Published Februari 25, 2012 by with 0 comment

KH. Abdur Rahman Wahid (Hubungan Agama dan Negara)

KH. Abdur Rahman Wahid 
(Hubungan Agama dan Negara)

BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sangat boleh jadi semua orang sepakat tentang Gus Dur hanya satu hal, yaitu bahwa dia adalah tokoh kontraversial tulen. Dan memang semua orang boleh menjuluki apa saja tentang tokoh yang satu ini mulai dari yang baik-baik sampai kepada yang buruk-buruk. Toh selama ini Gus Dur cuek saja dengan kalimat yang sekaligus menjadi ciri khasnya “gitu aja kok repot”.
Sampai saat ini, belum atau taakan perna ada yang akan bisa menandingi Gus Dur dalam banyak mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam mengumpulkan julukan itu. Mereka yang melihatnya begitu taat dan gigihnya mengikuti orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air mungkin akan mejlukunya Nasionalis. Mereka yang melihatnya berkiprah dibidang kesenian dan budaya mungkin akan menjulukinya budayawan atau seniman. Mereka yang sering menyaksikan dalam mengisi seminar-seminar dan menuliskan pemikiranpemikirannya mungkin akan mejulukinya cendekiawan atau pemikir dan seterusnya.

Sangat boleh jadi “Wallahu a’lam” Gus Dur memang merupakan “pelajaran” atau “pengajaran” yang sangat keras bagi bangsa yang tak kunjung bisa berbeda dan bersikap adil ini. Mulai dari zaman kerajaan hingga zaman raja Suharto bangsa ini boleh dikata tidak pernah diajari untuk berbeda. Bahkan yang selalu didikkan oleh para penguasanya terutama penguasa orde baru dulu adalah penyeragaman. Sehingga tanpa terasa di Republik ini perbedaan yang paling fitri pun masih dipandang sebagai hal yang angker. Orang yang berbeda diidientikkan dengan musuh. Dan pada gilirannya orangpun sulis bersikap adil dan obyektif.
Oleh karena itu jangan heran bila demokrasi disini masih terus menjadi infian dan slogan. Barangkali dan mudah-mudahan karena sayangnya Allah kepada bangsa ini, iapun terus mengingatkan dengan setiap kali memperlihatkan fenomena-fenomena kontraversial yang betapapun kita ingin menyeragamkan tak akan pernah kita dapat menyatukan pandangan kita, sebagai contoh berulangkalinya terjadi perbedaan penentuan hari raya baik “idiel fitry” maupun “idiel adha”. Betapapun hebatnya argument masing-masing pihak, tetapun pihak lain tidak akan mampu sependapat. Masing-masing hanya akan bersikap sesuai keyakinan sendiri.
Boleh jadi karena berkali-kalinya kita tidak bisa mencermati pelajaran-pelajaran Allah yang diberikan dengan cara seperti itu, maka iapun memberikan pelajaran puncak dalam bentuk seorang imam yang paling kontraversial yang pernah dimiliki Republik ini yang sedikitpun tidak pernah merasa takut terhadap perbedaan, yaitu Gus Dur !

Terpilihnya Gusdur sebagai presiden bukanlah pemberian poros tengah, bukan Amin Rais, bukan NU apalag PKB partai yang dideklarasikan oleh Gus Dur sendiri dan kalau seandainya boleh ditanyakan pada Poros Tengah yang mengusungnya waktu itu atau kepada fraksi-fraksi yang ada di MPR, termasuk Amin Rais sendiri,apakah Gus Dur pada saat itu menjadi pilihan mereka untuk menjadi presiden ? Asal mereka mau jujur pada diri mereka sendiri, pasti mereka akan menjawab bukan.

Dari sekian orang yang segar bugar, sekian ribu politisi,sekian ribu ahli politik,sekian ribu tokoh masyarakat, sekian ribu pakar tata negara, tetapi aneh Gus Dur yang bukan tokoh partai politik, bukan pemerintah yang sedang berkuasa dan buka pula milioner, dipilih secara demokratis bahkan paling demokratis dalam sejarah Republik ini oleh MPR hasil pemilu yang demokratis dalam era keterbukaan dimana setiap orang bisa menyampaikan anspirasinya sebesar-besarnya.
Jadi minimal menurut keyakinan saya sendiri, Gus Dur adalah tokoh kontraversial sejati yang suka berbeda memang dipilih oleh Allah untuk memberikan pelajaran kepada kita, bangsa yang selama ini terus menerus hanya dididik bersikap seragam dan tidak menghargai keadilan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas melalui makalah ini penulis akan mengambil secuil pemikiran dan pandangan seorang Gus Dur (K.H.ABD.RAHMAN WAHID ) melalui topic “K.H.Abd.Rahman Wahid Hubungan Agama dan Negara”dengan rumusan dan batasan masalah seperti berikut.

B. Rumusan dan Batasn Masaalah.
Dalam pembahasan makalah ini penlis membatasi rumusan dan permasalahan sebagai berikut :
1. Siapakah sebenarnya K.H.Abd. Rahman Wahiud ?
2. Bagaimana pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid tentang hubungan agama dan negara ?
3. Apa alasan-alasan K.H.Abd.Rahman Wahid dalam memisahkan antara urusan agama dan negara ?


---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi K.H.Abd.Rahman Wahid
1. Gus Dur Kecil
K.H.Abd.Rashman Wahid atau yang lebih dikenal dengan gelar Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denayar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H.Abd. Wahid Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan didunia melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang .
Ibunya, Ny. Hj Sholehah juga putri tokoh besar NU, K.H.Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan Rois ‘Aam Syuriyah PBNU setelah K.H.Wahab Hasbullah, dengan demikian secara genetik K.H.Abd Rahman Wahid memang keturunan Dara biru. Gus Dur adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar Bangsa Indonesia.
Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Sukarno Presiden pertama Republik Indonesia dan kawan-kawan. Ayah Gus Dur termasuk salah seorang perumus “Piagam Jakarta”. Iapun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam keudukannya sebagai keturunan kiyai paling terkemuka dan bangsawan di Indonesia.

Meskipun demikian kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya kebanyakan masyarakat. Gus Dur kecil belajar di Pondok Pesantren. Dalam usia 5 tahun ia sudah lancar membaca al Qur’an, gurunya waktu itu adalah kakenya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari .
Pada saat bocah tidak seperti anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dia diajari mengaji dan membaca al Qur’an oleh kakenya sendiri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Disaat serumah dengan kakenya itulah Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.

2. Proses menjadi Gus Dur.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berhasil menamatkan bebrap kitab standar mu’tabarah Pondok Pesantren. Sehingga dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim. Dalam usia itu ia kemudian berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studynya ke Timur Tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan study di Al Azhar Islamic University Mesir, mengambil konsentrasi Departemen of Higer Islamic and Arabic Studies.
Setelah tiba di Mesir Gus Dur menemui kendala karena ijazahnya tertolak, sehingga praktis selama dua tahun disana waktunya tebuang hanya untuk mengurus Ijazah tadi. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar,namun lagi-lagi hatinya tak terpuaskan karena pelajaran yang dia terima disana rata-rata sudah dia pelajari di pesantren, dan untuk menghilangkan rasa bosan sebagai gantinya Gus Dur menghabiskan waktunya disalah satu perpustakaan lengkap di Kairo.
Selama kuliah di Kairo ia lebih aktif ke perpustakaan, nonton film dan selebihnya diisi dengan kegiatan organisasi, akibatnya Gus Dur tidak naik tiungkat dalam kuliahnya di Al Azhar. Mendengar kegagalan kuliyah Gus Dur
di Mesir, gadis pujaannya Nuriyah mengirim surat dari tanah air kepadanya di Mesir yang bernada motifasi dan menghibur, “Kamu harus berhasil dalam kuliahmu seperti berhasilnya kamu menanamkan perasaan dalam hatiku,” tulis Nuriyah .
Meski begitu bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh faham “Sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang Arab kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya, hal itu dilakukan karena mereka tidak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama. Dan inilah yang ikut mempengaruhi pemikiran-pemikiran Gus Dur yang membias dalam derap langkahnya di Indonesia.
Merasa tak akan berkembang Gus Dur lalu memutuskan keluar dari Universitas Al Azhar mesir dan pindah ke Bagdad, dan pada tahun 1966, dalam usia 26 tahun Gus Dur secara resmi masuk ke Departemen of Relegion, di Universitas Baghdad Irak. Di Baghdad Gus Dur memperoleh gelar Lc-setinggkat S1 di Indonesia-Sastra Arab. Kemudian melanjutkan S2 (Setingkat MA). Judul thesisnya sudah diajukan, tapi sial sipembimbing meninggal dunia dan untuk mencari gantinya setengah mati, akhirnya ia memutuskan pulang ke Indonesia3.

3. Eksperimentasi menjadi Gus Dur.
Dengan berbekal ijazah S1 Universitas Baghdad, Gus Dur kembali ke IndonesiaPada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga tahun 1974. Ketika itu pula ia menekuni kembali bakatnya menulis dan menjadi kolumnis. Tulisannya yang anatik dan kritis, tajam dan reflektif tentang pesasntren, toleransi beragama, pluralism, demokratisasi dam filsafat tersebar keberbagai media massa, terutama majalah Tempo,Surat Kabar Kompas,pelita dan jurnal prisma .
Hal inilah yang kemudian mengantar seorang Gus Dus semakin mencuat kepermukaan karena gagasan-gagasannya yang menarik perhatian banyak orang dan tidak sedikit yang mengundang kontraversi.

B. Agama da Negara dalam Pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid
Pada dekade l980an beberapa cendekiawan muslim termasuk K.H.Abd. Raman Wahid memberikan kalaripakasi tentang hubungan anatar agama dan negara, hal ini mereka anggap perlu karena pada dekade tersebut banyak ummat Islam yang ragu-ragu dan hawatir tentang posisi Islam dan negara, keraguan tersebut dapat dimengerti karena pada dekade tersebut pemerintah Indonesia intens melakukan pembedahan idiologis yang mempunyai dampak luas terhadap kekuatan politik Islam. Sementara dipihak lain pemerintah Orde Baru meskipun kedengarannya agak berlebihan, juga meragukan kestiaan golongan Islam terhadap Pancasila. Hal ini terutama setelah terjadinya berbagai rentetan kejadian yang dinilai mengganggu stabilitas nasional.

Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan Muslim melontarkan pemikiran kreatif dan kritis, termasuk K.H.ABD. Rahman Wahid beliau berpendapat bahwa dalam Islam, negara itu adalah hukum (alhukmu) dan Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang ada pada Islam adalah etik kemasyarakatan dan komunitas, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif. Dalam persoalan yang paling pokok saja kata beliau seperti suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten, terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlulhalli wal aqdi (sistem formateur). Padahal menurut K.H.Abd. Rahman Wahid, soal suksesi adalah masaalah yang cukup urgen dalam masaalah kenegaraan, kalau memang Islam punya konsep tentu tidak terjadi demikian.

Dalam prespektif Ahl-u ‘l-sunnah wa’l-jama’ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsinya, bukan dari norma formal eksistensinya, atau negara
itu Islam apa bukan, selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh maka konteks pemerintahannya tidak laigi menjadi pusat pemikirannya. Kitab suci al Qur’an pun mengatakan dengan tegas bahwa : waja’alna kum syu’ub-an waqaba’ila lita’arafu. Syu’ub itu artinya nation (bangsa) kata beliau, sedangkan qaba’il artinya suku, namun yang penting adalah lita’arafu, untuk saling berhubungan bukan untuk saling unggul-unggulan, tandasnya.

Yang ditenatang oleh Islam bukanlah nasionalisme, tetapi fasisme seperti yang terjadi pada Jerman, Italia dan sebagainya. Namun demikian kata beliau lebih lanjut, tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis, ayat tersebut sudah ekplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian tidak perlu muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan. Tetapi beliau mengakui bahwa pengertian bangsa dalam rumusan al Qur’an diatas terbatas hanya pada bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami territorial bersama. Sementara wawasan kebangsaan dimasa modern ini pengertiannya sudah lain, ya’ni satuan politis yang didukung oleh idiologi nasional. Penjelmaan pengertian ini kata beliau adalah konsep negara bangsa (nation state). Diabad modern ini mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global yang merupakan nation state. Tulis Abdurrahman Wahid .
Tidak mudah bagi kaum Muslimin untuk mencernakan kearusan historis dalam berintraksi dengan fenomena global itu. Kesulitan besar dalm mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan, terletak pada Islam yang seolah-olah “supra nasional” sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya. Maka ada kesulitan memasukkan nilai-nilai Islam kedalam konstruksi idiologis yang bersifat nasional. Salah satu cara untuk meneropongi kaitan antara wawasan
Islam yang universal dan supra nasional dengan wawasan kebangsaan dari sebuah masyarakat bangsa ialah dengan mengambil sudut pandang fungsional antara keduanya.
Dengan jalan fikiran seperti ini Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahtraan warga masyarakat apapun bentuk masyarakat yang digunakan. Dan pada akhirnya Abdurrahman Wahid menyimpulkan bahwa tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan.
K.H.Abd.Rahman Wahid juga melihat pancasila sebagai “aturan permainan” yang menghubungkan semua agama dan faham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi kalau pancasila berfungsi membenarkan satu agama saja, mnisalnya UIslam saja maka ia akan berhenti sebagai “aturan permainan” yang disepakati bersama. Dalam kaitannya dengan klaim bahwa setiap gama benar, pancasila harus memberikan rumusan interperetatif yang memenuhi kepentingan semua pihak, dan bukan satu pihak saja. Dalam konteks ini dapat dirimuskan bahwa Pancasila memperlakukan bahwa semua agama sama dan semuja sama dimuka hukum dan dalam pergaulan masyarakat.

Tetapi dalam hubungan penerimaan NU terhadap pancasila sebagai satu-satunya asas. Abdurrahman Wahid menjelaskannya dari sudut Fiqhi kum ahl-u’l-sunnah wa’l jama’ah. Bagi NU pancasila sebagai idiologi bangsa memiliki posisi netral. Pandangan ini sejalan dengan visi imam Syafi’i tentang tiga jenis negara ya’ni dar Islam (negara Islam), dar harb (negara perang), dan dar sulh
(negara damai). Pemerintahan kita yang beridiologi pancasila termasuk dalam “negara damai” yang harus dipertahankan.
Kalau syari’ah dalam bentu hukum/fiqhi atau etika masyarakat masih dilakukan oleh kaum muslimin didalamnya sekalipun itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara, bila etika masyarakat Islam sudah dijalankan maka tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah, ujarnya.


C. Alasan-Alasan K.H.Abd.Rahman Wahid memisahkan antara hubungan agama dan negara.
Diantara sekian banyak intlektual Indonesia K.H.Abd Rahman Wahid adalah salah seorang intelektual yang jelas menolak hubungan agama dengan negara dengan beberapa alasan sebagai berikut :
  1. Dipilihnya agama sebagai suplementer dalam kehidupan bernegara akan berakibat pada kecilnya penghargaan terhadap hak asasi manusia dan tidak akan mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak dari kiebebasan berbicara dan berpendapat.
  2. Dalam posisinya yang suplementer hubungan agama dan negara akan bersifat manipulative, yaitu sekedar menjadikan sumber-sumber agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.
  3. K.H.Abd. Rahman Wahid juga menolak sebagai idiologi alternative bagi negara. Karena dalam sebuah negara pluralistik menjadikan Islam atau agama apapun, sebagai idiologi negara hanya akan memicu disintegrasi. Sementara negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan.
  4. Dalam sebuah negara pluralistik negara merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurut Abdurrahman Wahid, Islam seharusnya diinplementasikan sebagai suatu etika social yang berarti Islam harus berfungsi komplomenter dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam sebagai idiologi negara akan membawa bangsa ini kedalam masa penuh ketegangan seperti terlihat hampir selama lima dekade sejak tahun 1930-an .
  5. Bagi Abdurrahman Wahid agama sebagai etika sosial yang berfungsi koplementer dalam negara, nilai-nilai dasar Islam bersama nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
BAB III
P E N T U P

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. K.H.Abd Rahman Wahid berasl dari keluarga santri sunni namun memiliki sikap dan pemikiran yang liberal, progresif dan inklusif, kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada ditempuh di Barat secara intlektual, jauh lebih siap berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat.
  2. Bahwa nilai-nilai agama dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.
  3. Nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
DAFTAR PUSTAKA.

Abdul Rahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunanpercikan pemikiran Gusdur.(Cet. I Jakarta Gelora Aksara Pratama, 1999).

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Akasi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,(Penerbit Paramadina Jakrta. 1995).

M. Saleh Isre, Tabayn Gus Dur, Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural, (Cet.II LKIS Yogyakarta,1998).

K.H.A.Mustafa Bisri, Pasca Wacana Sinta Nuriyah Rahman,JejakAntropologis Pemikiran Dan Gerakan GUS DUR, (Cet. I PT.Remaja Rosdakarya, Bandung 2000).


0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..