Published Maret 28, 2012 by with 0 comment

Al-Thahthawi (Ide Patriotisme dan Nasionalisme)


BAB I
PENDAHULUAN
 

A.    Latar Belakang   
Sebelum memasuki era modern, kepemimpinan Islam yang berbentuk khilafah  mencakup wilayah yang luas serta bersifat lintas etnis dan lintas budaya. Kaum muslim yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda dipersatukan kedalam satu institusi yang disebut umat. Umat Islam dipimpin oleh  khalifah yang dianggap sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah SAW. Ini berarti bahwa seorang khalifah merupakan pimpinan negara dan sekaligus sebagai pemimpin agama. Mengenai hal ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa “Kekhalifahan itu pada hakekatnya adalah pelimpahan kekuasaan dari peletak Syari’at untuk memelihara agama dan mengatur dunia”[1]
Sampai runtuhnya pemerintahan dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus seluruh dunia Islam mengakui satu Khilafah ( kekahalifahan ). Akan tetapi mulai pemerintahan Bani Abbas kekhalifahan di dunia Islam sudah tidak tunggal lagi. Artinya,Khilafah sebagai lambang kesatuan dunia Islam seluruhnya,sudah tidak ada lagi.
Fase kedua dari periode pertengahan sejarah Islam (tahun 1500-1800 M ) muncul tiga kesatuan politik (khilafah)di dunia Islam. Wujud tiga kesatuan politik tersebut adalah tiga kerajaan besar, yakni : kerajaan Usmani,Safawi dan Mughal.[2]
Meskipun dunia Islam waktu itu terbagi ke dalam tiga kerajaan besar,akan tetapi masyarakat di tiga kerajaan besar itu masih menganggap khalifah yang memimpin mereka adalah pemimpin agama dan negara – lebih tepat disebut pemimpin Islam. Disamping itu wilayah kekuasaan masing-masing kerajaan yang masih bersifat lintas etnis dan lintas budaya mengakibatkan kesadaran bernegara yang dilandasi oleh sentiment ras atau suku bangsa belum muncul. Dalam bernegara mereka masih dilandasi oleh sentiment-sentimen keagamaan.
Pendaratan Napoleon di Mesir (tahun 1798), merupakan titik permulaan terbukanya pandangan orang Islam, khususnya di Mesir terhadap dunia luar. Napoleon datang ke Mesir bukan hanya dalam rangka politik colonialnya, tetapi ia juga memp[erkenalkan kemajuan-kemajuan materi,gaya hidup,dan system nilai Barat,serta ide-ide yang baru dalam pandangan masyarakat Mesir.[3]
Persentuhan kebudayaan Prancis dengan Mesir rupanya berpengaruh pula kepada Muhammad Ali Pasya,penguasa Mesir pada waktu itu. Untuk kemajuan Mesir sebagaimana Prancis, ia kemudian mendirikan beberapa sekolah modern dan mengirimkan rombongan mahasiswa ke Paris, Prancis. Salah seorang diantara rombongan yang dikirim tersebut seorang ulama yang bernama Al-Thahthawi.
Al-Thahthawi inilah yang dikemudian hari mengembangkan suatu ide yang ada hubungannya dengan konsep tanah air yang dipahami umat Islam pada waktu itu.Ide tersebut disebutnya sebagai ide patriotisme (hubb al-watan ). Dalam hubungannya dengan pemahaman kaum muslim tentang konsep tanah air,ide patriotisme tersebut adalah suatu ide yang berbeda dan baru. Mengenai hal ini Harun Nasution menyatakan bahwa ide patriotisme tersebut adalah suatu konsep baru bagi dunia Islam.Persaudaraan yang dikenal pada masa Al-Thahthawi adalah persaudaraan keIslaman dan tanah air adalah seluruh wilayah Islam dan sejarah adalah sejarah Islam. Ide ini merupakan benih nasionalisme.
Pernyataan Harun Nasution di atas mengindikasikan bahwa sampai saat Al-Thathawi mengemukakan ide patriotismenya, kaum muslim dalam bernegara dan bertanah air masih berlandaskan sentiment-sentimen keagamaan yang kuat dan tidak berlandaskan perasaan kebangsaan (nasionalisme).[4]



B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mengadakan suatu pembahasan pokok masalah yaitu pandangan Al-Thahthawi tentang patriotisme dan nasionalisme Mesir.
      Untuk membahas masalah pokok di atas, maka penulis merumuskannya ke dalam 3 sub masalah sebagai berikut:
  1. Siapakah Al-Thahthawi itu?
  2. Bagaimana latar belakang munculnya ide patriotisme dan nasionalisme Mesir?
  3. Bagaimana pandangan Al-Thahthawi sehubungan dengan idenya tersebut?
Tulisan ini adalah bersifat deskriptif, sehingga ia harus objektif, akan tetapi dalam bagian-bagian tertentu ia bersifat interpretatif berdasarkan sosiohistoris dan pemikiran Islam.
Sesuai dengan sifatnya yang deskriptif maka tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah untuk menggambarkan secara obyektif bagaimana sebenarnya ide patriotisme Al-Thahthawi dan nasionalisme Mesir pada masa itu,sehingga dengan demikian akan dapat dibuat penilaian-penilaian yang tepat mengenai objek tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Riwayat Hidup Al-Thahthawi
Al-Thahthawi yang bernama lengkap  Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Thahthawi lahir pada tahun 1801 M disebuah kota yang bernama Tahta terletak di bagian selatan Mesir. Masa kecil Al-Thahthawi semasa dengan awal-awal pemerintahan Muhammad Ali Pasya yang bersifat represif. Ketika Muhammad Ali mengadakan perampasan terhadap harta orang-orang kaya Mesir, maka harta orang tua Al-Thahthawi termasuk juga yang ikut terampas. Sebagai akibatnya, Al-Thahthawi pada masa itu sekolah atas bantuan dari keluarga ibunya.
Pada umur enam belas tahun,Al-Thahthawi berangkat menuju Kairo untuk melanjutkan studinya di Al-Azhar. Selama belajar di Al-Azhar, ia berkenalan dan dekat dengan salah seorang gurunya yang bernama Al-Syaikh Hasan Al-‘Attar. Syaikh Al-‘Attar tersebut adalah seorang ulama yang mempunyai wawasan yang cukup tentang perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Hal ini disebabkan karena ia senantiasa mengadakan hubungan dengan ahli-ahli pengetahuan Prancis yang datang ke Mesir bernama Napoleon. Dari gurunya ini, Al-Thahthawi senantiasa mendapatkan motivasi untuk menambah ilmu pengetahuan.[5]
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Al-Azhar, maka pada tahun 1822 Al-Thahthawi menamatkan studynya. Setelah tamat ia diberi kepercayaan untuk mengajar pada almamaternya tersebut. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 18242 ia diangkat oleh pemerintah Mesir sebagai imam militer angkatan darat.
Pada tahun 1826, dalam rangka usaha pembaruan yang sedang giat dilakukannya, Muhammad Ali Pasya mengirim rombongan mahasiswa ke Paris, Prancis. Tujuan pengiriman mereka adalah agar mereka dapat langsung menimbah berbagai macam ilmu pengetahuan modern pada sumbernya yang kemudian akan diterapkan di Mesir. Untuk menjaga agar para mahasiswa tersebut tidak terpengaruh pada moral dan budaya barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka dalam rombongan itu disertakan juga ulama yang bertugas membimbing sekaligus sebagai imam shalat para mahasiswa tersebut. Salah seorang ulama yang dikirim menyertai mahasiswa-mahasiswa itu adalah Al-Thahthawi.
Al-Thahthawi ketika berada di Paris, selain menjalankan tugasnya juga memamfaatkan kesempatan tersebut untuk menambah ilmu pengetahuan. Hal ini tidak lepas dari ajaran yang pernah diterimanya dari Al-Syaikh Hasan Al-‘Attar. Mula-mula Al-Thahthawi belajar bahasa Prancis. Setelah mengauasai bahasa itu, ia mulai membaca buku-buku berbahasa Prancis dalam bidang politik, sosial, sastra, ilmu alam, strategi peperangan, dan sebagainya. Kemudian dia mulai menerjemahkan buku-buku dan risalah  berbahasa Prancis  ke dalam bahasa Arab sampai kemudian ia benar-benar menjadi seorang ahli penerjemah. Selain belajar dan menerjemah, Al-Thahthawi juga dengan seksama mempelajari kondisi sosial di Prancis, adat istiadat penduduknya, metode pendidikannya, dan sebab-sebab kebangkitan Eropa.[6]
Setelah lima tahun di Prancis, Al-Thahthawi pulang ke Mesir bukan lagi sebagai Al-Thahthawi yang dulu. Dia kini menjadi seorang ahli di bidang penerjemahan yang mempunyai wawasan yang luas tentang berbagai ilmu penegetahuan modern, serta kaya dengan ide-ide baru.
Dengan keahlian Al-Thahthawi di bidang penerjemahan, ia kemudian diangkat oleh Muhammad Ali Pasya sebagai guru bahasa Prancis dan pembimbing penerjemahan buku-buku kedokteran. Setelah itu ia dipindahkan ke sekolah militer untuk mengepalai penerjemahan buku-buku tentang ilmu teknik dan kemiliteran. Beberapa waktu kemudian, timbul ide dalam benak Al-Thahthawi untuk mendirikan sekolah penerjemahan. Ketika ide tersebut disampaikan kepada Muhammad Ali, Muhammad Ali menyetujuinya, dan menugaskan Al-Thahthawi untuk segera merealisasikannya dan sekaligus menjadi direktur sekolah tersebut.[7]
Sejak sekolah penerjemahan itu berdiri (tahun 1836) yang kemudian berubah menjadi sekolah bahasa-bahasa Asing, berbagai macam usaha dilakukan oleh Al-Thahthawi untuk memajukan sekolah tersebut. Antara lain usaha tersebut adalah berkeliling ke pelosok-pelosok untuk mencari “bibit unggul” untuk dididik dalam sekolah itu. Disamping itu, Al-Thahthawi juga mencari guru bahasa Prancis, bahasa Turki, bahasa Arab, sejarah, geografi, ilmu pasti, dan penerjemahan. Ide dan usaha Al-Thahthawi ini kemudian menjadi salah satu faktor yang mempercepat kebangkitan ilmiah dan tonggak peradaban modern di Mesir.[8]
Selain karya di bidang pendidikan dan penerjemahan, Al-Thahthawi juga bergerak pada bidang penerbitan dan penulisan. Pada bidang-bidang penerbitan, Al-Thahthawi pernah menjadi pimpinan surat kabar resmi pemerintahan Muhammad Ali. Di bawah pimpinannya, surat kabar yang bernama Al-Waqai’u Al-Mishriyyah itu bukan semata-mata menjadi “corong” pemerintah saja, akan tetapi juga memuat informasi-informasi tentang perkembangan barat. Pada masa Khedewi Ismail, saat gerakan ilmiah di Mesir mulai menguat- hal ini juga tidak terlepas dari usha-usaha  yang pernah dilaksanakan Al-Thahthawi – Al-Thahthawi mendirikan majalah Raudhah Al-Madaris, yang anggota  redaksinya tediri dari  para seniman dan ilmuawan. Majalah ini bertujuan untuk memajukan bahasa Arab dan menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan modern.[9]
Dalam uraian di atas,terlihat jelas begitu besarnya obsesi Al-Thahthawi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan modern di Mesir. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar Mesir mencapai kemajuan-kemajuan sebagaimana yang dialami oleh Barat.
Al-Thahthawi bukanlah seorang sekuler, usahanya dalam memperbaiki tradisi.Khususnya dalam bidang pendidikan, kewanitaan, dan memperbaharui literature. Ia memang menginginkan Mesir menjadi modern sebagimana Barat tapi dijiwai oleh agama dalam segala aspek.[10] 
Salah satu tujuan pendidikan menurut Al-Thahthawi adalah membentuk manusia yang patriotik.[11] Ide patriotisme yang dikemukakan Al-Thahthawi akan dibahas secara mendalam pada bagian selanjutnya.
Dalam hal agama dan peranan ulama, Al-Thahthawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari pelbagai ilmu penegatahuan modern, perlu peninjauan kembali cara atau istimbath pengambilan hukum syara’ dan dengan demikian pintu ijtihad tidak perlu ditutup sebagaimana pendapat yang berkembang pada waktu itu.[12]
Sekembalinya dari Paris, Al-Thahthawi masih sempat hidup selama empat puluh tahun sampai ia meninggal tahun 1873 M.[13] Selama itu dia tidak pernah berhenti dari pekerjaannya untuk mengadakan pembaharuan di Mesir. Pengalaman, pikiran, dan idenya ia tuangkan dalam berbagai buku. Diantara buku-bukunya yang terpenting adalah sebagai berikut:
  1. Takhlishu Al-Ibriz fi Talkhishi Bariz,” Intisari dari kesimpulan tentang Paris”.
  2. Manahij Al-albab Al-Mishriyyah fi Al-Manahij Al-Adab Al-Ashriyyah, “ Jalan Bagi orang Mesir untuk mengetahuio literatur modern”.
  3. Al-Mursyid Al-Amin li Al-Banat wa Al-Banin, “ Petunjuk bagi pendidikan putera-puteri”.
  4. Al-Qaul Al-Sadid fi Al-Ijtihad wa Al-Taqlid, “ Perkataan yang benar mengenai ijtihad dan taqlid.[14]
  5. An’waru Taufi’qul Jaliylu fi Akhbari Mashir wa Taustiqu Bany Ismail , “Cahaya Taufik Dalam Menguatkan Berita-berita tentang Mesir dan Keturunan Ismail”.
B.     Latar Belakang Munculnya Ide Patriotisme dan Nasionalisme Mesir
Ekspedisi Napoleon ke Mesir pada akhir XVIII telah membawa hal-hal yang baru bagi masyarakat Mesir. Disamping memperlihatkan kemajuan-kemajuan materi Barat, Napoleon juga membawa ide-ide yang baru bagi masyarakat Mesir. Ide kebangsaan merupakan salah satu contoh dari ide-ide tersebut. Bagi orang Islam pada waktu itu yang ada hanyalah umat Islam (Al-ummah Al-Islamiyyah) dan tiap orang Islam adalah saudaranya dan mereka tak begitu sadar akan perbedaaan bangsa dan suku bangsa. Oleh karena itu, ide tersebut pada mulanya belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir.[15]
Dalam perkembangan kontak dengan Barat pada abad XIX, ide-ide yang diperkenalkan Napoleon mulai diterima dan dipraktekkan. Khusus mengenai ide nasionalisme kebangsaan, pengembangannya di Mesir di pelopori oleh Al-Thahthawi, sebagaimana akan dilihat pada pembahasan mendatang.
      Pada bagian terdahulu dikemukakan bahwa setelah bertugas dan belajar di Paris, Al-Thahthawi pulang ke Mesir dengan membawa keahlian dan ide-ide baru. Menurut Al-Thahthawi, kunci-kunci kemajuan Eropa dapat ditemukan pada organisasi politik dan ekonomi,kesadaran sebagai anggota masyarakat, ilmu pengetahuan, dan rasa patriotisme mereka.[16]
Ide Al-Thahthawi mengenai patriotisme baru ia kembangkan di Mesir pada tahun 1869 (pada masa Khedewi Ismail),[17] yakni sekitar tiga puluh delapan tahun setelah ia kembali dari Paris. Hal ini menunjukkan bahwa ide patriotisme tersebut untuk diterima oleh masyarakat Mesir, melalui suatu proses dan tidak langsung diterima begitu saja. Kenyataan ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat bahwa umat Islam saat itu telah memiliki ide tersendiri yang berbeda dengan ide patriotisme tersebut. Ide bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air mereka yang mesti dibela demi kejayaan Islam dan bahwa orang-orang Islam merupakan satu “bangsa” yang disebut umat Islam, merupakan ide-ide yang telah mereka pegang selama lebih sebelas abad.
Meskipun demikian, agaknya kondisi riil ummat Isalam pada awal abad kesembilan belaslah yangh menyebabkan ide patriotisme secara pelan tapi pasti dapat diterima masyarakat Islam, khususnya di Mesir. Pada saat itu, secara de jure Mesir masih merupakan wilayah Khilafah Usmani. Itulah sebabnya mengapa penguasa Mesir seperti Muhammad Ali  tidak menggunakan gelar sultan atau khalifah tetapi hanya pasya. Meskipun demiklian secara de facto yang berkuasa di Mesir pada waktu itu adalah para pasya.
Daya imperial Usmani yang selama beberapa abad mereka banggakan semakin turun pamornya. Posisi kekhalifahan yang dalam beberapa dekade di dunia Islam dianggap sebagai pemersatu umat, kian goyah. Sebab khalifah yang selama ini dianggap sebagai pemimpin Islam telah bersikap tidak Islami. Beberapa kali tidak mau dikatakan banyak diantara khalifah Usmani yang cenderung bersifat otoriter. Esensi perundang-undangan Islam mereka jadikan kedok bagi penindasan, kesewenang-wenangan, tindakan korup, dan berbagai kedzaliman lainnya. Keadaan seperti ini mengakibatkan rakyat tidak percaya lagi kepada khalifah sehingga negara menjadi lemah, itulah sebabnya banyak wilayah Usmani dapat direbut oleh kolonialis Barat.
Menjelang abad kesembilan belas, kekuasaan Turki sudah kian memudar. Usmani yang berkuasa tidak lebih dianggap dinasti yang secara otoritas politis lebih mementingkan peran kenegaraan dari pada konsep ummat dan loyalitas kepada Ilahi, sebagaiman khilafah-khilafah terdahulu. Itulah yang mendorong kekuatan imperium Usmani semakin suram dan banyak wilayah kekuasaan melepaskan diri.[18]
Keadaan umat Islam di Mesir tidak berbeda jauh dengan keadaan di wilayah Usmani lainnya. Meskipun Mesir pada waktu itu merupakan suatu Wilayah yang bersifat otonom, akan tetapi sebenarnya penguasalah yang mempunyai keleluasaan mengatur segalanya. Rakyat tidak dapat berpartisipasi secara bebas dan maksimal dalam pembangunan Mesir untuk mengejar ketertinggalan mereka di Barat.[19]
Kondisi umat Islam,khususnya di Mesir, sebagaimana tergambar di atas mendorong Al-Thahthawi untuk mengembangkan ide patriotisme yang dianggapnya sebagai salah satu kunci kemajuan Barat.

C.     Ide Patriotisme  dan Nasionalisme Mesir
Untuk mengembangkan pandangan-pandangan Al-Thahthawi yang berkaitan dengan ide patriotismenya ada beberapa kata atau istilah kunci yang perlu dipahami, yakni :
  1. Tanah Air ( Wathan )
Menurut Harun Nasution yang dimaksud dengan tanah air oleh Al-Thahthawi adalah Mesir.[20] itu berarti tanah air yang dipahami masyarakat pada saat itu telah berubah penekanannya, paham yang berkembang sebelumnya bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air tiap muslim, kini berubah penekanannya menjadi tanah air sekarang ditekankan, artinya tumpah darah seorang muslim bukan lagi seluruh dunia Islam, tetapi Mesir adalah tanah air bangsa Mesir, konsep cinta tanah air inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya nasionalisme bangsa Mesir.
Dalam kitab Al-mursyid Al-Amin li Al-Banat Al-Thahthawi menyatakan bahwa dalam membina perasaan bertanah air selain didasarkan kepada sentiment keagamaan, dapat saja ia dibangun berdasarkan perasaan kesamaan dalam kebangsaan atau kekeluargaan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Tuhan seseungguhnya mengizinkan kebahagiaan bersama dibangun di atas suatu tanah air, yakni tempat ayah, ibu, dan guru.[21] Yang dimaksud Al-Thahthawi adalah apa yang diistilahkan sebagai tanah tumpah darah. Tanah tempat kita dilahirkan kemudian dididik oleh orang tua dan guru.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Thahthawi memberikan suatu alternative kepada masyarakat Mesir untuk membentuk suatu tanah air didasarkan kepada perasaan kesamaan kebangsaan.
  1. Patriot ( Putera Tanah Air )
Seseorang dapat menjadi putera tanah air ( patriot ) karena ia putera asli atau karena melalui proses naturalisasi. Akan tetapi, seorang patriot sejati adalah bila ia memenuhi kewajibannya kepada tanah air disamping menuntut haknya.[22]
Kewajiban utama seorang patriot adalah mematuhi hukum yang berlaku di negaranya. Jika seseorang tidak mematuhi hukum dengan kata lain ia tidak memenuhi kewajibannya, maka ia kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara.[23] Disamping memenuhi hukum, yang juga menjadi kewajiban seorang patriot adalah membina persatuan dan rela mengorbankan harta dan diri kepada tanah air.[24]
Patriot yang telah berusaha memenuhi kewajiban kepada tanah air maka konsekuensinya ia berhak mendapatkan haknya. Hak yang terpenting bagi patriot adalah kemerdekaan yang sempurnah di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kemerdekaan itu suatu masyarakat sejati dengan patriotisme yang kokoh akan terbentuk.[25]
Al-Thahtawi menyatakan bahwa walaupun Mesir modern adalah Islam, tetapi tidak semua putera Mesir beragama Islam. Orang-orang non muslim tidak berhak mendapatkan haknya sebagai putera tanah air sebagaimana halnya dengan muslim seperti hak kemerdekaan beragama. Antara orang Islam dan orang non-muslim Mesir adalah bersaudara.[26] Jadi menurut Al-Thahthawi, selain persaudaraan yang didasarkan pada persamaan agama (ukhuwah islamiyyah ), ada juga persaudaraan setanah air yang berdasarkan perasaan kesamaan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah ).
  1. Patriotisme ( Hubb Al-Wathan )
Setiap orang mengharapkan masyarakatnya menjadi suatu masyarakat yang berperadaban dan bukan masyarakat yang biadab. Menurut Al-Thahthawi, masyarakat yang berperadaban dapat terwujud dengan adanya pengabdian atau partisipasi aktif dari setiap anggota untuk menegakkan nilai-nilai moral, membina dapat atau kebiasaan serta memajukan pendidikan, dan meningkatkan taraf hidup. Semua ini harus berlandaskan kepada hokum-hukum Ilahi yang dibawa oleh Rasul-Nya.[27]
Dasar yang kuat untuk mewujudkan suatu masyarakat berperadaban adalah patriotisme.[28] Pengabdian yang diharapkan dari seorang putera tanah air hanya akan terwujud jika ditanamkan kepadanya rasa cinta tanah air ( patriotisme ). Sebab, sulit sekali diharapkan partisipasi seseorang dalam membangun tanah airnya jika ia sendiri tidak memiliki kepedulian kepada kepentingan tanah airnya terasebut.
Al-Thahthawi berpendapat bahwa patriotisme dapat ditanamkan ke dalam jiwa para patriot jika hak-haknya dapat dijamin oleh Negara. Setiap putera tanah air berhak diperhitungkan sebagai warga masyarakat oleh para penguasa. Sebagai konsekuensinya, para penguasa harus dapat menyerap aspirasi mereka dan tidak berbuat semaunya saja. Para penguasa juga harus siap menerima kritikan dan oposisi dari rakyatnya.


Jika hal-hal tersebut dapat terwujud, maka setiap putera tanah air tidak akan merasa sebagai orang asing yang tidak tahu menahu dengan persoalan-persoalan pemerintah, sebagaimana terjadi pada masa-masa lalu. Selanjutnya Al-Thahthawi menyatakan bahwa sekarang ( pada waktu ide itu dikemukakan, Pen ) Jiwa patriot sejati dapat diisi dengan perasaan cinta tanah air, karena telah diperhitungkan sebagai anggota tanah air.



BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan-pembahasan yang telah dikemukakan, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1.      Rifa’ah Badawi Rafi Al-Thahthawi ( 1801 – 1873 M ) yang lahir di Tahta ( Mesir bagian selatan ) adalah seorang ulama dan pelopor pembaharuan di Mesir. Usha-usaha pembaharuannya yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam dilakukan melalui pendidikan,penerjemah, penerbitan media pers, dan penulisan.
2.      Al-Thahthawi membuka pintu ijtihad . Ijtihad itu terbagi dua dalam Islam : Ijtihad Mutlak, dan Ijtihad Mashab, mengenai soal fatalisme ia mencela orang-orang Paris krena mereka tak percaya adanya qada dan qadar. Menurut At-Thahthawi ialah orang harus percaya pada qada dan qadar Tuhan, tetapi disamping itu harus berusaha tidak boleh manusia mengembalikan segala-galanya kepada qada dan qadar.
3.      Usaha pembaharuan Al-Thahthawi yang utama adalah pembaharuan konsep bertanah air masyarakat Islam Mesir. Ia berpendapat bahwa salah satu kunci kemajuan Barat adalah konsep bertanah air yang dijiwai ole hide yang diesebut patriotisme, demikian pula konsep bertanah air, Al-Thahthawi merubah penekanannya menjadi tanah air tumpah darah orang Mesir adalah Mesir. Konsep cinta tanah air ini yang menjadi cikal bakal lahirnya nasionalisme bangsa Mesir.
4.      Ide patriotisme Al-Thahthawi adalah suatu ide untuk mewujudkan suatu tanah air, yang akan menjadi “ panggung “ bagi para patriot untuk mewujudkan masyarakat dan Negara yang berperadaban, yang didasarkan pada perasaan kesamaan kebangsaan. Wallahu a’lam


DAFTAR  PUSTAKA
 
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah,diterjemahkan oleh Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam ( Cet. I : Jakarta : Logos, 1996 )
Amin, Husayn Ahmad. Al-Mi’ah Al-A’zham fi Tarikh Al-Islam, diterjemahkan oleh Baharuddin Fannani dengan judul Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam ( Cet.II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1997 )
Arkoun, Muhammad. Arab Thought, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan judul Pemikiran Arab ( Cet. I ; Yogyakarta : LPPI dan Pustaka Pelajr, 1996 ).
Asmuni,H.M.Yusran. Aliran Modern Dalam Islam ( Cet. I ; Surabaya : Al-Ikhlas, 1982 ).
Donohue,John J., John l. Esposito, Islam in Transition :Muslim Perspectives, diterjemahkan oleh Machnun Husen dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedia Masalah-MAsalah ( Cet. V; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995 )
Nasution, Harun. Pembaharuan DAlam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang, 1994 )
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran : Perkembangan Modern dalam Islam ( Cet. I; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998 )
Ushama,Thameem. Hasan Al-Banna: Vision & Mission (Kuala Lumpur : A.S. Noordeen, 1995 ).



[1] Imam Muhammad Abu Zahrah,Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah,diterjemahkan oleh Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan’Aqidah dalam Islam ( Cet. I; Jakarta : Logos,1996), h. 19
[2] Harun Nasution,Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet.X; Jakarta : Bulan Bintang, a994), h. 13
[3] Ibid., h. 30 – 32; Lihat juga Thameem Ushama, Hasan Al-Banna:Vision dan Mission (Kuala Lumpur: A.S Noordeen,1995), h. 4
[4] Ibid, hal 49
[5]Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam (Cet.I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998), h. 34
[6]Husayn Ahmad. Al-Mi’ah Al-A’zham fi tarikh Al-Islam, diterjemahkan oleh Baharuddin Fannanidengan judul Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Cet.II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), h. 280
[7] Ibid., h. 281; lihat juga Harun Nasution, Op.Cit. h. 44
[8] Ibid.
[9] Ibid.; lihat juga Harun Nasution, Op.Cit. h. 45
[10]H. M. Yusran Asmuni, Aliran Modern Dalam Islam (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1982) h.40
[11] Ibid.; lihat juga Harun Nasution, Op.Cit. h. 45
[12] Op.Cit. h. 40-41
[13] Op.cit. h. 45-50
[14] Op.cit. h. 45-50
[15] Ibid, h. 32-33
[16] John J. Donohuue, John l. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspectives, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedia Masalah-Masalah ( Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 3
[17]Muhammad Arkoun, Arab Thought, diterjemahkan oleh Yudian W. Amin dengan judul Pemikiran Arab ( Cet. I; Yogyakarta : LPPI dan Pustaka Pelajar,1996), h.108
[18] Disadur dari Abdul Sani, op.cit, h. 81-83
[19] Misalnya, Al-Thahthawi sendiri pernah “dibuang”ke Sudan oleh Abbas pengganti Muhammad Ali karena ia tidak disenangi pleh pasya tersebut tanpa alas an yang jelas;ingat juga pemerintahan otoriter Muhammad Ali.
[20] Harun Nasution, , op.cit, h. 49
[21] Al-Thahthawi, dalam John J.Donohue,John L. Esposito, op.cit., h. 13 dan 18
[22] Ibit., h. 8
[23] Ibit., h. 9
[24] Harun Nasution, op.cit., h. 48
[25] Ibid., h. 49
[26] Ibid.
[27] Al-Thahthawi, Op.Cit., h. 11
[28] Harun Nasution, Op.cit h. 48

0 comments:

Posting Komentar

Silakan titip komentar anda..