modern seperti filsafat, sejarah, hukum ketatanegaraan dan lain-lain. Dan dia juga telah terjun ke lapangan pers atau media massa.

Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877 M, atas usaha perdana menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas “Darul Ulum” dan menjadi dosen pula di al-Azhar. Tetapi sayangnya, setelah kurang lebih 2 tahun ia melaksanakan tugasnya sebagai dosen dengan cita-cita yang murni dan semangat penuh, maka pada tahun 1879 M, pemerintah Mesir berganti dengan yang lebih kolot dan reaksioner, yaitu turunnya Khedive Ismail dari singgasana, digantikan oleh putranya Taufik Pasya. Pemerintahan yang baru ini segera memecat Abduh dari jabatannya dan mengusir Jamaluddin al-Afghani dari Mesir.

Akan tetapi pada tahun selanjutnya, Abduh diberi tugas kembali oleh pemerintah menjadi pemimpin majalah “al-Waka’l al-Mishriyah” dan sebagai pembantunya diangkat Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah inilah, sehingga Abduh mendapat kesempatan untuk mengkritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir. Kemudian pada tahun 1882 terjadi pemberontakan “Urabi Pasya”.

Tiga setengah tahun lamanya Muhammad Abduh berdiam di Beirut, dan kemudian Abduh diampuni dan diizinkan kembali ke Mesir dan tidak lama setelah pulang ke Kairo, dia diangkat menjadi hakim pada Tribunanx Indigine (pengadilan untuk pribumi), dan dua tahun kemudian diangkat sebagai penasehat pada Cour d' Appel (Mahkamah Banding). Pada tahun 1899 M kepadanya dipercayakan menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. Abduh diangkat sebagai Mufti Negara.
Kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada Islam yang sebenarnya, mendorongnya untuk mengkaji kembali masalah-masalah keagamaan dan menuliskannya, sehingga karenanya terangkatlah namanya sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam.

3. Karya-karyanya
Suatu hal yang penting dalam membicarakan riwayat hidup Muhammad Abduh, ialah tentang buah karyanya semasa hidupnya, bahkan ada juga usahanya yang masih terbengkalai dan dilanjutkan oleh salah seorang murid dan pengikut setianya, Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Adapun karya-karya Muhammad Abduh, baik berupa bahan ceramah, bahan kuliah yaitu :
  • Al-Waridat, yang menerangkan ilmu tauhid menurut pola tasawuf yang dijiwai oleh pokok pikiran Jamaluddin al-Afghani.
  • Wahdat al-Wujud, menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang kesatuan antara Tuhan dan makhluk, yakni bahwa alam ini adalah pengejawantahan Tuhan
  • Syarh Nahj al-Balaghah, menurut kesusasteraan bahasa Arab yang berisi tauhid dan kebesaran agama Islam
  • Falsafat al-Ijtima’l wa al-Tarikh, yang menguraikan filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat
  • Syarh Basair al-Nazariyah, uraian ringkas tentang ilmu mantiq (logika) yang telah dikuliahkan di al-Azhar dan diakui sebagai kitab terbaik dalam ilmu ini.
  • Risalat al-Tauhid, uraian tentang tauhid yang mendapat sambutan terbaik dari kalangan ulama muslim dan dari kalangan agama lain
  • Al-Islam wa al-Nasaraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah
  • Tafsir Surat al-‘Asr, tafsir yang mula-mula dikuliahkan di al-Azhar kemudian diceramahkan kepada kaum muslimin dan mahasiswa di al-Jazair.
  • Tafsir Juz ‘Amma, tafsir Alquran juz 30 ini diajarkan oleh ‘Abduh di Madrasah al-Khairiyah, isinya antara lain menghilangkan segala macam tahayul dan syirik yang mungkin menghinggapi kaum muslimin
  • Tafsir Muhammad Abduh, tafsir ini disusun oleh Muhammad Rasyid Ridha dari kuliah yang diberikan ‘Abduh di al-Azhar dan baru sampai juz ke 10. Setelah ‘Abduh wafat, Rasyid Ridhalah yang meneruskan penafsiran tersebut hingga juz ke-12, yang dimuat dalam majalah al-Manar.
  • Al-Takrir fi al-Islah al-Muhakkimin al-Syar’iyah, buku ini ditulis sewaktu ia menjabat Ketua Mahkamah Tinggi di Kairo, ia memberikan sugesti terhadap perubahan-perubahan penting dalam undang-undang syariat.

B. Ide-Ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh
1. Anti Jumud
Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan dan hanya berpegang teguh pada tradisi. Hal inilah yang membawa umat Islam kepada kemunduran.
Muhammad ‘Abduh, mengungkapkan bahwa Alquran mengajarkan dinamika bukan kejumudan. Ia juga sangat menentang sikap taklid umat kepada ulama masa lampau. Alquran menurutnya sangat mencela taklid umat masa-masa lampau kepada peninggalan nenek moyang mereka. Dan ia juga secara tegas mengatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan untuk kemajuan umat Islam zaman modern perlu diadakan ijtihad terhadap naskah Alquran. Kalau nash mengenai ibadah bersifat tegas, maka nash mengenai muamalah dan hidup kemasyarakatan mengandung hanya prinsip-prinsip umum. Lagi pula nash itu jumlahnya sedikit. Interpretasi prinsip-prinsip umum ini melalui ijtihad dapat disesuaikan dengan perkembangan modern. Jadi dapat dipahami bahwa yang boleh dikenakan ijtihad adalah mengenai masalah muamalah, bukan masalah ibadah yang sudah tegas dan terperinci dari Nabi saw. Sedangkan masalah muamalah masih umum sifatnya hanya merupakan dasar-dasar saja sehingga perlu ijtihad.

Sebab lain kemunduran umat Islam, menurut Muhammad Abduh, karena umat Islam tidak kenal ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa kepada kemajuan. Mereka berlebihan dalam memuja syekh dan wali, kepatuhan buta kepada ulama, dan taklid kepada ulama terdahulu, serta tawakkal secara bulat tanpa adanya usaha pada qada’ dan qadar, dan juga menganut faham fatalisme (Jabariah).
Dengan sendirinya taklid kepada ulama lama tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tak dapat maju. Dalam bukunya tersebut di atas, Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, kata Muhammad Abduh membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal mereka berkarat. Taklid ini menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, Syari’at, sistem pendidikan dan sebagainya. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang Muhammad Abduh berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu. Alquran dan Hadis, katanya melarang umat Islam bersifat taklid.

Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasar atas kepercayaannya pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya Alquran berbicara, bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukkan perintah-perintah dan laranganNya kepada akal. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat :
Dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Dalam Islamlah, katanya, agama dan akal buat pertama kali mengikat tali persaudaraan. Bagi Muhammad Abduh akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Wahyu tak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu sesuai dengan pendapat akal.

Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban sesuatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasar pada hukum alam (natural laws = سنة الله) tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam atau سنةاللهadalah ciptaan Tuhan dan wahyu juga berasal dari Tuhan. Karena keduanya berasal dari Tuhan, maka ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya, yang berdasar pada wahyu, tak bisa dan tak mungkin bertentangan. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern.

2. Pemikiran Rasional
Pembukaan ijtihad diakui atau tidak, tentu saja memerlukan akal pikiran. Karena akal harus dibangun dari tidur lelapnya. Mengingat Allah menciptakan manusia dengan fasilitas akalnya untuk digunakan menerima petunjuk ilmu pengetahuan dan bukti-bukti dari peristiwa yang terjadi.
Muhammad Abduh menekankan tingkat kekuatan akal dalam Alquran. Ia menegaskan bahwa dalam Alquranlah wahyu untuk pertama kali berbicara kepada akal manusia. Makanya ia tidak tertarik kepada teologi Asy’ariyah yang memberi kedudukan rendah kepada akal. Ia lebih tertarik kepada teologi rasional Mu’tazilah. Makanya dalam karangan-karangannya ia banyak mengeluarkan pendapat yang sejalan dengan faham-faham Mu’tazilah. Oleh karena itu metode berfikir yang dibawanya adalah pemikiran rasional Mu’tazilah.

Baginya, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan kuat. Islam menurutnya hendaknya berada dalam timbangan akal manusia yang telah diberikan Tuhan karena akal merupakan penolak terhadap penyimpangan dari kebenaran dan mampu memperkecil kebingungan dan kepicikan. Bahkan Islam baginya menetapkan bahwa manusia sanggup sampai kepada pengenalan kepada Allah (ma’rifah Allah) dengan akal dan inilah akar pertama dari keyakinan dalam Islam. Jadi, jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu saja tetapi juga akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu, turun untuk memperkuat pengetahuan akal dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tak dapat diketahui akalnya.

Jalan untuk memperoleh pengetahuan menurut Muhammad Abduh memang dua, akal dan wahyu. Wahyu ia artikan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa itu berasal dari Allah, baik dengan perantara maupun tidak. Sehingga apabila terjadi pertentangan antara akal atau nalar dan wahyu, maka beliau lebih memilih apa yang ditunjuk dan masuk dalam akal manusia, sehingga tidak segan-segan meninggalkan harfiah ayat-ayat Alquran. Jadi Muhammad Abduh sebenarnya tidak meninggalkan ayat-ayat yang merupakan wahyu dan kebenaran Ilahi. Menurutnya, kalau terjadi pertentangan hasil rumusan akal dengan zhahir ayat (arti harfiah ayat), maka Abduh tidak segan-segan melakukan ta’wil, yakni sebuah upaya mengalihkan pengertian ayat kepada pengertian yang jauh sehingga dapat diterima akal sehat. Baginya, wahyu tidak dapat bertentangan dengan akal manusia. Kalau saja Abduh amat mengedepankan akal dalam masalah akidah, maka sudah pasti ia mengedepankan akal dalam arti ijtihad untuk tajdid dalam urusan mu’amalah. Jadi dapat dipahami bahwa sebenarnya Muhammad Abduh tidak lagi memberi peluang pembaharuan dalam hal ibadah, khususnya yang sudah jelas dan tegas dalam Alquran tetapi memberi peluang dalam hal prinsip-prinsip umum yaitu dalam hal muamalah dan hidup kemasyarakatan.

Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Kepercayaan pada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariah). Bahwa ia mempunyai faham ini dapat dilihat dari uraiannya mengenai perbuatan manusia dalam Risalah al-Tauhid. Disitu ia sebut bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi.

Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek yaitu :
1. Aspek kebebasan berpikir
2. Aspek kemasyarakatan seperti pendapatnya mengenai poligami dan monogamy
3. Aspek keagamaan seperti; tidak menghendaki taqlid dan membuka pintu ijtihad
4. Aspek pendidikan antara lain al-Azhar mendapat perhatian dan perbaikan metode dan kurikulum dan lembaga-lembaga pendidikan yang lain.

Corak pemikiran rasional Muhammad Abduh sangat nampak pada persoalan teologi bahkan lebih rasional dari Mu’tazilah sebagaimana 8 ajarannya yang popular :
1. Konsep iman
2. Sifat-sifat Tuhan
3. Perbuatan Tuhan
4. Keadilan Tuhan
5. Kekuasaan Tuhan dan kehendaknya
6. Perbuatan manusia
7. Kekuatan akal
8. Fungsi wahyu.

Bagi Muhammad Abduh, agama hampir saja bertindak sebagai pelengkap dan pembantu akal. Akal menduduki posisi yang menentukan. Di atas segala-galanya, Islam adalah agama akal dan seluruh doktrin-doktrinnya dapat dibuktikan secara logis dan rasional.

3. Bidang Pendidikan
Seperti halnya dengan al-Afghani, Muhammad Abduh melihat bahwa salah satu sebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan itu adalah hilangnya tradisi intelektual, yang intinya adalah kebebasan berfikir. Tapi berbeda dengan gurunya, Abduh melihat bidang pendidikan dan keilmuan lebih menentukan dari pada bidang politik. Keterlibatan Muhammad Abduh pada pemberontakan Urabi Pasya yang gagal itu disebabkan karena ia ingin mereformis intelektual dan pendidikan.
Yang pertama-tama yang harus ia usahakan adalah merombak dan mereformasi almamaternya sendiri. Hal yang terpenting ia lakukan adalah memperjuangkan agar para mahasiswa al-Azhar juga diajarkan mata kuliah Filsafat, demi menghidupkan kembali dan mengembangkan intelektualisme Islam yang padam itu. Usahanya ini mengalami kegagalan karena ditolak oleh dewan guru besar al-Azhar. Tetapi meskipun demikian “liberalisme Islam” telah ditanamkan dan terus berkembang sehingga mempengaruhi jalan pikiran generasi-generasi muslim yang terpelajar. Baginya, pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Karena itu perhatiannya adalah mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sendiri di sekolah agama Mesir, yang tercermin dengan baik sekali dalam pendidikannya di al-Azhar.

Adapun program yang diajukan Muhammad Abduh sebagai salah satu pondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing, dan juga mengkritik sekolah modern yang didirikan pemerintah, disebabkan karena di sekolah misionaris, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajarkan agama sama sekali. Inilah yang menjadi pemikiran Muhammad Abduh dalam memperbaharui pendidikan, dengan melihat adanya dualisme ini. Dalam sistem pendidikan yaitu dalam sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan dalam sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.

Kemudian mengenai isi dan lama pendidikan, menurutnya haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan lain sebagainya, haruslah mendapat pendidikan minimum. Kurikulum sekolah ini haruslah meliputi buku-buku ikhtisar doktrin Islam dengan memaparkan secara garis besar pondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan yang benar dan salah dan tentang sejarah hidup Nabi dan para sahabat serta tentang kejayaan Islam.
Pada sekolah menengah, siswa harus mempelajari syarat, militer, kedokteran atau ingin bekerja pada pemerintah. Kurikulumnya haruslah meliputi buku yang memberikan pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran, dan protocol berdebat. Kemudian pada pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk guru dan kepala sekolah, dengan kurikulum yang lebih lengkap, mencakup tafsir Alquran, ilmu bahasa, studi moralitas, prinsip-prinsip fikih, historiografi, seni bicara dan meyakinkan teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kurikulum yang dikenakan oleh Muhammad Abduh mengharapkan lahirnya tiga kelompok masyarakat yaitu masyarakat awam, golongan pejabat sipil dan militer serta golongan pendidik dan ilmuan.
Dalam metode pengajaran, sistem menghafal di luar kepala perlu diganti karena metode tersebut dapat merusak daya nalar dan diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari dengan menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam.
Namun dari beberapa pemikiran Muhammad Abduh dibidang Teologi Muhammad Said (pemakalah) tidak sependapat Muhammad Abduh membagi iman pada dua bagian yaitu iman orang khawash yang disebut iman hakiki dan iman orang awam yang disebut iman taklidi yakni yang cukup dengan tasdiqi. dan iman orang khawash bukan sekedar tasdiqi, tapi dibarengi dengan amaliyah. Menurut Muhammad Said iman tak dapat di bagi, tetapi kualitas iman dapat diukur tinggi rendahnya iman seseorang melalui amal perbuatannya.
Muhammad Said juga tidak sependapat Muhammad Abduh tentang sifat-sifat Tuhan di mana Muhammad Abduh lebih cenderung kepada peniadaan sifat Tuhan walaupun dia mengkritik Hasan al-Asy’ari yang menganut faham bahwa sifat Allah berdiri sendiri di luar esensi Allah itu sendiri dan juga Muhammad Abduh tidak menganut faham bahwa sifat Allah adalah esensi Allah sedangkan Muhammad Said menganut faham bahwa sifat Allah esensi Allah.

Dan faham Muhammad Abduh tentang keadilan Tuhan tidak sependapat dengan Muhammad Said, karena Muhammad Abduh memahami keadilan Tuhan itu adalah memasukkan Surga bagi orang yang melakukan kebaikan dan memasukkan neraka bagi orang yang melakukan dosa. Sedangkan menurut Muhammad Said bahwa keadilan Tuhan tergantung kepada sifatnya. Jadi apapun yang dilakukan oleh Tuhan maka itulah keadilan-Nya. Sebagaimana Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak dalam berbuat. Lebih lanjut Muhammad Said menjelaskan bahwa jika konsep keadilan menurut manusia yaitu menghukum yang bersalah dan membebaskan yang tidak salah maka sangatlah rendah Allah ketika Muhammad Abduh menginginkan konsep keadilannya yang dipakai oleh Allah dalam menghukum manusia.

-------------
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh pembaru Islam di Mesir yang muncul pada abad ke-19 yang lahir pada tahun 1849 M/1265 H, pada saat situasi rumit yang menghimpit kehidupan masyarakat Mesir, ketika itu sehingga orang tuanya hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengingat perhatian orang tuanya sangat besar dalam hal pendidikan anaknya, sehingga Muhammad Abduh dapat berguna bagi bangsanya.
  2. Konsep pembaruan Muhammad Abduh adalah dalam hal anti jumud ; ia mengungkapkan bahwa salah satu faktor kemunduran umat Islam adalah tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan dan hanya berpegang pada tradisi, sehingga menurutnya pintu ijtihad harus tetap dibuka. Kemudian dalam hal pemikiran rasional, menurutnya bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan kuat. Jadi menurutnya untuk mengetahui Tuhan bukan hanya wahyu saja tetapi juga dengan akal. Wahyu turun untuk memperkuat pengetahuan akal dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tidak dapat diketahui akalnya. Kemudian tentang pembaruan pendidikan, ia melihat adanya dualisme sistem pendidikan sehingga menurutnya sekolah-sekolah umum haruslah diajarkan tentang agama, begitu pula sebaliknya sekolah agama haruslah diajarkan pengetahuan modern.



-----------------
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syekh Muhammad. Risalatut Tauhid diterjemahkan oleh Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid. Cet. VII; Jakarta : Bulan Bintang, 1979.
Amin, Husayn Ahmad. Al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam diterjemahkan Bahruddin Fannani dalam Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet. III; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.
Asmuni, H.M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Cet. II; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Donohue John J. dan John L. Esposito, Islam in Transition : Muslim Perspective diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-masalah. Cet. II; Jakarta: 1989.
Jameelah, Maryam. Islam and Modernism diterjemahkan oleh A. Jainuri dan Syafiq A Mughal dalam Islam dan Modernisme : Kritik terhadap Berbagai Usaha Sekularisasi Dunia Islam. Surabaya : Usaha Nasional, t.t.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. I; Jakarta : Logos, 1977.
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan, 1998.
_______., Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. VIII; Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
_______., Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Cet. I; Jakarta : UI-Press, 1987.
Rahman, Jalaluddin. Metodologi Pembaruan Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam Studi Beberapa Orang Tokoh Pembaru. Makassar : Berkah Utami, 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Edisi 5. Jakarta : UI-Press, 1993.
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992.


Read More
Published Februari 09, 2012 by with 0 comment

ALI ABD AL-RAZIQ (Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam)

ALI ABD AL-RAZIQ 
(Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam pada hakikatnya adalah agama yang tidak memusuhi dunia, bahkan ia datang untuk memperbaiki dunia. Islam bukanlah hanya sejumlah aturan ritual-ritual keagamaan ataukah sekadar persoalan spiritual yang kompleks. Tapi Islam merupakan sistem yang komprehensif, yang mengatur segala segi spiritual dan praktikal, dan membuat jembatan antar keduanya. Islam mengatur segala urusan manusia dalam kehidupan dunia dan akhiratnya, berdasarkan pada aturan-aturan dan norma-norma akhlak yang mesti dipatuhi. Pengaturan tersebut mencakup individu maupun kelompok atau masyarakat. Dengan demikian, Islam mendirikan negara bersama agama. Negara Islam inilah yang akan mewujudkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai agama Islam. Rasulullah saw. telah mendirikan negara Islam, dan negara yang beliau dirikan tersebut memiliki semua karakteristik sebuah negara. Kemudian, setelah wafatnya, negara tersebut terus berlanjut dengan nama “khilafah” (kekhalifahan), dimana para sahabat bersepakat (ijma’) tentang wajibnya kelangsungan negara dan agama secara bersama-sama tak terpisahkan.

Hal tersebut telah menjadi anutan dan keyakinan bagi mayoritas kaum muslimin yang telah menggejala secara alami. Namun kemudian muncul di antara tokoh-tokoh pemikir pembaharu yang berusaha menggugat keyakinan tersebut, dengan membuat wacana baru bahwa Islam tidak datang untuk mengurusi masalah keduniaan, akan tetapi hanya semata-mata mengurusi masalah keakhiratan, dan Rasul saw. hanyalah diutus sebagai pemimpin agama bukan sebagai pemimpin negara, dan kepemimpinannya tersebut telah berakhir dengan berakhirnya masa kerasulan, dan tidak ada orang yang berhak menggantikan beliau dalam kepemimpinannya tersebut, sebagaimana tidak ada orang yang berhak menggantikan kerasulannya.
Wacana ini dilontarkan oleh seorang pemikir Mesir, Ali Abd al-Raziq, dalam bukunya al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm. Buku ini telah mengundang polemik besar di kalangan para ulama pada masanya, bahkan akan terus menjadi bahan kajian bagi para peneliti selanjutnya.

Tidak diketahui adanya buku lain yang ditulis oleh Ali Abd al-Raziq selain buku tersebut. Oleh karena itu, untuk mengkaji tentang pemikiran Ali Abd al-Raziq hanyalah bisa dilakukan terhadap pemikirannya yang tertuang dalam buku tersebut.

B. Batasan Masalah
Berdasarkan dari sekilas pemahaman di atas, makalah ini menyodorkan bahan diskusi bagi kita untuk menemukan suatu kebenaran yang mencoba mempermasalahkan;
1. bagaimana konsep pemerintahan dalam Islam menurut Ali Abd al-Raziq,
2. apakah pemikiran Ali kontroversial atau bertentangan dan menyimpang dari ajaran Islam?
Kedua masalah inilah yang akan diangkat melalui pendekatan historis dan relevansinya dengan ajaran Islam.

--------------
BAB II
PEMBAHSAN

A. BIOGRAFI ALI ABD AL-RAZIQ
Ali Abd al-Raziq, lahir di Menya, Mesir, pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966. Dia adalah seorang tokoh fiqhi siyasiy (politik) dari Mesir, khususnya politik hukum dan pemerintahan dalam Islam.
Ayahnya bernama Hasan al-Raziq, seorang pasha (keturunan bangsawan) yang mempunyai pengaruh yang cukup besar di daerahnya. Ia seorang aktivis politik serta menjabat wakil ketua Hizbul Ummah (Partai Kebangsaan) pada tahun 1907, dan berhubungan erat dengan pemerintah kolonial Inggris. Ayahnya ini adalah teman dekat Muhammad Abduh. Meski Ali Abd al-Raziq adalah putra dari seorang sahabat Muhammad Abduh, tetapi karena masih kecil sehingga ia tidak sempat berguru padanya.

Dalam usia yang masih muda, lebih kurang 10 tahun, Ali Abd al-Raziq memulai pendidikannya di al-Azhar. Ia menekuni pelajaran pada Syekh Ahmad Abu Khalwat, sahabat Muhammad Abduh. Ahmad Abu Khalwat seperti juga Muhammad Abduh adalah murid Jamaluddin al-Afgani. Di samping belajar agama di al-Azhar, Ali Abd al-Raziq selama beberapa tahun juga mengikuti kuliah di Universitas Mesir (sekarang Universitas Cairo). Di antara gurunya di sana ada Prof. Santillana yang memberikan kuliah Sejarah Filsafat. Setelah memperoleh ijazah ²lamiyah (Licence) dari al-Azhar tahun 1911, Ali Abd al-Raziq mulai bertugas memberikan kuliah di universitas tersebut pada tahun 1912. Pada pertengahan tahun itu juga ia berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas Oxford. Di Universitas ini ia mempelajari ilmu ekonomi dan politik. Pada tahun 1915 ia kembali ke Mesir, dan kemudian diangkat sebagai hakim Mahkamah Syar`iyah (Pengadilan Agama). Dalam kedudukannya sebagai hakim itulah ia mengadakan penelitian yang hasilnya ia bukukan dalam sebuah karya tulis terkenal, berjudul al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm; Ba¥£ f³ al-Khil±fah wa al-¦uk­mat f³ al-Isl±m (Islam dan Prinsip-prinsip pemerintahan: Suatu Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam), diterbitkan April 1925.

B. KONSEP KHIL²FAH DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Islam sebagai agama, wahyu menjadi kerangka acuan paripurna untuk seluruh kehidupan setiap muslim. Kalau kita meninjau pengertian khil±fah secara historis dalam Islam, bahwa istilah khalifah merupakan suatu sebutan khusus yang identik dengan kepala negara dalam Islam. Ketika gelar “khal³fah” pertama kali dipilih, ini mungkin dipakai dalam arti “pengganti”, karena Abu Bakar mengganti Nabi Muhammad saw., dalam masalah-masalah duniawi, meskipun bukan dalam masalah-masalah spiritual.
Namun dinasti Umaiyah mencoba meninggikan jabatan khilafah dengan mengaitkannya dengan sebuah ayat dalam al-Qur’an (Q.S. 2:30). Dalam ayat ini, khalifah bagi para pendengar (malaikat) mungkin berarti tidak lebih daripada penetap di bumi yang memiliki kekuasaan. Selanjutnya, bani Umaiyah berkeras bahwa perkataan itu berarti “wakil” – kemungkinan lain bagi makna kata khalifah – dan menambah gelar menjadi “khalifatullah”, wakil Allah.

Dalam suatu riwayat, ketika jabatan khalifah ditawarkan kepada Abu Bakar, diusulkan dengan sebutan “khalifah Allah”. Tetapi Abu Bakar menolak dengan mengatakan, “Bukanlah aku khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Demikianlah maksud khalifah bagi Abu Bakar, bukanlah khalifah selain yang bermaksud demikian.

Karena itu, pada zaman Ali Abd al-Raziq, soal yang hangat dibicarakan adalah persoalan khilafah yang telah dihapuskan oleh Mustafa Kemal di tahun 1924. Tindakan pimpinan Turki ini menimbulkan kehebohan di dunia Islam, karena sistem khilafah dianggap merupakan ajaran dasar, dan oleh karena itu penghapusannya bertentangan dengan Islam.

Selanjutnya dari segi pemerintahan, tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syariah. Bahkan menurut Ali Abd al-Raziq, pemerintahan dalam Islam boleh mengambil bentuk apa saja. Beliau menganggap bahwa Rasulullah saw. hanya bertugas mendakwahkan agama, dan tidak ada kaitan apapun dengan urusan kenegaraan. Karena itu menurutnya, Islam dapat saja menerima otokrasi, demokrasi, monarkhi, atau republik, kediktatoran ataupun pemerintahan konstitusional.

Ali Abd al-Raziq di dalam buku “al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm”, menurutnya, al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah saw. tidak menyinggung sistem pemerintahan. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad, menurutnya hanya mengembang tugas dan misi sebagai Rasul, dan tidak membawa misi untuk membentuk negara.

Sehubungan dengan pandangan di atas, di dalam buku Cakrawala Islam, dinyatakan bahwa argumen al-Raziq di atas dianggap sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena pemerintahan yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syariah Islamiyah) mempunyai tujuan ganda yang tipikal. Tujuan ini, pertama dicapai lewat prinsip-prinsip legislatif yang meletakkan aturan-aturan universal yang dapat mencakup pelbagai kasus secara luas.

Syekh Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam Aqidah wa Syariah, sebagai yang dikutip oleh Amien Rais, mengingatkan bahwa hukum-hukum yang tidak dapat diubah justeru diterangkan secara mendetail, sedangkan yang dimungkinkan ada perubahannya dipaparkan secara ringkas. Di dalam kaidah-kaidah Ushul Fiqhi, dapat diketahui bahwa keluwesan dan kekuasaan hukum Islam –termasuk yang menyangkut pengelolaan negara dan pemerintahan– tidak perlu diragukan lagi. Tujuan kedua dapat dicapai melalui apa yang dinamakan al-siy±sah al-syar`iyah.
Di dalam mencari setiap pemecahan (solusi) yang diambil, dari manapun datangnya, selama tidak menabrak batas-batas konseptual Islam, dengan sendirinya diperbolehkan oleh syariat. Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk mencapai tujuan ganda seperti dikemukakan di atas, akan menentukan apakah pemerintahan itu memiliki legitimasi atau tidak. Selama suatu pemerintahan tetap setia pada tujuan gandanya, yaitu pemantapan keyakinan dan pemenuhan kepentingan rakyat, maka pemerintahan itu secara hukum Islam memenuhi “syarat permulaan”, dan “syarat pelestarian”. Sebaliknya. Sebaliknya bila suatu pemerintahan tidak lagi setia pada tujuannya, dan melanggar syarat-syarat itu, maka secara hukum pemerintahan itu dengan sendirinya berakhir, kehilangan legitimasi, dan rakyat tidak lagi wajib mendukungnya.

Maka secara historis, perlu kita pahami bahwa sistem pemerintahan yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw., tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik, dalam arti Kepala Negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Seperti diketahui, bahwa khalifah pertama yaitu Abu Bakar, beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi. Khalifah kedua Umar ibn al-Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar. Demikian seterusnya sampai kepada khalifah keempat. Jadi mereka hanya sebagai sahabat Nabi yang merupakan hubungan persaudaraan.
Dari latar belakang sejarah di atas, dapat dianalisis bahwa di dalam ajaran Islam, dalam hal pemilihan seorang pemimpin, Allah tidak melaksanakan kekuasaan-Nya secara langsung dalam masalah-masalah politik pemerintahan, tetapi mewakilkannya kepada umat manusia. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kekuasaan duniawi harus dilaksanakan dengan perilaku yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perilaku universal, seperti persamaan manusia, kemanusiaan dan sejumlah sifat lain yang terdapat dalam al-Qur’an.

C. PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ DAN TANGGAPAN PARA ULAMA
Sebagaimana telah diketahui menurut sejarah, bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam bukanlah persoalan tentang keyakinan, malahan persoalan politik.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, asas dan dasar yang dipakai dalam al-Qur’an adalah untuk mewujudkan masyarakat beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan, persaudaraan, persamaan, musyawarah, dan keadilan. Adapun prinsip yang sebaiknya dipakai dalam mewujudkan masyarakat dimaksud, yang terpenting adalah pemerintahan yang adil dan demokratis (musyawarah) karena keadilan dan musyawarah sangat ditekankan dalam al-Qur’an (Q.S. 5:42, Q.S. 4:105, Q.S. 42:38, dan Q.S. 42:150).

Pemikiran Ali Abd al-Raziq mengenai politik (siyasah) yang dituangkan di dalam buku al-Islam wa Usul al-Hukm terangkum sebagai berikut:
1. Tentang kedudukan Rasulullah saw.
Menurut Ali Abd al-Raziq, umat Islam (setelah Rasul Hijrah ke Madinah) beranggapan bahwa Rasulullah saw. berhasil mendirikan negara baru di Madinah. Dalam hal ini, Rasulullah saw. adalah segalanya bagi umat Islam. Di samping pemimpin agama juga pemimpin negara. Tetapi menurutnya, sulit mengambil kesimpulan mengenai cara penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi saw. Menurutnya lagi, Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang utusan Allah untuk menyampaikan agama kepada umatnya, tanpa bermaksud mendirikan sebuah negara, dan tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara atau pemerintahan. Tetapi tugasnya tidak terlepas dari kerasulannya sebagai penyampai dakwah Islam kepada umatnya. Juga beliau tidak mendirikan pemerintahan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Ia hanya seorang Rasul seperti rasul-rasul sebelumnya yang tidak pernah mengajak umatnya mendirikan sebuah negara atau pemerintahan.
Selain itu menurut Ali Abd al-Raziq, Nabi saw. tidak pernah memberi petunjuk kepada umatnya tentang sistem pemerintahan dan kaidah-kaidah syura (musyawarah). Argumentasi yang dikemukakan oleh beliau tentang tidak adanya keharusan bagi Nabi saw. membentuk sebuah negara antara lain: Q.S. 17:54, Q.S. 25:56, Q.S. 42:48, dan Q.S. 88:21-22. Sementara itu, ia juga mengguna-kan hadis Rasulullah saw. riwayat Muslim. Dari ayat-ayat dan hadis ini, ia memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia dengan cara apa saja dan bagaimana ia mengatur dunianya.

2. Tentang Khilafah
Khilafah menurut Ali Abd al-Raziq, adalah suatu pola pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi dan mutlak pada seorang kepala negara/pemerintahan yang bergelar khalifah. Ia berfungsi sebagai pengganti Nabi saw., dan berwenang mengatur kehidupan dan urusan umat, baik mengenai keagamaan maupun mengenai keduniaan. Karena itu umat wajib mentaatinya. Tetapi tidak sependapat dengan ulama, khususnya ulama al-Azhar; seperti Muhammad Rasyid Ridha, yang mengatakan bahwa mendirikan lembaga khilafah adalah wajib hukumnya bagi umat Islam. Sementara itu, Ali sama sekali tidak dapat menemukan dasar kuat yang mendukung bahwa lembaga khilafah adalah wajib, baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun ijma’.
Kalau Rasyid Ridha mendasarkan kewajiban umat Islam untuk mendirikan lembaga khilafah pada Q.S. 4:59, yang mewajibkan ketaatan kepada ulil amri setelah ketaatan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Hal ini tidak dapat diterima oleh Ali Abd al-Raziq. Menurutnya, ulil amri adalah para tokoh umat Islam, yakni para khalifah, hakim, komandan pasukan perang, dan para pemuka agama. Menurutnya lagi, ayat yang mewajibkan taat kepada ulil amri ini tidak dapat dijadikan alasan kewajiban mendirikan lembaga khilafah.
Selanjutnya, hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa “al-a’immat min Quraisy” (Pemimpin umat itu berasal dari golongan Quraisy), dan yang telah membaiat (sumpah setia) kepadanya wajib mematuhinya kecuali dalam soal kemaksiatan (H.R. al-Bukhari dan Muslim), menurut Ali juga tidak sesuai dijadikan alasan kewajiban mendirikan lembaga khilafah. Persoalan ijma’ (konsensus ulama) tetap diakui oleh Ali Abd al-Raziq sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pengangkatan pada khalifah setelah Nabi saw. sampai zaman ketika ia masih hidup tidak pernah dilandasi dengan konsensus ulama.
Adapun pandangan para ulama, terutama di kalangan ulama al-Azhar-Mesir, menilai pemikiran Ali kontroversial dan menyimpang dari ajaran Islam. Karena secara umum ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. tidak menyinggung sistem pemerintahan, melainkan Nabi saw. hanya mengembang tugas dan misi sebagai rasul. Pemikiran itu dianggap oleh kalangan ulama Islam (pada waktu itu) sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.

Karenanya, Muhammad Rasyid Ridha bersama tokoh dan ulama lain dari al-Azhar berusaha menghidupkan kembali sistem khilafah yang telah dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk. Tetapi usaha ini tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Pada saat inilah Ali Abd al-Raziq memunculkan pemikirannya yang dinilai oleh ulama al-Azhar sebagai dukungan terhadap gagasan Attaturk tersebut. Seiring dengan itu, muncullah berbagai kutukan, protes keras dari Rasyid Ridha dan ulama al-Azhar kepada Ali Abd al-Raziq. Akhirnya ia dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar.

Dari tantangan dan protes keras yang terjadi itu, seorang ahli hukum Mesir (Muhammad Imarah) memberikan komentar dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq, bahwa pemikiran Ali Abd al-Raziq paling banyak mendapat sorotan dan kritikan dari ulama Mesir. Karena pemikirannya tersebut, ia dituduh oleh ulama Mesir sebagai orang kafir dan zindiq.
Dari pemikiran dan pendapat Ali Abd al-Raziq inilah, sehingga hasil rapat Majelis Ulama al-Azhar memutuskan pemecatannya sebagai hakim agama dan larangan untuk menduduki berbagai jabatan pemerintahan.

--------------
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian pemikiran Ali Abd al-Raziq tersebut, dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
  1. Ali Abd al-Raziq menilai bahwa tidak ada keharusan mendirikan pemerintahan dalam Islam, baik dengan pola khilafah ataupun selainnya. Menurutnya, baik dari segi agama maupun rasio, pemerintahan bukanlah bagian dari urusan agama.
  2. Pemerintahan dan Islam adalah dua hal yang tidak ada sangkut pautnya. Nabi saw. tugasnya hanya mengemban misi agama, bukan misi pemerintahan. Pemerintahan adalah urusan duniawi, sedang agama adalah khusus mengurus masalah ukhrawi.
  3. Sebab utama tantangan yang dihadapi Ali Abd al-Raziq dari para ulama, utamanya ulama al-Azhar, karena Ali menganggap bahwa al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. hanya mengemban tugas dan misinya sebagai rasul, bukan misi sebagai pemimpin negara.


------------------
DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Raziq, Ali. Al-Isl±m wa U¡­l al-Hukm. Kairo: al-Hai’ah al-Mi¡riyyah al-‘²mmah li al-Kit±b, 1993.
Amien Rais. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1991.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al [ed.]. Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid I. Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, 1996.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jilid I. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Barbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI Press, 1985.
______________. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.
______________. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Al-Rayis, M. Dhiya’uddin. al-Na§ariyy±t al-Siy±siyyah al-Isl±miyah. Cet. VII; Kairo: D±r al-Tur±£, t.th.
Watt, W. Montgomery. The Majesty That Was Islam. Diterjemahkan oleh Hartono Hadi Kusumo dengan judul Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Cet I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Read More
Published Februari 08, 2012 by with 0 comment

Thaha Husein (Islam dan Sekularisasi)

Thaha Husein
(Islam dan Sekularisasi)

I. Pendahuluan
Ketika umat Islam bersentuhan dengan Eropa pada abad pertengahan, mereka mulai sadar bahwa mereka telah jauh ketinggalan dari dunia Barat. Olehnya itu kelompok Islam memiliki visi sekularistik dengan kekaguman dan ketertarikannya kepada Barat menghimbau kepada umat Islam untuk belajar ke Barat (John L. Esposito, 1986 (terj.) : 101).
Ide sekularisasi di dunia Islam pertama kali diisukan kepermukaan oleh bapak Turki Modern, Mustafa Kemal Attaturk, kemudian diikuti oleh negara-negara Islam lainnya, seperti Mesir (Nurkholis Majid, 1994 : 78). Para pembaharu sekuler mengemukakan prinsip-prinsip sekuler dan menerima secara total peradaban Barat dengan mengadopsi ilmu dan teknologinya.
Pandangan paham sekuler secara terang-terangan terungkap dalam gagasan Thaha Husein “Mari kita ambil peradaban Barat ini dalam totalitasnya bersama seluruh aspeknya” (Syahrin Harahap, 1994 : 64). Berdasar inilah, maka penulis dalam tulisan ini mencoba mengkaji gagasan sekularisasi yang dilontarkan oleh Thaha Husein.


II. Biografi Thaha Husein
Thaha Husein, seorang sastrawan, pemikir dan pembaharu di Mesir. Lahir di Magagah, Mesir Selatan pada tanggal 14 November 1889. Ketika berumur 6 tahun ia diserang penyakit opthalmiah yang menyebabkan kebutaan selamanya, namun penyakit tersebut tidaklah menghalanginya untuk menuntut ilmu (Harun Nasution, 1984 : 85).
Pada usia 13 tahun ia melanjutkan di al-Azhar. Disanalah ia menimbah pemikiran moderen dari Muhammad Abduh dan Lutpih Sayyid. Pada tahun 1912 ia melanjutkan studinya di Universitas Cairo dan pada tahun 1914 ia memperoleh gelar Doktor dari Universitas ini dengan Disertasi yang berjudul Zikra Abi al –A’la (mengenang Abu al-A’la).
Pada tahun 1915 Thaha Husein melanjutkan studinya di Universitas Sorbone Perancis, disana ia belajar dibawah bimbingan guru besar senior seperti Glatza, Block, Dicke dan Seignobos dalam bidang sejarah, Lanson dalam bidang sastra Perancis dan Durkhein dalam bidang filsafat. Selain itu ia menerima pengwetahuan tentang Al-Qur’an dari Cassanova di salah satu college (Ensiklopedi Islam, 1993 : 138).
Sekembalinya dari Perancis ia giat dalam berbagai usaha untuk membangaun Mesir dan mengejar ketinggalannya dari dunia Eropa. Jabatan yang pernah digelutinya di Mesir antara lain sebagai Rektor Universitas Faruq dan beliau mencapai puncak karirnya ketika ia menduduki jabatan Menteri Pendidikan sampai 1953 (Syahrin Harahap, 1994 : 32-33).



III. Pembahasan

A. Pengertian Sekularisas
Kata sekularisasi berasal dari kata seculum, yang berarti abad (age, century, cewu, steal). Sekuler berarti seabad (Harun Nasution, 1996 : 188). Kemudian sekuler mengandung arti bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). Adapun kata sekularisasi adalah hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995 : 894). Sekularisasi diartikan pula proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama (Harun Nasution, 1996 : 188).

Sekularisasi dalam gagasan Thaha Husein adalah sekularisasi yang berbeda dengan sekularisasi yang terjadi di Barat, baik dari titik tolaknya maupun hasilnya. Sekularisasi dalam gagasan Thaha Husein bertitik tolak dari proses melepaskan umat dari ikatan-ikatan tradisi termasuk ajaran agama yang merupakan pemahaman para pendahulu terhadap nas-nas yang zanniy. Dan berakhir kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan sekularisasi yang terjadi di Barat bertitik tolak dari pemisahan dunia termasuk politik dari agama dan sebagai akhir sekularisasi di Barat itu terlepasnya ilmu dari gereja (Syahrin Harahap, 1994 : 22).
Karena adanya perbedaan titik tolak tentang konsep sekularisasi yang digagaskan Thaha Husein tersebut sehingga dalam pemaparan tentang gagasan-gagasannya bukanlah bermaksud untuk memisahkannya dengan agama itu sendiri melainkan untuk merobah pemahaman terhadap konsep-konsep ajaran agama kearah yang lebih maju sesuai tuntutan dan kondisi zaman kontemporer.


B. Gagasan Sekularisasi Thaha Husein
Pemikiran Thaha Husein tentang gagasan sekularisasi banyak dipengaruhi oleh kondisi intelektual di Mesir pada saat itu, seperti pemikiran pembaharuan oleh Muhammad Abduh, Qasim Amir, dan Luthfi al-Sayyid. Demikian pula ketika ia kuliah di Mesir ia dipengaruhi pula oleh Sayyid al-Marsafi dan orientalis Carlo Hallin dari Universitas Cairo.
Selain dari faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pemikiran Thaha Husein, ada faktor yang juga tidak kalah pentingnya yaitu faktor internal, yaitu hal-hal yang menyangkut riwayat hidup, pendidikan, pengaruh yang diterimanya dari berbagai macam pengaruh yang melatar belakangi pemikirannya. Adapun gagasan sekularisasi Thaha Husein yang sangat berpengaruh pada Mesir khususnya pada dunia Islam umumnya adalah sebagai berikut :
1. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Kebudayaan
Jika umat islam ingin maju, manurut Thaha, mereka harus mengambil peradaban Eropa, bahkan mereka harus menjadi orang Eropa dalam segala hal. Begitu pentingnya peradaban Barat untuk diadopsi demi kemajuan Islam (Syahrin Harahap, 1994 : 64).

Begitu besar pengaruh Barat (Eropa) terhadap pemikiran Thaha Husain, sehingga ia dengan tegas menyatakan bahwa, kita orang Mesir harus menerima apa yang datang dari Barat baik atau jeleknya. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa tak satupun kekuatan di dunia ini yang mampu menghalangi bangsa Mesir menerima cara hidup bangsa Eropa. Menurut beliau, untuk menjadi parner yang sejajar dengan bangsa Eropa, maka secara langsung dan terus terang harus meniru peradaban Barat dalam segala aspeknya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Pengingkaran terhadap hal ini dianggap oleh beliau sebagai penipuan terhadap diri sendiri (Maryam Jameelah & Margaret Marcus, 1981 (terj.) 195).
Hal yang paling mendasar dari pemikiran Thaha Husein adalah homogenitas dan intelektual antara bangsa Mesir dan Eropa. Oleh karenanya, Mesir bukanlah bagian dari Timur dalam limit tertentu dan harus berhenti berkiblat ke Timur (John J. Donohue & John L. Esposito, 1994 (trj.): 121). Menurutnya di dunia ini ada dua peradaban , peradaban Barat dan peradaban Timur. Yang dimaksud dengan peradaban Timur dan Barat adalah dalam artian kultural, bukan geografik (Albert Houraini, 1993 : 330).

Agar bangsa Mesir lebih maju, maka manifestasinya harus berorientasi ke, masa Mesir kuno dan pengadopsian bangsa Eropa. Eropa maju karena didependemsikan dari agama Kristen, bahkan tercerai dari belenggu dognatisme gereja Kristen (Harun Nasution, 1992 : 87). Dengan sterilnya sains Eropa dari dogma gereja, maka mentransfernya dan mengislamkannya lebih muda bagi orang Islam.

2. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Pendidikan
Munculnya gagasan Thaha Husein di bidang pendidikan ini dilatar belekangi oleh rasa prihatin atas hasil-hasil yang dicapai Mesir khususnya bidang pendidikan. Hasil-hasil pendidikan pada masa itu belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Hal ini dapat dilihat pada kondisi dan kenyataan bahwa tingkat kebutahurufan pada saat itu sangat tinggi.

Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, Ia nampaknya menaruh harapan pada universitas. Menurut beliau universitas harus mencerminkan intelektualitas, keilmiahan dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurut Thaha Husein hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan teknologi (Syahrin Harahap, 1994 : 99). Kemerdekaan ilmu harus melirik dan mencontoh kepada negara-negara maju.
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual maka beliau menggagaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke perguruan tinggi, demikian juga metode penelitiannya (Syahrin Harahap, 1994 : 293). Bahkan dalam tulisan G. H. Jansen disebutian bahwa Thaha Husein menasehatkan agar Mesir menggabungkan dri dengan Barat (G. H. Jansen, 1993 (terj.): 16)
.
Untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi pula, ia menyarankan bahwa perguruan tinggi tidak harus dikontrol oleh pemerintah, ia harus memiliki kebebasan mutlak, baik dari segi kebijakan finansial maupun dari segi metodologi kurikulum (Albert Hourani, 1993 : 337).

3. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Politik
Menurut Thaha Husein, politik dan agama adalah dua hal yang terpisah. Politik adalah sesuatu dan politik juga adalah sesuatu yang lain. Hal ini ditegaskan oleh beliau bahwa peraturan tentang kepemerintahan dan pembentukan negara harus ditegakkan menurut konsepaksiologi ilmu pengetahuan dan kepentingan praktis tanpa menghiraukan pada konsep lain (Muhammad al-Bahiy, 1986 (terj.): 110).
Thaha Husein berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mengatur sistem pemerintahan secara umum maupun secara khusus. Dengan demikian pemerintahan Nabi di Madinah maupun khalipahnya bukan didasarkan pada wahyu, melainkan insani, dalam arti dibangun sesuai dengan kepentingan temporer sehingga tidak pantas jika dipandang sakral.

Menurut Thaha Husein antara dan politik terdapat pemisahan yang tegas dan sejarah telah membuktikannya bahwa ummat Islam tidak pernah membentuk negara berdasarkan Islam, melainkan dibentuk dengan kepentingan praktis. Thaha Husein mengambil gagasan politik dengan mengambil sistem demokrasi. Demokrasi menurutnya adalah kata yang menunjukkan arti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Syahrin Harahap, 1994 : 133)
Sistem demokrasi menurutnya lagi mampu untuk mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung ummat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela dan durhaka.

4. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Agama
a. Kritik terhadap Sya’ir Jahiliyah
Setelah melalui penelitian kritis, ia menemukan bahwa sya’ir-sya’ir yang dianggap sebagai sya’ir Jahiliyah itu tidak merefleksikan perbedaan linguistik yang terdapat di Jazirah Arabiyah sebelum Islam menyatukannya atau seperti yang digambarkan al-Qur’an (Syahrin Harahap, 1994 : 133). Dengan demikian dapat dipahami dalam sya’ir-sya’ir itu konsistensi terhadap bahasa, gaya dan ide dengan kondisi jazirah Arabiyah yang pada masa itu belum bersatu dan hanya sedikit yang dapat disebut sebagai sya’ir Jahiliyah yang otentik.
Dalam hal ini secara filosofis beliau menggagaskan agar umat Islam tidak menganggap sakral bahasa dan sastra Arab terutama sya’ir jahiliyah dan juga tidak menganggap sakral penafsiran ulama-ulama dalam berbagai kajian-kajian keIslaman termasuk kehidupan pra-Islam, tetapi beliau mengajak agar umat Islam kembali mengingatkan diri pada ajaran dasar Islam selanjutnya melakukan ijtihad.


b. Kritik terhadap kisah dalam al-Qur’an
Taurat telah mengisahkan kita tentang Ibrahim dan Isma’il dalam taurat, demikian pula dalam al-Qur’an tidaklah menjamin keberadaan eksistensi keduanya secara historis. Kita terdorong untuk melihat keduanya didalam sejarah ini suatu fiksi untuk menetapkan perhubungan antara orang Yahudi dan orang Arab disatu pihak serta agama Islam dan agama Yahudi, al-Qur’an dan Taurat di pihak lain (Syahrin Harahap, 1994 : 164).
Beliau seorang Muslim tidak mengingkari keberadaan Ibrahim dan Isma’il dengan segala sesuatu yang terkandung di dalam al-Qur’an tentang keduanya. Akan tetapi, sebagai seorang ilmuwan, ia sangat ketat sehubungan dengan metode penelitian, ia tidak membenarkan keberadaan historisnya tanpa didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Hal ini disebabkan karena menurut beliau bahwa peristiwa-peristiwa harus bisa ditangkap dengan mudah dari segi waktu dan tempat.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Bahiy, Muhammad. Al-Fikr al-Islam al-Hadits wa Siratuh bi al-Isti’mar al-Garbiyy, diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad dengan judul Pemikiran Islam Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam.Cet.III; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Donohue, John J. & John L. Esposito. Islam in Transition, Moslem Perspektives, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-masalah, edisi I. Cet. V; Jakarta:PT. Raja Grafindo Perkasa.

Esposito, John L. (ed). Islam and Development: Religion and Socio-Political Change, diterjemahkan oleh A. Rahmani Zainuddin dengan judul Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Harahap, Syahrin, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Hourani Albert, Arabic Though in Liberal Age (1798-1939).Cambridge University Press, 1993.

Jameelah, Maryam & Margareth Marcus. Islam dan Modernism, diterjemahkan oleh A.Jainuri dengan judul Islam dan Modernisme. Surabaya: Usaha Nasional, t.th.

Jansen, G.H. Militant Islam, diterjemahkan oleh Ahamadi Sadali dengan judul Islam Militan. Bandung: Pustaka, 1994.

Majid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.



Read More