Published Februari 09, 2012 by with 0 comment

ALI ABD AL-RAZIQ (Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam)

ALI ABD AL-RAZIQ 
(Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam pada hakikatnya adalah agama yang tidak memusuhi dunia, bahkan ia datang untuk memperbaiki dunia. Islam bukanlah hanya sejumlah aturan ritual-ritual keagamaan ataukah sekadar persoalan spiritual yang kompleks. Tapi Islam merupakan sistem yang komprehensif, yang mengatur segala segi spiritual dan praktikal, dan membuat jembatan antar keduanya. Islam mengatur segala urusan manusia dalam kehidupan dunia dan akhiratnya, berdasarkan pada aturan-aturan dan norma-norma akhlak yang mesti dipatuhi. Pengaturan tersebut mencakup individu maupun kelompok atau masyarakat. Dengan demikian, Islam mendirikan negara bersama agama. Negara Islam inilah yang akan mewujudkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai agama Islam. Rasulullah saw. telah mendirikan negara Islam, dan negara yang beliau dirikan tersebut memiliki semua karakteristik sebuah negara. Kemudian, setelah wafatnya, negara tersebut terus berlanjut dengan nama “khilafah” (kekhalifahan), dimana para sahabat bersepakat (ijma’) tentang wajibnya kelangsungan negara dan agama secara bersama-sama tak terpisahkan.

Hal tersebut telah menjadi anutan dan keyakinan bagi mayoritas kaum muslimin yang telah menggejala secara alami. Namun kemudian muncul di antara tokoh-tokoh pemikir pembaharu yang berusaha menggugat keyakinan tersebut, dengan membuat wacana baru bahwa Islam tidak datang untuk mengurusi masalah keduniaan, akan tetapi hanya semata-mata mengurusi masalah keakhiratan, dan Rasul saw. hanyalah diutus sebagai pemimpin agama bukan sebagai pemimpin negara, dan kepemimpinannya tersebut telah berakhir dengan berakhirnya masa kerasulan, dan tidak ada orang yang berhak menggantikan beliau dalam kepemimpinannya tersebut, sebagaimana tidak ada orang yang berhak menggantikan kerasulannya.
Wacana ini dilontarkan oleh seorang pemikir Mesir, Ali Abd al-Raziq, dalam bukunya al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm. Buku ini telah mengundang polemik besar di kalangan para ulama pada masanya, bahkan akan terus menjadi bahan kajian bagi para peneliti selanjutnya.

Tidak diketahui adanya buku lain yang ditulis oleh Ali Abd al-Raziq selain buku tersebut. Oleh karena itu, untuk mengkaji tentang pemikiran Ali Abd al-Raziq hanyalah bisa dilakukan terhadap pemikirannya yang tertuang dalam buku tersebut.

B. Batasan Masalah
Berdasarkan dari sekilas pemahaman di atas, makalah ini menyodorkan bahan diskusi bagi kita untuk menemukan suatu kebenaran yang mencoba mempermasalahkan;
1. bagaimana konsep pemerintahan dalam Islam menurut Ali Abd al-Raziq,
2. apakah pemikiran Ali kontroversial atau bertentangan dan menyimpang dari ajaran Islam?
Kedua masalah inilah yang akan diangkat melalui pendekatan historis dan relevansinya dengan ajaran Islam.

--------------
BAB II
PEMBAHSAN

A. BIOGRAFI ALI ABD AL-RAZIQ
Ali Abd al-Raziq, lahir di Menya, Mesir, pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966. Dia adalah seorang tokoh fiqhi siyasiy (politik) dari Mesir, khususnya politik hukum dan pemerintahan dalam Islam.
Ayahnya bernama Hasan al-Raziq, seorang pasha (keturunan bangsawan) yang mempunyai pengaruh yang cukup besar di daerahnya. Ia seorang aktivis politik serta menjabat wakil ketua Hizbul Ummah (Partai Kebangsaan) pada tahun 1907, dan berhubungan erat dengan pemerintah kolonial Inggris. Ayahnya ini adalah teman dekat Muhammad Abduh. Meski Ali Abd al-Raziq adalah putra dari seorang sahabat Muhammad Abduh, tetapi karena masih kecil sehingga ia tidak sempat berguru padanya.

Dalam usia yang masih muda, lebih kurang 10 tahun, Ali Abd al-Raziq memulai pendidikannya di al-Azhar. Ia menekuni pelajaran pada Syekh Ahmad Abu Khalwat, sahabat Muhammad Abduh. Ahmad Abu Khalwat seperti juga Muhammad Abduh adalah murid Jamaluddin al-Afgani. Di samping belajar agama di al-Azhar, Ali Abd al-Raziq selama beberapa tahun juga mengikuti kuliah di Universitas Mesir (sekarang Universitas Cairo). Di antara gurunya di sana ada Prof. Santillana yang memberikan kuliah Sejarah Filsafat. Setelah memperoleh ijazah ²lamiyah (Licence) dari al-Azhar tahun 1911, Ali Abd al-Raziq mulai bertugas memberikan kuliah di universitas tersebut pada tahun 1912. Pada pertengahan tahun itu juga ia berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas Oxford. Di Universitas ini ia mempelajari ilmu ekonomi dan politik. Pada tahun 1915 ia kembali ke Mesir, dan kemudian diangkat sebagai hakim Mahkamah Syar`iyah (Pengadilan Agama). Dalam kedudukannya sebagai hakim itulah ia mengadakan penelitian yang hasilnya ia bukukan dalam sebuah karya tulis terkenal, berjudul al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm; Ba¥£ f³ al-Khil±fah wa al-¦uk­mat f³ al-Isl±m (Islam dan Prinsip-prinsip pemerintahan: Suatu Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam), diterbitkan April 1925.

B. KONSEP KHIL²FAH DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Islam sebagai agama, wahyu menjadi kerangka acuan paripurna untuk seluruh kehidupan setiap muslim. Kalau kita meninjau pengertian khil±fah secara historis dalam Islam, bahwa istilah khalifah merupakan suatu sebutan khusus yang identik dengan kepala negara dalam Islam. Ketika gelar “khal³fah” pertama kali dipilih, ini mungkin dipakai dalam arti “pengganti”, karena Abu Bakar mengganti Nabi Muhammad saw., dalam masalah-masalah duniawi, meskipun bukan dalam masalah-masalah spiritual.
Namun dinasti Umaiyah mencoba meninggikan jabatan khilafah dengan mengaitkannya dengan sebuah ayat dalam al-Qur’an (Q.S. 2:30). Dalam ayat ini, khalifah bagi para pendengar (malaikat) mungkin berarti tidak lebih daripada penetap di bumi yang memiliki kekuasaan. Selanjutnya, bani Umaiyah berkeras bahwa perkataan itu berarti “wakil” – kemungkinan lain bagi makna kata khalifah – dan menambah gelar menjadi “khalifatullah”, wakil Allah.

Dalam suatu riwayat, ketika jabatan khalifah ditawarkan kepada Abu Bakar, diusulkan dengan sebutan “khalifah Allah”. Tetapi Abu Bakar menolak dengan mengatakan, “Bukanlah aku khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Demikianlah maksud khalifah bagi Abu Bakar, bukanlah khalifah selain yang bermaksud demikian.

Karena itu, pada zaman Ali Abd al-Raziq, soal yang hangat dibicarakan adalah persoalan khilafah yang telah dihapuskan oleh Mustafa Kemal di tahun 1924. Tindakan pimpinan Turki ini menimbulkan kehebohan di dunia Islam, karena sistem khilafah dianggap merupakan ajaran dasar, dan oleh karena itu penghapusannya bertentangan dengan Islam.

Selanjutnya dari segi pemerintahan, tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syariah. Bahkan menurut Ali Abd al-Raziq, pemerintahan dalam Islam boleh mengambil bentuk apa saja. Beliau menganggap bahwa Rasulullah saw. hanya bertugas mendakwahkan agama, dan tidak ada kaitan apapun dengan urusan kenegaraan. Karena itu menurutnya, Islam dapat saja menerima otokrasi, demokrasi, monarkhi, atau republik, kediktatoran ataupun pemerintahan konstitusional.

Ali Abd al-Raziq di dalam buku “al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm”, menurutnya, al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah saw. tidak menyinggung sistem pemerintahan. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad, menurutnya hanya mengembang tugas dan misi sebagai Rasul, dan tidak membawa misi untuk membentuk negara.

Sehubungan dengan pandangan di atas, di dalam buku Cakrawala Islam, dinyatakan bahwa argumen al-Raziq di atas dianggap sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena pemerintahan yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syariah Islamiyah) mempunyai tujuan ganda yang tipikal. Tujuan ini, pertama dicapai lewat prinsip-prinsip legislatif yang meletakkan aturan-aturan universal yang dapat mencakup pelbagai kasus secara luas.

Syekh Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam Aqidah wa Syariah, sebagai yang dikutip oleh Amien Rais, mengingatkan bahwa hukum-hukum yang tidak dapat diubah justeru diterangkan secara mendetail, sedangkan yang dimungkinkan ada perubahannya dipaparkan secara ringkas. Di dalam kaidah-kaidah Ushul Fiqhi, dapat diketahui bahwa keluwesan dan kekuasaan hukum Islam –termasuk yang menyangkut pengelolaan negara dan pemerintahan– tidak perlu diragukan lagi. Tujuan kedua dapat dicapai melalui apa yang dinamakan al-siy±sah al-syar`iyah.
Di dalam mencari setiap pemecahan (solusi) yang diambil, dari manapun datangnya, selama tidak menabrak batas-batas konseptual Islam, dengan sendirinya diperbolehkan oleh syariat. Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk mencapai tujuan ganda seperti dikemukakan di atas, akan menentukan apakah pemerintahan itu memiliki legitimasi atau tidak. Selama suatu pemerintahan tetap setia pada tujuan gandanya, yaitu pemantapan keyakinan dan pemenuhan kepentingan rakyat, maka pemerintahan itu secara hukum Islam memenuhi “syarat permulaan”, dan “syarat pelestarian”. Sebaliknya. Sebaliknya bila suatu pemerintahan tidak lagi setia pada tujuannya, dan melanggar syarat-syarat itu, maka secara hukum pemerintahan itu dengan sendirinya berakhir, kehilangan legitimasi, dan rakyat tidak lagi wajib mendukungnya.

Maka secara historis, perlu kita pahami bahwa sistem pemerintahan yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw., tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik, dalam arti Kepala Negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Seperti diketahui, bahwa khalifah pertama yaitu Abu Bakar, beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi. Khalifah kedua Umar ibn al-Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar. Demikian seterusnya sampai kepada khalifah keempat. Jadi mereka hanya sebagai sahabat Nabi yang merupakan hubungan persaudaraan.
Dari latar belakang sejarah di atas, dapat dianalisis bahwa di dalam ajaran Islam, dalam hal pemilihan seorang pemimpin, Allah tidak melaksanakan kekuasaan-Nya secara langsung dalam masalah-masalah politik pemerintahan, tetapi mewakilkannya kepada umat manusia. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kekuasaan duniawi harus dilaksanakan dengan perilaku yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perilaku universal, seperti persamaan manusia, kemanusiaan dan sejumlah sifat lain yang terdapat dalam al-Qur’an.

C. PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ DAN TANGGAPAN PARA ULAMA
Sebagaimana telah diketahui menurut sejarah, bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam bukanlah persoalan tentang keyakinan, malahan persoalan politik.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, asas dan dasar yang dipakai dalam al-Qur’an adalah untuk mewujudkan masyarakat beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan, persaudaraan, persamaan, musyawarah, dan keadilan. Adapun prinsip yang sebaiknya dipakai dalam mewujudkan masyarakat dimaksud, yang terpenting adalah pemerintahan yang adil dan demokratis (musyawarah) karena keadilan dan musyawarah sangat ditekankan dalam al-Qur’an (Q.S. 5:42, Q.S. 4:105, Q.S. 42:38, dan Q.S. 42:150).

Pemikiran Ali Abd al-Raziq mengenai politik (siyasah) yang dituangkan di dalam buku al-Islam wa Usul al-Hukm terangkum sebagai berikut:
1. Tentang kedudukan Rasulullah saw.
Menurut Ali Abd al-Raziq, umat Islam (setelah Rasul Hijrah ke Madinah) beranggapan bahwa Rasulullah saw. berhasil mendirikan negara baru di Madinah. Dalam hal ini, Rasulullah saw. adalah segalanya bagi umat Islam. Di samping pemimpin agama juga pemimpin negara. Tetapi menurutnya, sulit mengambil kesimpulan mengenai cara penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi saw. Menurutnya lagi, Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang utusan Allah untuk menyampaikan agama kepada umatnya, tanpa bermaksud mendirikan sebuah negara, dan tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara atau pemerintahan. Tetapi tugasnya tidak terlepas dari kerasulannya sebagai penyampai dakwah Islam kepada umatnya. Juga beliau tidak mendirikan pemerintahan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Ia hanya seorang Rasul seperti rasul-rasul sebelumnya yang tidak pernah mengajak umatnya mendirikan sebuah negara atau pemerintahan.
Selain itu menurut Ali Abd al-Raziq, Nabi saw. tidak pernah memberi petunjuk kepada umatnya tentang sistem pemerintahan dan kaidah-kaidah syura (musyawarah). Argumentasi yang dikemukakan oleh beliau tentang tidak adanya keharusan bagi Nabi saw. membentuk sebuah negara antara lain: Q.S. 17:54, Q.S. 25:56, Q.S. 42:48, dan Q.S. 88:21-22. Sementara itu, ia juga mengguna-kan hadis Rasulullah saw. riwayat Muslim. Dari ayat-ayat dan hadis ini, ia memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia dengan cara apa saja dan bagaimana ia mengatur dunianya.

2. Tentang Khilafah
Khilafah menurut Ali Abd al-Raziq, adalah suatu pola pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi dan mutlak pada seorang kepala negara/pemerintahan yang bergelar khalifah. Ia berfungsi sebagai pengganti Nabi saw., dan berwenang mengatur kehidupan dan urusan umat, baik mengenai keagamaan maupun mengenai keduniaan. Karena itu umat wajib mentaatinya. Tetapi tidak sependapat dengan ulama, khususnya ulama al-Azhar; seperti Muhammad Rasyid Ridha, yang mengatakan bahwa mendirikan lembaga khilafah adalah wajib hukumnya bagi umat Islam. Sementara itu, Ali sama sekali tidak dapat menemukan dasar kuat yang mendukung bahwa lembaga khilafah adalah wajib, baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun ijma’.
Kalau Rasyid Ridha mendasarkan kewajiban umat Islam untuk mendirikan lembaga khilafah pada Q.S. 4:59, yang mewajibkan ketaatan kepada ulil amri setelah ketaatan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Hal ini tidak dapat diterima oleh Ali Abd al-Raziq. Menurutnya, ulil amri adalah para tokoh umat Islam, yakni para khalifah, hakim, komandan pasukan perang, dan para pemuka agama. Menurutnya lagi, ayat yang mewajibkan taat kepada ulil amri ini tidak dapat dijadikan alasan kewajiban mendirikan lembaga khilafah.
Selanjutnya, hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa “al-a’immat min Quraisy” (Pemimpin umat itu berasal dari golongan Quraisy), dan yang telah membaiat (sumpah setia) kepadanya wajib mematuhinya kecuali dalam soal kemaksiatan (H.R. al-Bukhari dan Muslim), menurut Ali juga tidak sesuai dijadikan alasan kewajiban mendirikan lembaga khilafah. Persoalan ijma’ (konsensus ulama) tetap diakui oleh Ali Abd al-Raziq sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pengangkatan pada khalifah setelah Nabi saw. sampai zaman ketika ia masih hidup tidak pernah dilandasi dengan konsensus ulama.
Adapun pandangan para ulama, terutama di kalangan ulama al-Azhar-Mesir, menilai pemikiran Ali kontroversial dan menyimpang dari ajaran Islam. Karena secara umum ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. tidak menyinggung sistem pemerintahan, melainkan Nabi saw. hanya mengembang tugas dan misi sebagai rasul. Pemikiran itu dianggap oleh kalangan ulama Islam (pada waktu itu) sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.

Karenanya, Muhammad Rasyid Ridha bersama tokoh dan ulama lain dari al-Azhar berusaha menghidupkan kembali sistem khilafah yang telah dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk. Tetapi usaha ini tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Pada saat inilah Ali Abd al-Raziq memunculkan pemikirannya yang dinilai oleh ulama al-Azhar sebagai dukungan terhadap gagasan Attaturk tersebut. Seiring dengan itu, muncullah berbagai kutukan, protes keras dari Rasyid Ridha dan ulama al-Azhar kepada Ali Abd al-Raziq. Akhirnya ia dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar.

Dari tantangan dan protes keras yang terjadi itu, seorang ahli hukum Mesir (Muhammad Imarah) memberikan komentar dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq, bahwa pemikiran Ali Abd al-Raziq paling banyak mendapat sorotan dan kritikan dari ulama Mesir. Karena pemikirannya tersebut, ia dituduh oleh ulama Mesir sebagai orang kafir dan zindiq.
Dari pemikiran dan pendapat Ali Abd al-Raziq inilah, sehingga hasil rapat Majelis Ulama al-Azhar memutuskan pemecatannya sebagai hakim agama dan larangan untuk menduduki berbagai jabatan pemerintahan.

--------------
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian pemikiran Ali Abd al-Raziq tersebut, dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
  1. Ali Abd al-Raziq menilai bahwa tidak ada keharusan mendirikan pemerintahan dalam Islam, baik dengan pola khilafah ataupun selainnya. Menurutnya, baik dari segi agama maupun rasio, pemerintahan bukanlah bagian dari urusan agama.
  2. Pemerintahan dan Islam adalah dua hal yang tidak ada sangkut pautnya. Nabi saw. tugasnya hanya mengemban misi agama, bukan misi pemerintahan. Pemerintahan adalah urusan duniawi, sedang agama adalah khusus mengurus masalah ukhrawi.
  3. Sebab utama tantangan yang dihadapi Ali Abd al-Raziq dari para ulama, utamanya ulama al-Azhar, karena Ali menganggap bahwa al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. hanya mengemban tugas dan misinya sebagai rasul, bukan misi sebagai pemimpin negara.


------------------
DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Raziq, Ali. Al-Isl±m wa U¡­l al-Hukm. Kairo: al-Hai’ah al-Mi¡riyyah al-‘²mmah li al-Kit±b, 1993.
Amien Rais. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1991.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al [ed.]. Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid I. Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, 1996.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jilid I. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Barbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI Press, 1985.
______________. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.
______________. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Al-Rayis, M. Dhiya’uddin. al-Na§ariyy±t al-Siy±siyyah al-Isl±miyah. Cet. VII; Kairo: D±r al-Tur±£, t.th.
Watt, W. Montgomery. The Majesty That Was Islam. Diterjemahkan oleh Hartono Hadi Kusumo dengan judul Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Cet I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..