Published Februari 08, 2012 by with 0 comment

Thaha Husein (Islam dan Sekularisasi)

Thaha Husein
(Islam dan Sekularisasi)

I. Pendahuluan
Ketika umat Islam bersentuhan dengan Eropa pada abad pertengahan, mereka mulai sadar bahwa mereka telah jauh ketinggalan dari dunia Barat. Olehnya itu kelompok Islam memiliki visi sekularistik dengan kekaguman dan ketertarikannya kepada Barat menghimbau kepada umat Islam untuk belajar ke Barat (John L. Esposito, 1986 (terj.) : 101).
Ide sekularisasi di dunia Islam pertama kali diisukan kepermukaan oleh bapak Turki Modern, Mustafa Kemal Attaturk, kemudian diikuti oleh negara-negara Islam lainnya, seperti Mesir (Nurkholis Majid, 1994 : 78). Para pembaharu sekuler mengemukakan prinsip-prinsip sekuler dan menerima secara total peradaban Barat dengan mengadopsi ilmu dan teknologinya.
Pandangan paham sekuler secara terang-terangan terungkap dalam gagasan Thaha Husein “Mari kita ambil peradaban Barat ini dalam totalitasnya bersama seluruh aspeknya” (Syahrin Harahap, 1994 : 64). Berdasar inilah, maka penulis dalam tulisan ini mencoba mengkaji gagasan sekularisasi yang dilontarkan oleh Thaha Husein.


II. Biografi Thaha Husein
Thaha Husein, seorang sastrawan, pemikir dan pembaharu di Mesir. Lahir di Magagah, Mesir Selatan pada tanggal 14 November 1889. Ketika berumur 6 tahun ia diserang penyakit opthalmiah yang menyebabkan kebutaan selamanya, namun penyakit tersebut tidaklah menghalanginya untuk menuntut ilmu (Harun Nasution, 1984 : 85).
Pada usia 13 tahun ia melanjutkan di al-Azhar. Disanalah ia menimbah pemikiran moderen dari Muhammad Abduh dan Lutpih Sayyid. Pada tahun 1912 ia melanjutkan studinya di Universitas Cairo dan pada tahun 1914 ia memperoleh gelar Doktor dari Universitas ini dengan Disertasi yang berjudul Zikra Abi al –A’la (mengenang Abu al-A’la).
Pada tahun 1915 Thaha Husein melanjutkan studinya di Universitas Sorbone Perancis, disana ia belajar dibawah bimbingan guru besar senior seperti Glatza, Block, Dicke dan Seignobos dalam bidang sejarah, Lanson dalam bidang sastra Perancis dan Durkhein dalam bidang filsafat. Selain itu ia menerima pengwetahuan tentang Al-Qur’an dari Cassanova di salah satu college (Ensiklopedi Islam, 1993 : 138).
Sekembalinya dari Perancis ia giat dalam berbagai usaha untuk membangaun Mesir dan mengejar ketinggalannya dari dunia Eropa. Jabatan yang pernah digelutinya di Mesir antara lain sebagai Rektor Universitas Faruq dan beliau mencapai puncak karirnya ketika ia menduduki jabatan Menteri Pendidikan sampai 1953 (Syahrin Harahap, 1994 : 32-33).



III. Pembahasan

A. Pengertian Sekularisas
Kata sekularisasi berasal dari kata seculum, yang berarti abad (age, century, cewu, steal). Sekuler berarti seabad (Harun Nasution, 1996 : 188). Kemudian sekuler mengandung arti bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). Adapun kata sekularisasi adalah hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995 : 894). Sekularisasi diartikan pula proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama (Harun Nasution, 1996 : 188).

Sekularisasi dalam gagasan Thaha Husein adalah sekularisasi yang berbeda dengan sekularisasi yang terjadi di Barat, baik dari titik tolaknya maupun hasilnya. Sekularisasi dalam gagasan Thaha Husein bertitik tolak dari proses melepaskan umat dari ikatan-ikatan tradisi termasuk ajaran agama yang merupakan pemahaman para pendahulu terhadap nas-nas yang zanniy. Dan berakhir kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan sekularisasi yang terjadi di Barat bertitik tolak dari pemisahan dunia termasuk politik dari agama dan sebagai akhir sekularisasi di Barat itu terlepasnya ilmu dari gereja (Syahrin Harahap, 1994 : 22).
Karena adanya perbedaan titik tolak tentang konsep sekularisasi yang digagaskan Thaha Husein tersebut sehingga dalam pemaparan tentang gagasan-gagasannya bukanlah bermaksud untuk memisahkannya dengan agama itu sendiri melainkan untuk merobah pemahaman terhadap konsep-konsep ajaran agama kearah yang lebih maju sesuai tuntutan dan kondisi zaman kontemporer.


B. Gagasan Sekularisasi Thaha Husein
Pemikiran Thaha Husein tentang gagasan sekularisasi banyak dipengaruhi oleh kondisi intelektual di Mesir pada saat itu, seperti pemikiran pembaharuan oleh Muhammad Abduh, Qasim Amir, dan Luthfi al-Sayyid. Demikian pula ketika ia kuliah di Mesir ia dipengaruhi pula oleh Sayyid al-Marsafi dan orientalis Carlo Hallin dari Universitas Cairo.
Selain dari faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pemikiran Thaha Husein, ada faktor yang juga tidak kalah pentingnya yaitu faktor internal, yaitu hal-hal yang menyangkut riwayat hidup, pendidikan, pengaruh yang diterimanya dari berbagai macam pengaruh yang melatar belakangi pemikirannya. Adapun gagasan sekularisasi Thaha Husein yang sangat berpengaruh pada Mesir khususnya pada dunia Islam umumnya adalah sebagai berikut :
1. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Kebudayaan
Jika umat islam ingin maju, manurut Thaha, mereka harus mengambil peradaban Eropa, bahkan mereka harus menjadi orang Eropa dalam segala hal. Begitu pentingnya peradaban Barat untuk diadopsi demi kemajuan Islam (Syahrin Harahap, 1994 : 64).

Begitu besar pengaruh Barat (Eropa) terhadap pemikiran Thaha Husain, sehingga ia dengan tegas menyatakan bahwa, kita orang Mesir harus menerima apa yang datang dari Barat baik atau jeleknya. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa tak satupun kekuatan di dunia ini yang mampu menghalangi bangsa Mesir menerima cara hidup bangsa Eropa. Menurut beliau, untuk menjadi parner yang sejajar dengan bangsa Eropa, maka secara langsung dan terus terang harus meniru peradaban Barat dalam segala aspeknya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Pengingkaran terhadap hal ini dianggap oleh beliau sebagai penipuan terhadap diri sendiri (Maryam Jameelah & Margaret Marcus, 1981 (terj.) 195).
Hal yang paling mendasar dari pemikiran Thaha Husein adalah homogenitas dan intelektual antara bangsa Mesir dan Eropa. Oleh karenanya, Mesir bukanlah bagian dari Timur dalam limit tertentu dan harus berhenti berkiblat ke Timur (John J. Donohue & John L. Esposito, 1994 (trj.): 121). Menurutnya di dunia ini ada dua peradaban , peradaban Barat dan peradaban Timur. Yang dimaksud dengan peradaban Timur dan Barat adalah dalam artian kultural, bukan geografik (Albert Houraini, 1993 : 330).

Agar bangsa Mesir lebih maju, maka manifestasinya harus berorientasi ke, masa Mesir kuno dan pengadopsian bangsa Eropa. Eropa maju karena didependemsikan dari agama Kristen, bahkan tercerai dari belenggu dognatisme gereja Kristen (Harun Nasution, 1992 : 87). Dengan sterilnya sains Eropa dari dogma gereja, maka mentransfernya dan mengislamkannya lebih muda bagi orang Islam.

2. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Pendidikan
Munculnya gagasan Thaha Husein di bidang pendidikan ini dilatar belekangi oleh rasa prihatin atas hasil-hasil yang dicapai Mesir khususnya bidang pendidikan. Hasil-hasil pendidikan pada masa itu belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Hal ini dapat dilihat pada kondisi dan kenyataan bahwa tingkat kebutahurufan pada saat itu sangat tinggi.

Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, Ia nampaknya menaruh harapan pada universitas. Menurut beliau universitas harus mencerminkan intelektualitas, keilmiahan dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurut Thaha Husein hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan teknologi (Syahrin Harahap, 1994 : 99). Kemerdekaan ilmu harus melirik dan mencontoh kepada negara-negara maju.
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual maka beliau menggagaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke perguruan tinggi, demikian juga metode penelitiannya (Syahrin Harahap, 1994 : 293). Bahkan dalam tulisan G. H. Jansen disebutian bahwa Thaha Husein menasehatkan agar Mesir menggabungkan dri dengan Barat (G. H. Jansen, 1993 (terj.): 16)
.
Untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi pula, ia menyarankan bahwa perguruan tinggi tidak harus dikontrol oleh pemerintah, ia harus memiliki kebebasan mutlak, baik dari segi kebijakan finansial maupun dari segi metodologi kurikulum (Albert Hourani, 1993 : 337).

3. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Politik
Menurut Thaha Husein, politik dan agama adalah dua hal yang terpisah. Politik adalah sesuatu dan politik juga adalah sesuatu yang lain. Hal ini ditegaskan oleh beliau bahwa peraturan tentang kepemerintahan dan pembentukan negara harus ditegakkan menurut konsepaksiologi ilmu pengetahuan dan kepentingan praktis tanpa menghiraukan pada konsep lain (Muhammad al-Bahiy, 1986 (terj.): 110).
Thaha Husein berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mengatur sistem pemerintahan secara umum maupun secara khusus. Dengan demikian pemerintahan Nabi di Madinah maupun khalipahnya bukan didasarkan pada wahyu, melainkan insani, dalam arti dibangun sesuai dengan kepentingan temporer sehingga tidak pantas jika dipandang sakral.

Menurut Thaha Husein antara dan politik terdapat pemisahan yang tegas dan sejarah telah membuktikannya bahwa ummat Islam tidak pernah membentuk negara berdasarkan Islam, melainkan dibentuk dengan kepentingan praktis. Thaha Husein mengambil gagasan politik dengan mengambil sistem demokrasi. Demokrasi menurutnya adalah kata yang menunjukkan arti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Syahrin Harahap, 1994 : 133)
Sistem demokrasi menurutnya lagi mampu untuk mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung ummat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela dan durhaka.

4. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Agama
a. Kritik terhadap Sya’ir Jahiliyah
Setelah melalui penelitian kritis, ia menemukan bahwa sya’ir-sya’ir yang dianggap sebagai sya’ir Jahiliyah itu tidak merefleksikan perbedaan linguistik yang terdapat di Jazirah Arabiyah sebelum Islam menyatukannya atau seperti yang digambarkan al-Qur’an (Syahrin Harahap, 1994 : 133). Dengan demikian dapat dipahami dalam sya’ir-sya’ir itu konsistensi terhadap bahasa, gaya dan ide dengan kondisi jazirah Arabiyah yang pada masa itu belum bersatu dan hanya sedikit yang dapat disebut sebagai sya’ir Jahiliyah yang otentik.
Dalam hal ini secara filosofis beliau menggagaskan agar umat Islam tidak menganggap sakral bahasa dan sastra Arab terutama sya’ir jahiliyah dan juga tidak menganggap sakral penafsiran ulama-ulama dalam berbagai kajian-kajian keIslaman termasuk kehidupan pra-Islam, tetapi beliau mengajak agar umat Islam kembali mengingatkan diri pada ajaran dasar Islam selanjutnya melakukan ijtihad.


b. Kritik terhadap kisah dalam al-Qur’an
Taurat telah mengisahkan kita tentang Ibrahim dan Isma’il dalam taurat, demikian pula dalam al-Qur’an tidaklah menjamin keberadaan eksistensi keduanya secara historis. Kita terdorong untuk melihat keduanya didalam sejarah ini suatu fiksi untuk menetapkan perhubungan antara orang Yahudi dan orang Arab disatu pihak serta agama Islam dan agama Yahudi, al-Qur’an dan Taurat di pihak lain (Syahrin Harahap, 1994 : 164).
Beliau seorang Muslim tidak mengingkari keberadaan Ibrahim dan Isma’il dengan segala sesuatu yang terkandung di dalam al-Qur’an tentang keduanya. Akan tetapi, sebagai seorang ilmuwan, ia sangat ketat sehubungan dengan metode penelitian, ia tidak membenarkan keberadaan historisnya tanpa didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Hal ini disebabkan karena menurut beliau bahwa peristiwa-peristiwa harus bisa ditangkap dengan mudah dari segi waktu dan tempat.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Bahiy, Muhammad. Al-Fikr al-Islam al-Hadits wa Siratuh bi al-Isti’mar al-Garbiyy, diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad dengan judul Pemikiran Islam Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam.Cet.III; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Donohue, John J. & John L. Esposito. Islam in Transition, Moslem Perspektives, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-masalah, edisi I. Cet. V; Jakarta:PT. Raja Grafindo Perkasa.

Esposito, John L. (ed). Islam and Development: Religion and Socio-Political Change, diterjemahkan oleh A. Rahmani Zainuddin dengan judul Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Harahap, Syahrin, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Hourani Albert, Arabic Though in Liberal Age (1798-1939).Cambridge University Press, 1993.

Jameelah, Maryam & Margareth Marcus. Islam dan Modernism, diterjemahkan oleh A.Jainuri dengan judul Islam dan Modernisme. Surabaya: Usaha Nasional, t.th.

Jansen, G.H. Militant Islam, diterjemahkan oleh Ahamadi Sadali dengan judul Islam Militan. Bandung: Pustaka, 1994.

Majid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.



0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..