Published Januari 30, 2012 by with 0 comment

MUSTAFA KEMAL ATTATURK ( Negara Republik Sekuler )

 MUSTAFA KEMAL ATTATURK 
( Negara Republik Sekuler )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembaharuan pemikiran aliran modern dalam Islam mulai dikenal sekitar abad ke-19. Aliran-aliran ini diperkenalkan di belahan dunia Islam sehingga banyak di antara kaum muslimin terperangkap diantara dua persfektif, pertama adalah kepercayaan dikalangan tradisional bahwa agama seharusnya yang menentukan karakter organisasi politik dan hukum islam yang menyediakan standar dan petunjuk yang dipelukan masyarakat. Kedua, preferensi kalangan sekuler muslim terhadap konsep dan lembaga politik barat.
Perkembangan modernisasi di Turki yang semakin melaju ke depan dengan membawa beraneka ragam visi sesuai dengan kepentingan yang melatarbelakanginya. Pada gerakan sebelumnya dikenal dengan adanya kebangkitan Usmani Muda dan Turki Muda yang banyak memberi corak terhadap kaum terpelajar di Turki. Pada gambaran berikut ini, warna khas dari gerakan yang ada di Turki. Pase ini terbagi atas tiga pase, yaitu: pertama, gerakan yang masih berorientasi dan masih berpegang secara ketat terhadap prinsip islam yang disebut islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi pemikiran, sikap hidup berdasarkan pola-pola kehidupan barat. Kelompok ini disebut westernisme. Ketiga, gerakan yang menitik beratkan ke dalam aspek keaslian Turkinisme atau lebih secara kenegaraan, mereka sering mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan nasional. Kelompok ini disebut nasinalisme.

Mekipun ketiga gerakan di atas, msing-masing memiliki ciri khas tersendiri namun gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kemal, dapat tampil ke gelanggang arena perpolitikan di Turki.
Tampilnya gerakan nasionalisme di Turki, sebenarnya bukan murni hasil dari pemikiran dari Mustafa Kemal sendiri, tetapi ide tersebut merupakan inspirasi dari tokoh sebelumnya yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan oleh Sultan Mahmud II.

Kehadiran Mustafa Kemal ke gelanggang perjalanan sejarah Turki, telah membawa perubahan besar. Ide-idenya untuk membawa Turki untuk menjadi negara maju, seperti negara eropa lainnya. Sehingga dapat mengubah tatanan lama yang sudah mentradisi dalam kerajaan Turki Usmani, dan membentuknya ke dalam wajah baru dengan corak pemikiran sekuler.

Dengan demikian, yang menjadi pokok pembahasan pada makalah ini adalah “Mustafa Kemal dan Sekularisme” dalam membangun repoblik Turki.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi mustafa Kemal Attaturk ?
2. bagaimana ide-ide sekuler (pembaharuan) Mustafa Kemal di Turki ?

---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Mustafa Kemal
Mustafa Kemal dilahirkan pada tanggal 12 maret 1881 di Salonika (sekarang Greece), yang menjadi kota pelabuhan Masedonia di Turki, ia dilahirkan dari keluarga terhormat dan meninggal dunia pada tahun 1938 di Istambul. Ayahnya bernama Ali Rosa, seorang pegawai pemerintah. Ibunya bernama Zubaeda khahir, seorang yang wanita yang halus persaannya dan tekun beribadah. Perasaan keagamaanya yang mendalam mendorongnya untuk memasukkan Mustafa Kemal ke sebuah sekolah madrasah, tetapi karena ia tidak senang blajar di madrasah itu, akhirnya ia pindah kesekolah meliter menengah di Salonika. Pada tahun 1899, ia melanjutkan pendidikannya ke Akademi Militer di Stambul Turki, dan selesai pada tahun 1905 dengan pangkat kapten.

Ketika di Istambul, Mustafa Kemal dan teman-temannya membentuk perkumpulan rahasia yang menerbitkan surat kabar, tulisan-tulisan yang mendukung kritik terhadap pemerintah Sultan. Sejak itulah Mustafa Kemal mulai terlibat dalam politik praktis. Karena garakan dan perkumpulan rahasia itu yang selalu mengeritik pemerintah Sultan, akhirnya dan teman-temannya ditangkap lalu dimasukkan ke dalam penjara selama beberapa bulan. Setelah dibebaskan ia diasingkan bersama salah seorang temannya yang bernama Ali Fuad ke Suria.

Mustafa Kemal memulai karirnya di bidang militer dan politik, setelah mendapat tugas untuk bergabung dengan pasukan Damaskus untuk menumpas para pemberontak Druz pada tahun 1906. pada tahun itu juga Mustafa Kemal membentuk perkumpulan Vatan (tanah air). Perkumpulan ini cepat berkembang setelah dibukanya cabang di Yoffa, Baerut dan Yerissalem. Mustafa melihat bahwa, revolusi Turki tidak akan bisa muncul di daerah itu, karena letaknya yang kurang strategis, sedangkan tempat yang sagat strtegis ialah Salonika. Ia membentuk cabang di Salonika.

Setahun setelah membentuk cabang baru, ia pun dipindahkan ke Salonika sebagai staf umum. Kemudian ia merubah perkumpulan itu menjadi Vatan Ve Hurryet (tanah air dan kemerdekaan) . dalam komfrensi yang dilaksanakan di Salonika, Mustafa Kemal mengeluarkan pendapatnya tentang partai dan tentara, yang keduanya telah bergabung menjadi satu dalam perkumpulan tersebut. Mustafa mengatakan agar nagara konstitusi dapat dipertahankan, dan diperlukan tentara yang kuat di satu pihak dan partai di sisi lain, tetapi tidak boleh digabungkan. Seharusnya perwira sisuruh memelih tinggal dalam partai atau tinggal dalam atau keluar dari tentarra atau tinggal dalam tentara dan keluar dari partai.
Karena Mustafa Kemal semakin gencar mengkritik pemerintah, ia diasingkan ke Sofia bersama Ali Fethi. Ali Fethi sebagai duta dan Mustafa sebagai atase meliter. Disinilah Mustafa Kemal berkenalan langsung dengan peradaban barat, yang menarik perhatiannya adalah pemerintahan perlementer. Tidak lama setelah Mustafa Kemal di buang kesofia terjadi perang dunia I. Dan iapun dipanggil untuk menjadi panglima Devisi di Gallipoli, untuk menahan serangan Inggris terthadap Turki pada tahun 1915. di dalam medan pertempuran itulah, ia menunjukkkan keberaniannya dan kecakapannya dalam memimpin pertempuran. Dan karena sukses yang dicapainya dalam menyelamatkan stambul dari invasi musuh. Ia menjadi terkenal dan disanjung sebagai pahlawan nasional. Dan sebagai penghargaan kepadanya, pangkatnya pun dinaikkan dari kolonel menjadi jenderal ditambah gelar pasya.

Setelah perang dunia I, kemal mempunyai kewajiban membebaskan daerah-daerah lain dari kekuasaan asing. Dan untuk menyokong tugasnya dari rakyat Turki. Ia pun membentuk gerakan-gerakan tanah air, dan bekerja sama dengan pemberontak membentuk kader-kader militer yang tangguh untuk suatu kesatuan tentara nasinal. Sejak saat itulah, mereka mencanangkan membentuk suatu negara nasional Turki yang merdeka.

Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari kaum pemberontak, kemudian mengeluarkan maklumat dengan pernyataan sebagi berikut:
  1. Kemerdekaan tanah air dalam keadaan berbahaya
  2. Pemerintahan di Ibu kota di bawah kekuasaan sekutu dan oleh karena itu tidak dapat menjalankan tugas
  3. Rakyat Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing.
  4. Gerakan-gerakan pembebasan tanah air yang telah ada harus dikoordinasikan oleh satu panitia nasional pusat.
  5. Untuk itu perlu diadakan kongres.
Setelah maklumat tersebut ke luar dan sampai ke Ibu kota, Mustafa Kemal dipanggil namun Kemal menolak, iapun secara resmi dipecat dari dinas militer. Mustafa Kemal keluar dari dinas itu dan diangkat oleh perkumpulan pembela rakyat cabang Erzurna sebagai ketua. Akhirnya perkumpulan tersebut, juga menjadi alat perjuangan politik masa depan Mustafa Kemal.

Pada tahun 1920, ia mendirikan nasional assembly (dewan nasional) di Angkara. Pada saat pendiriannya ia mengatakan bahwa kenyataan yang paling mendasar dalam praktek kenegaraan adalah kecendrungan profesinalisme, yaitu pemerintah rakyat. Dikatakan yang menjadi penguasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat.

Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari golongan dari nasionalis bergerak terus dan berlahan-lahan dapat menguasai situasi sehingga akhirnya mereka diakui sebagai penguasa defakto and dejure di Turki pada tahun 1923.

B. Ide-ide Pembaharuan (sekuler) Mustafa Kemal
1. Politik
Hal yang paling menonjol pada revolusi Musatafa Kemal adalah bagaimana bentuk negara yang diinginkan. Bagi Kemal, kedaulatan harus berada ditangan rakyat. Hal ini tidak sejalan dengan fatwa politik kaum tradisional Turki yang memandang bahwa kedaulatan itu terletak di tangan Tuhan yang dijalankan Sultan atau khalifah. Ide Mustafa Kemal tersebut diterima oleh Majelis Agung Nasinal pada tahun 1920. satu tahun kemudian, ide tersebut diundangkan.

Selanjutnya dengan alasan fakta sejarah umat Islam, Mustafa Kemal mengusulkan agar dua fungsi yang dipegang Sultan Turki, yaitu fungsi spritual dan fungsi temporal dipisahkan.
Pada zaman Abbasyiah misalnya, menurut Mustafa Kemal, Khalifah memerintah di Bagdad sementara Sultan memerintah di daerah-daerah. Kemudian Mustafa Kemal mengusulkan agar jabatan Sultan dengan kekuasaan temporal yang ada padanya di hapuskan saja, untuk menghindari dualisme kekuasaan eksekutif. Yang dipertahankan adalah jabatan khalifah dengan memegang kekuasaan spritual.
Ini berarti Mustafa Kemal menghendaki agar kekuasaan Sultan Turki, dalam hal ini, khalifah benar-benar berkaitan dengan keagamaan saja, dan tidak perlu mencampuri urusan-urusan ketatanegaraan. Sudah barang tentu bentuk kekuasaan seperti ini sangat jauh lebih terbatas dari pada kekuasan yang dimiliki oleh sultan-sultan Turki sebelumnya. Bahkan kekuasaannya lebih kecil dan lebih terbatas dari pada kekuasaan biro syekh al-islam pada masa jayanya.

Pembaruan dalam bentuk negara seperti ini, ditentang oleh mayoritas Islam dengan mempertahankan bentuk khilafah, sedangkan golongan nasionalis menghendaki republik. Dalam konstitusi 1921 ditegaskan bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat, jadi bentuk negara harus republik. Dan pada tahun 1923, Majelis Nasional Agung (MNA) mengambil keputusan bahwa Turki adalah negara republik dan Mustafa Kemal adalah presiden pertama yang terpilih, sedangkan jabatan khalifah dipegang oleh Abd Majid.
Pembaruan berikutnya adalah penghapusan jabatan khalifah, dengan demikian, bahwa gambaran republik Turki ada dualime yang terhapus, tetapi sungguh demikian ‘kedaulatan rakyat” belum punya gambaran yang jelas karena dalam konstitusi adalah agama, sedangkan agama yang dimaksud adalah agama Islam. Itu berarti kedaulatan bukan ditangan rakyat tetapi ada pada syari’at.

Usaha Mustafa Kemal selanjutnya memasukkan prinsip sekularisme dalam konstitusi pada tahun 1928. Negara tidak lagi berhubungan dengan agama. Pada tahun 1937, barulah republik Turki resmi menjadi negara sekuler. Namun sebelum resmi menjadi negara sekuler, Kemal telah menghilangkan konstitusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan.

2. Pendidikan dan Kebudayaan
Bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan bidang yang cukup esensial dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, upaya-upaya pembaharuan yang dilancarkan oleh para pembaharu, tidak terkecuali Mustafa Kemal dan para pendukungnya tidak melepaskan bidang pendidikan dalam pembaharuannya.

Pada tahun 1923 Mustafa Kemal atas nama pemerintah, memerintahkan untuk mendirikan suatu lembaga suatu studi Islam yang diberi tugas khusus mengkaji filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat barat, kondisi praktis, ritual ekonomi, dan penduduk muslim. Tujuan lain dari lembaga tersebut adalah mendidik dan mencetak serta membentuk mujtahid modern yang mampu menafsirkan al-Qur’an agar umat Islam Tuki memperluas wawasannya lewat pemahaman agama secara agak lebih terbuka dan lebih rasional
Pembaruan selanjutnya, adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan agama ke dalam kementerian pendidikan pada tahun 1924. hal ini sesuai dengan undang-undang pendidikan dan konstitusinya di bawah kontrol kementerian pendidikan.

Bersamaan dengan dihapusnya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi agama, pada tahun 1924, Mustafa Kemal membuka fakultas agama pada Universitas Istambul. Pada saat yang sama membuka sekolah-sekolah yang membina dan mempersiapkan tenaga-tenaga khatib dan imam. Jadi pendidikan yang dinginkan Mustafa Kemal dan para pendukungnya adalah pendidikan yang bebas dari pengaruh-pengaruh tradisional.
Sekularisasi yang dilaksanakan Mustafa Kemal bukan hanya dalam bidang institusi saja, tetapi juga dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat. Pakaian keagamaan hanya dibolehkan bagi mereka yang menjalankan tugas keagamaan. Dan seluruh pegawai negeri diwajibkan memakai topi dan pakaian model barat. Di tahun 1923 di keluarkan undang-undang tentang mewajibkan warga negara Turki agar hari libur resmi jum’at diganti hari minggu.

Republik Turki adalah negara sekuler, akan tetapi walaupun demikian, apa yang diciptakan Mustafa Kemal belum menjadi negara yang betul-betul sekuler. Betul syariat Islam telah dihapus pemakainnya dan pendidikan agama di keluarkan dari kurikulum sekolah. Namun republik Turki masih mengurus agama melalui Departemen Urusan Agama.

3. Kehidupan Kemasyarakatan
Para penulis sejarah tidak bisa menyangkal bahwa islam punya pengaruh besar dalam sejarah, dalam hal ini pengaruh syaria’at Islam pada segala segi kehidupan masyarakat Turki. Ini dibuktikan bahwa Turki Usmani sepanjang sejarahnya merupakan lembaga bagi kekuasaan Islam dunia dan agama Islam sebagai agama negara sampai dihapuskannya oleh Mustafa Kemal, pemakaian huruf Arab diganti menjadi huruf latin.
Di mata para pembaharu, Islam adalah agama yang rasional, agama yang tidak bertentangan dengan kemajuan. Yang menjadi penyebab mundurnya Turki terutama karena terlalu kuatnya masyarakat Turki yang berpegang pada syari’at Islam, padahal syari’at yang dipeganginya, tidak lebih dari syari’at yang sudah ternoda oleh budaya Arab yang telah usang yang tidak cocok dengan masyarakat Turki dan zaman yang sudah cukup maju.

Mustaga Kemal cukup responsip terhadap hal tersebut, karena dasar keyakinannya bahwa islam itu agama rasional, cocok untuk kemajuan, ia pun berusaha agar masyarakat Turki memperluas wawasannya dengan cara mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya yang asli. Oleh sebab itu, pada tahun 1924 ia membentuk departemen untuk urusan keagamaan dengan tegas mengurus administrasi keagamaan dan mempersiapkan buku teks pelajaran agama.

Kemuddian Mustafa Kemal memerintahkan agar bahasa Turki dipakai pada mimbar-mimbar masjid, khotbah jum’at, pada azan untuk shalat dan al-Qur’an diterjemahkan dalam bahasa Turki.
Dari beberapa gerakan di atas membuktikan keseriusannya dan pemdukungnya untuk mencerdaskan bangasa, termasuk membuat masyarakat mengerti dan memahami ajaran dasar-dasar agamanya yaitu Islam. Yang disayangkan karena hal seperti itu, merupakan hal yang baru terjadi dikalangan masyarakat Turki, sehingga mereka sulit menerimanya.

Selamjutnya Mustafa Kemal berusaha menghilangkan semua simbol-simbol dan upacara-upacara adat dan keagamaan yang mencerminkan ketradisionalan. Hal ini ia lakukan untuk menunjukkan kepada dunia barat bahwa Turki adalah negara yang beradab dan berbudaya tinggi sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Seperti dikeluarkannya peraturan larangan topi (torbus), para kaum tarekat, praktek jampi-jampi dan teknik pengobatan tradisional terhadap suatu penyakit.

Mustafa Kemal juga melihat bahwa ulama-ulama selama ini hanya menggiring masyarakat kepada masyarakat ritual dan ketaatan pada sistem ibadah dan etika yang mereka ciptakan sendiri tanpa boleh digugat sedikut pun. Mereka tidak merasa perlu menggambarkan umatnya kepada kegairahan hidup di dunia dalam artian kegairahan hidup berprofesi di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, kesenian dan kemasyarakatan. Akibatnya di bidang kehidupan dunia, umat Islam Turki Miskin, terkebelakang bahkan di bidang spritual mereka juga miskin karena mengamalkan sesuatu yang pada hakekatnya kurang benar.
Adanya kemajuan-kamajuan tersebut di atas, jelas bahwa perubahan dalam kehidupan kemasyarakatan akan nampak dengan jelas bagi masyarakat yang menggunakan kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut. Hal ini dipahami sebagai mobilisasi pada masyarakat yang baru mulai berkembang. Masyarakat yang memperoleh kesempatan dalam pembaruan Mustafa Kemal kemudian memanfaatkannya dengan baik, maka akan mendapat kemajuan yang sangat berarti, baik dari segi sosial, budaya maupun spritual. Danbagi mereka yang tidak menggunakan dan memanfaatkan kesempatan tersebut, maka akan tetap pada keadaan yang semula.



--------------------
BAB III
P E N U T U P

Kesimpulan
Mustafa Kemal adalah pendiri dan presiden pertama republik Turki yang dikenal sebagai salah satu pembaharu Islam yang sekuler yang berusaha memajukan peradaban Eropa di negerinya. Dalam hal ini ia sering melontarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang politik (kenegaraan) bidang pendidikan dan kebudayaan, dan kemasyarakat (ekonomi dan hukuim).
Selain itu, Mustafa Kemal berdama teman-temanya juga berhasil mendirikan Grand Nasional Assembly (GNA) yang digunakan untuk menyatukan ide-ide pembaharuannya. Mustafa Kemal dalam melontarkan ide pembaharuannya, sebenarnya tidak bermaksud menghilangkan ajaran Islam dari republik Turki tetapi bertujuan menolak intervensi agama dalam bidang politik, dan pemerintahan dan berusaha meletakkan agama pada proporsi yang sebenarnya.
Dengan demikian, apa yang telah diupayakan oleh Mustafa Kemal adalah sebuah pembaharuan dan pembuktian terhadap internasional bahwa pemerintahan dalam islam adalah pemerintahan yang mampu memenuhi tuntutan zaman. Hal ini dilakukannya demi kemajuan peraban Islam di segala aspek kehidupan umat di masa akan datang.


Read More
Published Januari 24, 2012 by with 1 comment

MUHAMMAD IQBAL (Teori Gerak dan Kedinamisan Islam)

 MUHAMMAD IQBAL 
(TEORI GERAK DAN KEDINAMISAN ISLAM)

B A B I
PENDAHULUAN


Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslim dalam keseluruhan aspeknya, baik yang bersifat individual ataupun kolektif. Karena karakteristiknya yang serba mencakup tersebut, hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam.
Di awal perjalanan sejarahnya, hukum Islam atau fiqh merupakan suatu yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang masing-masing memiliki corak tersendiri sesuai dengan latar belakang sosio-kultural dan politik dimana mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Perkembangan yang dinamis dan kreatif ini setidaknya didorong oleh empat faktor utama: pertama, dorongan keagamaan. Karena Islam merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan kaum muslim, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut ataupun mengintegrasikan kaum muslim ke dalamnya selalu muncul ke permukaan. Demikian juga hukum Islam yang bersifat mencakup, harus selalu dapat memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang dihadapi masyarakat.

Kedua, dengan meluasnya domain politik Islam pada masa khalifah Umar ibn Khaththab, terjadi pergeseran-pergeseran sosial yang pada gilirannya menimbulkan sejumlah problem baru sehubungan dengan hukum Islam yang harus mendapat penanganan serius. Dengan latar belakang semacam inilah Umar tampil dengan sejumlah kebijaksanaan radikal yang belakangan sering dijadikan sumber justifikasi terhadap gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam.
Ketiga, independensi para spesialis hukum Islam dari kekuasaan politik. Kemandirian ini telah menyebabkan mereka mampu mengembangkan pemikiran hukumnya tanpa mendapat rintangan yang berarti. Keempat, fleksibilitas hukum Islam itu sendiri yang membuatnya mampu untuk berkembang mengatasi ruang dan waktu.

Dengan berlalunya waktu, perkembangan hukum Islam yang amat dinamis dan kreatif dalam perjalanan sejarahnya yang awal, kemudian menjelma ke dalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hukum terkenal. Dengan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan tertutup.1 Sementara pengaruh sufisme yang semakin meluas telah mengaburkan visi umat Islam dan membenamkan mereka ke alam taqlid. Dengan demikian, hukum Islam kini telah mengalami kemalangan serius dan sarat dengan muatan-muatan asing.
Pada abad ke-19 beberapa intelektual muslim bangkit menyadari permasalahan yang timbul dan mulai berbicara tentang kebutuhan “membuka gerbang (pintu) ijtihad”. Di antara intelektual muslim tersebut ialah Muhammad Iqbal. Bagaimana model pemikiran Iqbal tentang permasalahan tersebut?. Itulah yang akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini.

----------

B A B II
PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal adalah seorang penyair, filsuf dan pembaharu pemikiran dalam Islam yang dilahirkan pada 22 Pebruari 18732 di Sialkot, sebuah kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Seperti sebagian besar tokoh India dan Pakistan lainnya, Iqbal berasal dari keluarga sederhana, namun berkat bantuan beasiswa yang diperolehnya di sekolah menengah dan perguruan tinggi ia dapat memperoleh pendidikan yang bagus.4 Ayahnya, Nur Muhammad adalah seorang Muslim yang saleh dan seorang sufi yang telah mendorong Iqbal untuk menghafal al-Qur’an secara teratur. Keadaan orang tuanya yang memiliki jiwa keagamaan yang teguh dan kecenderungan-kecenderungan spiritual berpengaruh terhadap perilaku Iqbal secara menyeluruh.

Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray College, Sialkot. Di sini, oleh ayahnya ia diperkenalkan dengan seorang ulama besar, Sayyid Mir Hasan, guru dan sahabat karib orang tuanya. Setelah me-ngetahui kecerdasan Iqbal, guru yang bijaksana itu segera menyarangkannya agar ia terus menuntut ilmu. Pendidikan dari ayah dan gurunya tersebutlah yang sangat berkesan di hati Iqbal dan kemudian mengantarkannya menjadi seorang tokoh yang memiliki komitmen terhadap Islam secara utuh.
Pada 1895, setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di sialkot, Iqbal pergi ke Lahore, pusat intelektual di barat laut India untuk melanjutkan studi di Government College (sekolah tinggi pemerintah) hingga memperoleh gelar kesarjanaan MA. dalam ilmu Filsafat pada 1898. Di kota inilah ia ber-kenalan dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis yang mendorongnya untuk melanjutkan studi di Inggris. Pada tahun 1905 ia pergi ke negara tersebut dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mendalami studi Filsafat. Di samping itu, ia juga mengikuti kuliah hukum di Lincoln’s Inn, London. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munchen, Jerman, untuk lebih memper-dalam studi filsafatnya di Universitas Munchen. Di sinilah ia memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph. D.) setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “The Development of Metaphysics in Persia” (Perkembangan Metafisika di Persia).7 Pada 1922, ia dianugerahi gelar kehormatan “Sir” (Sir Muhammad Iqbal – pen.) oleh pemerintah Inggris karena jasanya dalam me-ngembangkan ilmu pengetahuan, terutama sastra Inggis dan Filsafat.

Selama 3 tahun menetap di Eropa, Iqbal berkesempatan mempelajari dari dekat pengetahuan dan peradaban Barat. Ia banyak mengkaji buku-buku ilmiah di perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Di samping itu, ia juga mempelajari watak dan karakteristik orang-orang Eropa. Dari hasil peng-kajiannya itu, Iqbal berkesimpulan bahwa terjadinya berbagai macam kesulitan dan pertentangan disebabkan oleh sifat-sifat individualistis dan egoistis yang berlebihan serta pandangan nasionalisme yang sempit. Menurutnya, agar tidak sempit dan memiliki dasar universal, paham nasionalisme mesti diintegrasikan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh gerakan pembaharuan agama dan gerakan kebudayaan baru. Pada sisi lain, Iqbal mengagumi sifat dinamika bangsa-bangsa Eropa yang tidak mengenal puas dan putus asa. Sifat inilah yang kelak membentuk Iqbal menjadi seorang pembaharu yang mengembangkan dinamika Islam.
Demikianlah Iqbal mengenal, menyaksikan dan mempelajari per-adaban Barat secara intens dari dekat, namun berbeda dengan sekelompok pemikir lain yang tergiur oleh penampilan peradaban Barat, lalu dengan cara yang sangat sumier menerima dan berambisi untuk menerapkan konsep asing itu, maka Iqbal dengan pandangannya yang tajam, memisahkan mana yang bisa dibawanya kembali ke masyarakatnya.
Iqbal menghembuskan nafas terakhirnya pada 21 April 1938 dalam usia 65 tahun, setelah menderita penyakit yang berlarut-larut sejak 1934.


B. Pemikiran Muhammad Iqbal Tentang Gerak dan Kedinamisan Islam

Setelah mempelajari watak bangsa-bangsa Eropa, ada tiga hal yang memberi kesan yang mendalam pada diri Iqbal, yaitu vitalitas dan dinamisme kehidupan orang-orang Eropa, kemungkinan-kemungkinan yang terbentang amat luas bagi manusia serta pengaruh yang mengancam harkat manusia yang dimiliki masyarakat kapitalis atas jiwa orang-orang Eropa. Kenyataan terakhir menguatkan keyakinannya atas keunggulan Islam sebagai cita-cita moral dan spiritual dan olehnya itu ia berusaha keras untuk mempertahankan dan mengembangkan cita-cita tersebut.
Untuk memajukan umat Islam India, Muhammad Iqbal menge-tengahkan beberapa pemikiran, di antaranya bahwa umat Islam India perlu mengembangkan konsep ijtihad dan paham dinamisme Islam.

1. Teori Gerak
Seperti halnya beberapa tokoh pembaharu Islam lainnya, Iqbal berpendapat bahwa kemunduran umat Islam lima ratus tahun terakhir disebab-kan karena merosotnya jumlah dan kualitas pengetahuan yang dimiliki, yang bersamaan dengan itu merosot juga cintanya kepada Allah swt. dan rasul-Nya kepada potensi terpendamnya ajaran agama dan khazanah kebudayaan yang kaya. Hal tersebut sebagai akibat dari kebekuan dalam pemikiran yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pertama, hancurnya Baghdad yang pernah menjadi pusat politik, kebudayaan dan pusat kemajuan pemikiran Islam pada pertengahan abad ke-13. Akibatnya, pemikiran ulama pada masa itu hanya bertumpu pada keseragaman kehidupan sosial dengan melarang segala jenis pembaharuan yang substansial dalam hukum Islam. Hal ini menyebaban hilangnya dinamika berfikir umat Islam. Kedua, timbulnya paham fatalisme yang menyebabkan umat Islam pasrah pada nasib dan enggan bekerja keras. Pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf yang dipahami secara berlebihan menyebabkan umat Islam tidak mementingkan masalah kemasya-rakatan. Ketiga, sikap jumud dalam pemikiran umat Islam, dimana hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. Kaum konservatif menganggap bahwa kaum rasional (Mu’tazilah) telah menyebabkan timbulnya disintegrasi yang mengancam kestabilan umat. Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab.

Beberapa faktor penyebab kebekuan berfikir di kalangan umat Islam tersebut membuat Iqbal tersentak dan mengatakan bahwa hukum Islam tidak bersifat statis tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.16 Oleh sebab itu, pintu ijtihad harus selalu terbuka pada setiap zaman karena ijtihad adalah kekuatan penggerak bagi Islam. Menurut Iqbal, ijtihad berarti upaya mencurahkan segenap kemampuan intelektual17 Hal ini berarti akal ditempatkan pada kedudukan yang tinggi.
Bagi Iqbal, dunia merupakan sesuatu yang ditundukkan melalui tindakan yang bertujuan. Dalam ceramahnya, ia mempertegas posisinya – sebagaimana yang dikutip oleh A. Syafi’i Maarif:
“….Bahwa dunia bukanlah sesuatu yang semata-mata dipandangi atau dikenali melalui konsep-konsep, tetapi merupakan sesuatu untuk di-ciptakan kembali dengan tindakan yang berkelanjutan.”

Dalam pandangan Iqbal, untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di atas bumi ini bukan saja dianjurkan, tetapi lebih dari itu, merupakan kewajiban setiap muslim. Oleh sebab itu, perkembangan individualitas adalah suatu proses kreatif yang di dalamnya manusia harus memainkan peranan aktif, terus-menerus beraksi dan bereaksi dengan penuh tujuan terhadap lingkungan. Iqbal percaya bahwa gagasan semata-mata tidaklah memberikan momentum pada gerak maju manusia, kecuali perbuatan yang membentuk esensi dan bobot kehidupan manusia.

Demikianlah teori gerak yang dikemukakan Iqbal yang salah satu cara perwujudannya ialah dengan berijtihad. Di samping itu, ia juga juga mengemukakan bahwa oleh karena ijtihad sangat urgen dan penting artinya, maka dalam setiap zaman hendaknya ada orang-orang spesial yang benar-benar tahu bagaimana menerapkan dasar-dasar Islam pada berbagai masalah zaman yang senantiasa berubah. Mereka juga harus mengetahui kategori suatu masalah dalam kerangka dasar-dasar Islam.

2. Teori Kedinamisan Islam
Dalam konsep ijtihad terdapat aspek perubahan yang dengannya akan terjadi dinamika kehidupan umat manusia, sebab berbagai kebutuhan zaman secara keseluruhan selalu berubah. Zaman tidak akan mempertahan-kan sesuatu diam di tempatnya dan tidak membiarkan sesuatu bersifat kekal. Dengan demikian, hukum Islam mempunyai kemungkinan untuk bersifat elastis.
Menurut Iqbal, hidup yang baik ialah hidup yang bersifat kreatif orisinal dan bersemangat perjuangan, bukan justru hidup yang memandang serba santai, apalagi memencilkan diri dalam hiasan kemalasan. Konsep dinamis tentang alam semesta membawa Iqbal pada kesimpulan tentang takdir dimana ia menjelaskan – sebagaimana yang dikutip oleh Thawil Akhyar Dasoeki:
“Seandainya benar bahwa takdir manusia itu sudah dipastikan lebih dahulu, maka ia merupakan sejenis materialisme yang terselubung, di mana segala-galanya terjadi dengan determinisme yang kaku tegar.”

Menurut Iqbal, seluruh masalah berputar sekeliling kondisi per-ubahan. Keberhentian baginya adalah kematian, baik jasmani maupun rohani, sedangkan perubahan tidak datang dengan sendirinya. Ia menuntut desakan dari dalam dan keinginan positif untuk menciptakan takdir-takdir baru. Karena itu, prakarsa untuk mengembangkan diri datang dari individu sendiri.

“Sudah menjadi suratan nasib”, demikian kata Iqbal, “manusia ikut ambil bagian dengan cita-cita yang lebih tinggi dari alam sekitarnya dan turut menentukan nasibnya sendiri seperti juga terhadap alam, sekali menyiapkan diri untuk menghadapi kekuatan-kekuatan alam, lain kali mengerahkan segenap kekuatannya untuk dapat mempergunakan kekuatan-kekuatan itu demi keperluannya sendiri. Dan dalam perubahan yang begitu cepat Tuhan pun bertindak sebagai kawan bekerja dengannya, asalkan manusialah yang meng-ambil prakarsa. Allah berfirman dalam QS. Al-Ra’d (13): 11:
إِنَّ الله َلاَ يُغَيِّرُمَا بِقَوْمٍ حَتىَّ يُغَيِّرُوْا مَا ِبأَ ْنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Kalau manusia tidak mengambil prakarsa, kalau manusia tidak bersedia mengembangkan kekayaan batinnya, kalau manusia berhenti merasakan gejolak batin hidup yang lebih tingi, roh yang ada di dalam dirinya akan mengeras menjadi batu dan dia merosot turun ke tingkat benda mati. Dengan demikian tidak akan tercipta suatu kedinamisan di dalam kehidupan, terutama di dunia Islam..
Paham dinamisme sebagaimana yang dikemukakan di atas itulah yang ditonjolkan Iqbal sehingga ia mempunyai kedudukan penting dalam proses pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak, menciptakan dunia baru dan jangan tinggal diam, karena menurutnya, itulah intisari hidup.

Meskipun Iqbal banyak memperoleh pendidikan di negara Barat, namun Barat baginya bukanlah model dalam melaksanakan pembaharuannya. Kapitalisme dan imperialisme Barat tidak diterimanya karena menurutnya, Barat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah meninggalkan agama. Hanya ilmu pengetahuan dari Barat yang harus diambil oleh Umat Islam.
Pemikiran-pemikiran Iqbal mempengaruhi dunia Islam secara umum, terutama pada pembaharuan di India. Ia telah menimbulkan paham dinamisme di kalangan umat Islam India dan menunjukkan jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar umat Islam yang minoritas dapat hidup bebas dari tekanan-tekanan luar.

Demikianlah Iqbal telah tampil memperingatkan kepada kita untuk selalu harus membuka diri pada pemikiran yang lebih maju. Kalau demikian, maka pemikiran Iqbal yang sedang diperbincangkan ini haruslah difungsikan untuk merangsang kita berfikir, merenung dan berijtihad lebih baik lagi.
Satu hal yang pantas mendapat perhatian bahwa ia mempunyai semangat yang tinggi dalam membela Islam, sembari menganggap bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan dunia ini. Padahal, pada waktu yang sama ia adalah seorang reformis dan tahu banyak tentang pemikiran-pemikiran modern. Oleh sebab itu, integrasi filosofisnya antara Islam sufi dengan pemikiran Barat dan pemahamannya mengenai Islam sebagai agama universal serta komitmennya untuk menafsirkan kembali prinsip-prinsip Islam dalam kondisi kontemporer menjadikannya sebagai pimpinan spiritual bagi modernisme India. Demikian pula gairah keagamaan-nya serta syair-syair moralnya.


------------------------

B A B III
KESIMPULAN


Muhammad Iqbal adalah salah seorang intelektual muslim yang hidup di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ia berasal dari negeri India, yang sekarang bernama Pakistan setelah negara ini terbentuk untuk memisah-kan diri dari India. Ia tumbuh dan berkembang di bawah bimbingan keluarga yang taat dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
Iqbal telah mengarungi dan menyelami lautan pemikiran Barat, namun ia tidak sampai terlena karenanya. Sebaliknya, tanpa ragu-ragu dia mengecam dan menolak watak materialistis dan superioritas Barat, begitupun konsep-konsepnya yang rapuh yang bertolak dari pengingkaran terhadap agama.
Menurut Iqbal, ijtihad pada dasarnya adalah upaya di pihak manusia untuk mengerahkan pemikirannya dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus-menerus menambahkan ciptaan baru. Ijtihad sebagai kekuatan dinamisasi Islam. Dengan demikian, ijtihad bukannya mengandung potensi distorsi terhadap ajaran Islam yang autentik sebagaimana diyakini oleh kaum tradisional-konservatif, tetapi justru merupakan inti khilafah manusia di atas permukaan bumi.


------------------------

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Kh. Jamil. Hundred Great Muslims. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Pustaka Firdaus dengan judul Seratus Muslim Terkemuka. Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Ali, H. A. Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998

Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Cet. I; Semarang: Bina Utama, 1993.

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Bunga Rampai Ajaran Islam. Cet. II; Jakarta: Jakarta Raya, 1990.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jilid 2. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ensiklopedi Islam Di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992/1993.

Hadi W. M., Abdul. Islam Cakrawala Estetika dan Budaya. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Hassan, Parveen Feroze. The Political Philosophy of Iqbal. Lahore: Publisshers United LTD, 1970.

Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Though in Islam. Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1975.

Khamene’I, Ali et al. Iqbal Manifestation of The Islamic Spirit. Diterjemah-kan oleh Andi Haryadi dengan judul Muhammad Iqbal Dalam Pandangan Para Pemikir Syi’ah. Cet. I; Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2000.

Maarif, A. Syafi’i. Islam; Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Muthahhari, Murtadha. Inna al-Dina ‘inda Allah al-Islam. Diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan Tantangan Zaman. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Sudarsono. Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

Tim Disbintalad. Al-Qur’an Terjemah Indonesia. Cet. VIII; Jakarta: Sari Agung, 1995.

Watt, William Montgomery. Islamic Fundamentalism and Modernity. Diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal dengan judul Funda-mentalisme Islam dan Modernitas. Cet. I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.




Read More
Published Januari 23, 2012 by with 1 comment

Muhammad Ali Jinnah (Nasionalis India dan Pendirian Republik Pakistan)

 Muhammad Ali Jinnah 
(Nasionalis India dan Pendirian Republik Pakistan)


Pendahuluan
Upaya memajukan dan meningkatkan taraf hidup ummat Islam di India terus saja berlanjut dengan berbagai bentuk dan cara. Salah satu bentuk yang digunakan adalah kegiatan pembaruan dan berbagai gerakan, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan - perkumpulan dan organisasi semisal liga Muslim.
Sejak Syah Waliyullah, mencetuskan ide-ide pembaharuannya, kemudian dikembangkan oleh Sayyed Ahmad Khan dan tokoh-tokoh gerakan aligarh pada abad ke-19 dan abad ke-20 dipadu dengan pemikiran – pemikiran Amir Ali, Muhammad Iqbal dll.(Ensiklopedi Islam:Ichtiar Baru: 1994:322) sedangkan Abul Kalam Azad berjuang melalui partai Kongres nasional yang didirikan atas inisiatif seorang pegawai Inggris di Benggala, untuk menentang Inggris. (Harun Nasution: 1994: 174)

Partai ini membangkitkan dan memupuk semangat nasional India, baik dari golongan Hindu maupun dari golongan Muslim. Dalam perkembangan sejarah partai ini, ummat Islam merasa nasibnya diabaikan, hal ini terbukti dengan timbulnya berbagai reaksi keras dari golongan Hindu terhadap berbagai aliran yang kemudian berlanjut dengan anti Muslim. Reaksi ini mengakibatkan kekuran simpatisan orang-orang Muslim pada partai ini.

Kenyataan mewujudkan bahwa hidup bersama antara ummat Islam dan Hindu dalam suatu Negara yang mayoritas Hindu, tak dapat dipertahankan lagi. Dalam kondisi seperti itu, lahirlah seorang tokoh yang bernama Muhammad Ali Jinnah yang kemudian menjadi seorang pemimpin liga Muslim. Beliau memandang perlu ummat Islam berpisah. Pada awal tahun 1940 liga muslim dibawah pimpinan Ali Jinnah mengajukan suatu resolusi yang lebih dikenal dengan “resolusi Lahore” atau “resolusi Pakistan” yang pada dasarnya berisi pembentukan Negara Pakistan. (Ensiklopedi, op. cit : 323)
Makalah ini berusaha untuk mengambarkan sosok pribadi Muhammad Ali Jinnah dan peran serta keterlibatannya dalam perjuangan terbentuknya Negara Pakistan.

Riwayat Hidup Muhammad Ali Jinnah
Muhammad Ali Jinnah, dilahirkan pada hari Ahad, 25 Desember 1876 di Karachi. (Esiklopedi Islam di Indonesia. 1992/1993: 756) orang tuanya termasuk masyarakat pedagang dari Kathiavar. Kecerdasan yang ia miliki dan kemampuan materi orang tuanya. Memungkinkan ia mendapatkan fasilitas yang besar untuk kepentingan pendidikannya. (Jamil Ahmad:1996:290) ketika ia masih berumur enam belas tahun, ia menuju ke Inggris atas nasihat teman ayahnya untuk belajar ilmu hukum pada tahun 1892. selanjutnya kembali ke India pada tahun 1896, dan mulai praktik advokat di Bombay. (H.A Mukti Ali:1998:190)
Pada awal karirnya dibidang hukum, Jinnah banyak mengalami beberapa tahun yang sangat sulit. (Ibid,) namun karena kecemerlangan otaknya ia memperoleh jangkauan yang lebih luas bagi keahlianya dengan melakukan kontak dengan para intelektual India yang pada akhirnya membentuk pandangan- pandangan politiknya yang anti penjajah atau anti Inggris. Dengan demikian ia menentukan pilihannya untuk aktif dalam partai kongres India dan menjauhi liga muslim yang dipandangnya pro Inggris.( Harun Nasution: 1996: 195)
Karir politik Muhammad Ali dimulainya sejak tahun 1906 setelah ia menghadiri sidang All India National Congress di Calcutta. (H.A Mukti Ali: 1998:191) ketika itu ia terpilih sebagai sekertaris pribadi Peresiden Dadabhay Naoroji yang amat terkenal itu.

Tampaknya Jinnah sangat mendukung dan berpegang teguh kepada All India National Congress. Hal ini tampak ketika ia menyatakan diri “bangga tergolong” pada partai kongres. Namun ketika ia diangkat menjadi anggota dewan legislative kerajaan, ia mendukung pengesahaan undang-undang wakaf yang membawanya dekat dengan pemimpin-pemimpin Muslim. (Ibid) Jinnah juga bergabung dengan liga Muslim namun masih menolak untuk didaftar menjadi anggota karena menurutnya tujuan organisasi tersebut tidak cukup tinggi. Namun setelah anggaran dasar organisasi ini berubah, yaitu berusaha untuk memperoleh “suatu bentuk pemerintahan yang cocok” sebagai tujuannya barulah ia bergabung dengan liga muslim. (Ibid)
Pada tahun 1913 ia diangkat menjadi Presiden liga Muslim.(Harun Nasution: 1996: 195). Dengan demikian, sangat memungkinkan baginya memainkan peran aktif dalam semua kegiatan politik dan mewujudkan cita-citanya bagi pemerintahan sendiri di India yang merupaka persatuan Hindu-Muslim, di bawah kepemimpinan Jinnah, liga muslim menjadi gerakan rakyat yang kuat.

Dengan kepemimpinanya di liga muslim semakin muncul kepermukaan, melalui sidang di Lahore yang dipimnpin langsung oleh Ali jinnah, berhasil dicetuskan resolisi yang terkenal dengan”resolusi Lahore “ atau “resolusi Pakistan”. Salah seorang pelopornya ialah Maulvi Fazlu Haque digelari Singa Bangli. Resolusi berbunyi: umat Islam India merupakan suatu bangsa umat Islam harus mempunyai tanah air sendiri yang terpisah dari umat Hindu dan tidak akan menerima konstitusi yang tidak menyebutkan tuntutan dasar ini. (Ensiklopedi Islam : Ichtiar Baru:1994 : 322 ).

Namun cita-cita yang mulia itu tidak dapat diwujudkan pada waktu itu, karena dia meninggalkkan India menuju London. Setelah mengalami kekecewaan dan kekasalan atas kegagalan politiknya pada konverensi meja bundar antara pemerintah Inggris dengan wakil-wakil dari partai politik India. Ide dan perjuangannya untuk terbentuknya persatuan Hindu Islam merdeka di tolak, terutama pemimpin partai kongres yang menghendaki penghapusan eksistensi Islam dalam peran politik. (Harun Nasution:1996:196 ). Dengan demikian ia mengundurkan diri dari politik praktis dan kembali pada profesi semula.
Antara 1928 – 1935 dapat dianggap sebagai periode belantara politik bagi Jinnah, sangat muak terhadap politik sejumlah politisi India, Jinnah menetap di Inggris dan berpraktek sebagai pengacara swasta. Tetapi meninggalnya Maulana Muhammad Ali, kaum muslimin India ditinggalkan tanpa ada pimpinan yang efektif, sehingga Jinnah di bujuk kembali ke India pada tahun 1935. (Jamil Ahmad : 1996 : 295 ).
Dengan kepemimpinannya itu umat Islam berhasil memperoleh kemerdekaannya sebagai Negara Pakistan. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 agustus 1947 yang di dahului dengan di bukannya secara resmi dewan konstitusi Pakistan. Apa yang dia dambangkan terwujud dalam kenyataan, sebelum ia wafat tanggal 11 september 1948 dalam usia 72 tahun. Ia sempat memimpin Negara Pakistan selama satu tahun. (Abul Hasan Ali al-nadwi : 1976 :121)

Peran Muhammada Ali Jinnah dalam Pembentukan Pakistan
Setelah bulan maret 1990 jalan perjuangan ali jinnah mulai jelas. Liga muslim telah memutuskan berdirinya Negara Pakistan sebagai tujuannya, dan ia berjuang untuk mencapainya dengan segala kegigihan dalam tujuan dan kesatuan dalam pikiran, yang dengan itu beberapa tahun sebelumya ia pernah memperjuangkan impiannya untuk memperoleh parsatuan hindu-muslim. Semua usahanya sejak waktu itu, wawancarannya, pidatonya, perundiannya, gerakan strategisnya, diilhami oleh suatu cita-cita untuak menegakkan Pakistan. (H. A mukti ali : 1998 : 211 )

Tokoh pembaharu India, semisal Sayyed Ahmad Khan dengan idenya tentang ilmu pengetahuan, Sayyed Amir Ali dengan idenya bahwa Islam tidak menentang kemajuan modern, dan Iqbal dengan idenya dinamikanya yang sangat membantu cita-cita ummat Islam India dalam membentuk Negara tersendiri. Untuk membentuk masyarakat tersendiri tersebut, Ali Jinnah lah yang berusaha untuk mewujudkannya, (Harun Nasution: 1996: 200)

Pembentukan Negara tersendiri bagi ummat Islam di India adalah suatu hal yang wajar. Setelah jatuihnya kerajaan Mughal, terutama sekali kaum Muslimin merasa amat perihatin tentang hal-hal mereka dalam suatu Negara India yang demikian luasnya. (John L.Esposito:1986:217) meskipun pada mulanya Muhammad Ali Jinnah dan liga mislimnya mula-mula berusaha untuk bekerja sama dengan partai kongres dan para pemimpinnya, namun pada tahun 1940 Jinnah bicara tentang dua bangsa di India.
Perubahan sikap Jinnah tersebut muncul ketika timbul pemahaman yang sesungguhnya bahwa orang Hindu dan Muslim akan dapat menciptakan ansional bersama Jinnah menilai bahwa pandangan seperti itu hanyalah suatu mimpi. (H.A Mukti Ali:1998:199). Muhammad Ali Jinnah menilai, bahwa orang Hindu dan Muslim termasuk dalam dua falsafah agama, adapt kebiasaan sosialdan kesusatraan yang berbeda yang mereka tidak pernah saling mengawini dan makan bersama-sama.

Meskipun gagasan pendirian Negara Pakistan masih mendapat penolakan dari pemimpin agama untuk mendukung liga dalam pendirian Negara itu dan menyatakan bahwa nasionalisme dan Islam berlawanan, alasan ketidak sukaan mereka terhadap nasionalisme bermacam-macam, dipengaruhi anti Eropanismepolitik local, serta kepercayaan agama, nasionalisme dianggap sebagai konsep Barat yang partikularisme sempitnya bertentagan dengan nasonalisme Islam. (John L.Esposito:1994:79)

Namun demikian, Jinnah pun menyadari bahwa untuk mempersatuakan dua pandangan yang berbeda antara golongan Islam dan Hindu amatlah sulit. Meskipun Jinnah sangat menentang pendapat Gandhi tentang nasionalisme India yang didalamnya ummat Islam dan Hindu bergabung menjadi suatu bangsa. (Harun Nasution:1996:195) demikian pula ungkapan presidennya yang congkak yang mengatakan, hanya ada dua “partai” di India, kongres dan pemerintah Inggris. Jinnah membalas dengan menyatakan, ada partai ketiga, liga muslim. (Jamil Ahmad:295)

Keberhasilan Ali Jinnah membidani kelahiran Negara Pakistan sebagai Negara ummat Islam bermula dari langkah awal dengan pemikiran pembaharuan seorang tokoh Syah waliullah pada abad ke-18, dikembangkan ileh Sayyed Ahmad Khan dan tokoh gerakan Aligarh pada abad ke-19 dan abad ke-20 dipadu oleh pemikiran-pemikiran Amir Ali, Muhammad Iqbal dll, yang bermuara pada perjuangan ummat Islam yang semakin kuat dibawah pimpinan Ali Jinnah yang berusaha mengelaborasidan mengaplikasikan gagasan Iqbaltersebut kedalam realitas praktis, hingga terwujud cita-cita Negara Pakistan yang mereka dambakan. (Ensiklopedi Islam: Ichtiar Baru: 1994: 322).

Kesimpulan
Ali Jinnah terkenal sebagai seorang tokoh Islam yang dinamis, kreatif dan bekerja tak kenal lelah, hal ini terbukti ketika melihat berbagai usaha yang dilakukannya, khususnya dalam bidang politik.
Dalam mengusahakan pembentukan Negara Pakistan, hal pertama dilakukan oleh Jinnah adalah melepaskan India dari tangan penjajah. Menurutnya, kemerdekaan India harus diupayakan bersama oleh masyarakat India baik Hindu maupun Muslim.
Pendirian Jinnah tersebut tidak menampakkan peluang keberhasilan, sehingga ia mengubah pendiriannya dengan menyatakan bahwa ummat Islam harus mempunyai Negara sendiri, terpisah dari ummat Hindu.
Pada akhirnya terbentuklah Negara Pakistan pada tanggal 15 Agustus 1947 yang dinakhodai oleh Jinnah sebagai Gubernur Jenderal (al-Qaid al-A’dzam) sebelum ia wafat dalam usia 72 tahun (11-9-1948).



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jamil. Seratus muslim terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996)
Ali, Mukti. Alam Alam Pikiran IslamModern di India dan Pakistan (Bandung: Mizan, 1998.

Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994)
Esposito, John.L. Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)

____________, Ancaman Islam Mitos atau Realitas ? (Bandung: Mizan, 1994)
al-Nadwi, Abul Hasan Ali. Muslim In India (India: Academy of Islam Research Publication, 1976)

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)

_________, Pembaharruan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)




Read More
Published Januari 21, 2012 by with 0 comment

SYARIKAT ISLAM (Gerakan pembaruan Politik Islam)

 SYARIKAT ISLAM 
(Gerakan pembaruan Politik Islam)

BAB I
Pendahuluan
 

Capaian-capaian peradaban manusia merupakan siklus sejarah yang saling melengkapi satu sama lain. Sebuah titik peristiwa sejarah merupakan guru bagi peristiwa-peristiwa sejarah yang datang kemudian. Akumulasi dari rangkaian-rangkaian peristiwa sejarah itu melahirkan formula bahkan format bagi sebuah peradaban.

Sejarah merupakan napak tilas peristiwa masa lalu, pembelajaran untuk masa sekarang dan prediksi bagi masa depan. Perjalanan panjang kehidupan manusia dalam menciptakan kebahagiaan dalam kehidupan individu dan juga masyarakatnya, mengharuskan mereka berpikir dan berbuat. Hasil pemikiran dan aktivitas itu ada yang membuahkan hasil cemerlang, namun tak sedikit yang menuai kegagalan yang memilukan.
Melihat ke belakang (sejarah) dalam mencipta peradaban bagi kebahagiaan manusia adalah sebuah usaha aktif yang maju guna merangkai formula-formula bahkjan format-format kehidupan yang lebih mapan; yang lebih baik dibanding sebelumnya. Hal itu dapat dilakukan dengan menilik unsur-unsur dan prinsip-prinsip sejarah kemudian diejawantahkan sesuai dengan tuntutan kehidupan kekinian. Kegagalan sebuah sejarah diperlakukan sebagai cermin diri agar tak terulang lagi kesalahan yang pernah ada. Keberhasilannya diurai dengan menghadirkan seluruh instrumen yang ada dalam kondisi tempat formulasi itu diterapkan. Penyatuan kedua ritme kehidupan di atas, dengan berpijak pada sikap positif dan pro aktif, akan membuahkan hasil yang lebih baik di banding masa sebelumnya.

Gambaran di atas ingin diajukan dalam uraian makalah ini, dengan menarik sebuah organisasi Islam sebagai fokus kajiannya. Organisasi yang dimaksud adalah Syarikat Islam.

Uraian makalah ini akan memapar sejarah kemunculan Syarikat Islam, perkembangannya serta peroblematika-problematika yang menimpa organisasi Islam pertama ini dalam gerakan-gerakan perjuangannya. Sambil mendeskripsikan hal-hal di atas, sekaligus akan dipaparkan pula tokoh-tokohnya, sekaligus analisa atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan, termasuk keberhasilan dan kegagalannya dalam melaksanakan perjuangannya.

Sejarah dan Latar Belakang Kemunculannya.
Syarikat Islam yang kita bicarakan dalam makalah ini pada awalnya bernama Sarekat dagang Islam (SDI). Ia didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 di Solo dengan tokoh pemrakarsanya seorang pedagang, H. Samanhudi . Konteks yang melatari lahirnya SDI adalah lantaran adanya kesadaran Kaoem boemipoetra yang hidup berada dalam tekanan imperialisme kaum penjajah asing (Belanda) yang ketika itu melahirkan strata masyarakat Nusantara kepada tiga golongan atau tingkatan:
• Strata I Kaum Indo Belanda, bangsa Eropa
• Strata II Kaum Perantauan Timur Asing (Cina, Arab, India)
• Strata III Kaum Inlander, yaitu bangsa Hindia Belanda (Indonesia).

Kesadaran akan nasib sebagai warga negara kelas tiga di tanah tumpah darahnya sendiri, menyebabkan kalangan saudagar muslim dan para haji bangkit untuk memberdayakan kaumnya. Mereka melakukan gerakan dagang atau ekonomi dengan iktikad melawan atau meruntuhkan dominasi kekuatan kaum Cina perantauan yang kala itu mendapat hak-hak lebih dan istimewa dalam dunia ekonomi dan perdagangan. Perdagangan besar dikuasai oleh kaum Indo-Belanda, sentra-sentra ekonomi berbasis pasar dikuasai para Cina, Arab, India sedang bangsa Indonesia menjadi kaum kebanyakan, buruh dan pekerja kasar.

Kondisi seperti diungkap di atas, jelas menampakkan bahwa kesadaran dasar yang muncul pertama kali dalam sejarah organisasi Islam --ditandai dengan kelahiran Sarekat Dagang Islam-- diawali dari kesadaran akan ketereliminasian umat dari sisi ekonomi. Di samping itu yang penting pula diperhatikan dalam latar belakang kemunculan SDI ini adalah adanya kesadaran dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencerahan pemikiran, terutama pemikiran keislaman, bagi bangkit dan majunya umat Islam di Indonesia.
Lahirnya kesadaran dan bangkitnya kaum muslimin saat itu, sesungguhnya kuat didorong oleh adanya kebangunan Islam dunia, dan peranan pelaksanaan haji di awal abad ke-20. Hal itu dapat mengindikasikan bahwa pergerakan SDI pada dasarnya kuat dipengaruhi secara eksternal oleh fenomena gerakan tajdid (pembaruan) pemikiran Islam yang sedang berlangsung di belahan dunia Timur Islam, yang diprakarsai oleh antara lain: Syaikh Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan para mujtahid lainnya. Hal itu langsung maupun tidak, berimbas juga pada dorongan internal yaitu kesadaran kaum muslimin akibat adanya interaksi pergaulan pada mereka yang melaksanakan ibadah haji di tanah suci.

Dari sinilah kita menandai adanya kebangunan Islam di Indonesia, sebagai pertanda dan menjadi rangkaian perubahan masyarakat di Nusantara ketika itu. Titik tekan terpenting yang menjadi sebab kebangunan ataupun kebangkitan umat Islam saat itu adalah tumbuhnya kesadaran umat Islam di seluruh dunia untuk melakukan perjuangan anti kolonialisme kaum kuffar yang menjajah banyak wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kehadiran para jamaah haji di tanah haram tentu memberikan pengaruh tersendiri bagi terbangunnya sentimen keagamaan untuk kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan kaum muslimin atas keterjajahan diri dan bangsanya.
Sisi lain yang juga menjadi motivasi adalah dalam konteks menghadapi ancaman yang disebut Rosihan Anwar sebagai “kerstening politiek” Belanda yang diberlakukan di tanah jajahan ini. Perlawanan atas kebijakan politik Belanda itulah, membuat kaum muslimin Indonesia secara patriotik melakukan respons perwiranya. Keragaman sebab yang merupakan kausa prima itu kemudian saling bersinergi satu sama lain yang muaranya bertumpu dan berakumulasi pada lahirnya kesadaan baru kaum muslimin untuk melepas diri dari keterkungkungan kaum penjajah, dan menghadapi persaingan dagang dengan kaum Cina Perantauan dan keturunan India.

Mantan Ketua Umun Lajnah Tanfidziah Syarikat Islam, M.A. Ghani, menyebutkan, bahwa ada 4 (empat) pokok pikiran yang menjadi tujuan perjuangan SDI sebagai wadah perjuangan kaum muslimin ketika itu:
  1. Upaya memperbaiki nasib rakyat dalam bidang sosial ekonomi
  2. Mempersatukan para pedagang batik agar dapat bersaing dengan pedagang dari keturunan Cina.
  3. Kehendak mempertinggi derajat dan martabat bangsa pribumi
  4. Mengembangkan serta memajukan pendidikan dan agama Islam. 

Dari awal gerakan yang berkonsentrasi pada bidang ekonomi dan perdagangan, gerakan berubah menjadi gerakan sosial, ekonomi dan keagamaan. Label Islam tetap menjadi citra kejuangannya. Maka pada 1906 (atau ada juga yang menyebutnya pada 1911) berubahlah nama pergerakan itu menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan nama menjadi Syarikat Islam (SI) ini secara langsung ataupun tak langsung adalah disebabkan karena bergabungnya seorang tokoh “pemberontak” HOS Tjokroaminoto yang bekerja pada sebuah maskapai penerbangan di Surabaya ke dalam tubuh perkauman ini. Dari sini stressing dan aksentuasi pergerakan tidak lagi bertumpu sekadar pada urusan dagang atau ekonomi semata tetapi jauh lebih meluas, menyentuh aspek-aspek lainnya.

Ide-Ide Umum Syarekat Islam
Sebagai sebuah organisasi pergerakan yang berbasis Islam, Syarekat Islam lahir dengan keinginan untuk mengubah tatanan sosial kemasyarakatan yang menimpa masyarakat muslim, akibat kondisi keterjajahan mereka oleh Belanda kala itu.
Meskipun pada awalnya --saat masih bernama SDI-- gerakan ini lahir sebagai gerakan Islam yang menitikberatkan perjuangannya pada bidang ekonomi umat, namun muncul pula kesadaran bahwa perhatian pada ekonomi umat, mesti dipadukan dengan peranan politik umat Islam.
Hadirnya HOS Tjokroaminoto dalam pergerakan ini meretas jalan mulus menuju kebijakan dan peran politik umat Islam. Di bawah kepemimpinannya orientasi pergerakan lebih bersifat politik. Ia lalu menasional terbukti dari kongres-kongres yang diadakan dengan menggunakan kata nasional, khususnya sejak 1916 di Bandung. Sifat politik secara tegas diformulasikan dalam ketetapan kongres pada 1917 di Batavia. Cita-cita mewujudkan pemerintahan sendiri dan berparlemen telah dikemukakan oleh HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis, salah seorang tokoh Budi Utomo yang bergabung untuk kemudian mengubah SI menjadi Central Sarekat Islam (CSI).

Desakan yang berhasil dilakukan terhadap pemerintah adalah berdirinya Volksraad di mana dua orang tokoh CSI duduk di dalamnya yaitu HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Sikap HOS Tjokroaminoto begitu keras sehingga ia mengeluarkan sebuah petisi/mosi tidak percaya kepada pemerintah karena menganggap Volksraad tidak berpihak kepada kehendak mendengarkan aspirasi masyarakat bangsa pribumi.

Kemudian di dalam tubuh CSI terjadi perpecahan, hingga pada kongres Nasional VI bulan Oktober 1921 di Surabaya ditegakkan disiplin partai, yaitu mengharamkan orang-orang berhaluan komunis berada di dalam SI/PSII. Dari sini sejarah mencatat bahwa SI jadi terbelah dua: SI Putih dan SI Merah. SI putih (yang dimotori oleh Agus Salim dan Abdul Muis) berhasil membuang SI merah --yang di dalamnya terdapat Semaun, Tan Malaka, Darsono, Alimin dan Haji Misbach-- dari tubuh PSII/SI. Sebagai konsekuensinya SI menjadi (Sarekat Internasional) bertukar nama menjadi Sarekat Rakyat dan menyatakan dirinya sebagai suatu organisasi radikal nasional baru.
Ide-ide umum yang dapat ditangkap dari pergerakan Sarekat Islam, dapat dilihat pada Anggaran Dasar pertama yang dirumuskan oleh Raden Mas Tirto Adisurjo.

“Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggapnya masa zaman kemajuan, haruslah sekarang kita berhaluan: Janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karenanya, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam”
Dalam ungkapan itu dapat ditangkap bahwa terdapat kesadaran akan ketertinggalan umat Islam yang harus segera dientaskan lewat kerja keras yang sungguh-sungguh, agar umat dapat maju dan turut serta dalam pengambilan kebijakan dalam percarutan kehidupan sosial maupun politik di Indonesia.
Hal di atas juga nampaknya lahir dari kesadaran akan keterpurukan umat Islam. Seperti kita lihat pada bagian-bagian sebelumnya bahwa ternyata masyarakat muslim di kala itu terposisikan sebagai kelompok masyarakat kelas tiga di samping Belanda dan etnis-etnis; Cina dan juga Arab. Keterpurukan itu sangat jelas pada bidang ekonomi. Belanda sebagai peletak kebijakan, memberikan kesempatan yang lebih besar kepada non pribumi dalam persoalan perdagangan dan ekonomi. Hal itu membuat sebagian pemikir muslim kala itu merasa terpanggil untuk meluruskan keberpihakan yang tidak adil itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa pada awal berdirinya, ide umum yang ditelorkan oleh Sarekat Dagang Islam, seperti namanya adalah melakukan “perang” secara ekonomi melawan pihak-pihak tertentu. Di samping itu, tujuan organisasi ini adalah:

“Akan berikhtiar supaya anggota-anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara dan supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalian kaum muslimin dan lagi dengan segala daya upaya yang halal dan tidak menyalahi wet-wet negeri-negeri Surakarta dan wet-wet government,… berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri”.
Terlihat jelas dalam bagian ini bahwa keberpihakan yang menjadi arah dari Sarekat Islam adalah memajukan umat Islam dari sisi ekonomi dan juga politik, serta terkandung pula usaha untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan Belanda.
Simpulnya dapat dikatakan bahwa ide-ide umum yang ditelorkan SI bermuara pada usaha kebangkitan umat Islam, lewat persatuan serta perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman kuku-kuku penjajah.

IDE-IDE PEMBARUAN SI
Sebagai pergerakan Islam yang pertama di tanah air, SI tentu saja memiliki ide-ide pembaruan yang ingin diterapkannya sebagai proses menuju sasaran yang diinginkannya. Ide-ide pembaharuan itu dapat dilihat dari hasil kongres SI 1917 yang isinya antara lain:
1. Politik: SI menuntut berdirinya dewan-dewan daerah, perluasan volkstrad (dewan rakyat) serta menuntut penghapusan kerja paksa dan sistem izin untuk bepergian.
2. Pendidikan: Partai menuntut penghapusan peraturan yang mendiskriminasikan penerimaan murid di sekolah-sekolah. Ia juga menuntut terlaksananya wajib belajar untuk semua penduduk sampai berumur 15 tahun; perbaikan lembaga-lembaga pendidikan pada segala tingkatan; memasukkan pelajaran keterampilan; perluasan sekolah hukum dan sekolah kedokteran menjadi universitas dan pemberian Bea siswa untuk belajar di luar negeri.
3. Agama: Partai menuntut dihapusnya undang-undang dan peraturan yang menghambat tersebarnya Islam; pembayaran gaji bagi kiyai dan penghulu; subsidi bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pengkauan hari-hari besar Islam
4. Agraria: Partai menuntut perbaikan agraria dan pertanian dengan menghapuskan particulire lauderijen (tuan tanah).
5. Industri. Partai menuntut agar industri-industri yang sangat penting, dinasionalisasikan.
6. Keuangan dan perpajakan: Partai menuntut adanya pajak-pajak berdasar proporsional serta pajak-pajak yang dipungut terhadap laba perkebunan.
7. Kooperasi: Partai menuntut agar pemerintah memberikan bantuan bagi perkumpulan kooperasi.
8. Sosial: Partai menuntut agar pemerintah memerangi minuman keras dan candu; perjudian dan prostitusi; juga melarang penggunaan tenaga kerja anak-anak; mengeluarkan peraturan perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja serta menambah jumlah poliklinik dengan gratis.

Demikianlah ide-ide yang lahir berupa tuntutan kepada pihak pemerintah. Jika diteliti nampaklah bahwa tema-tema yang menjadi tuntutan SI kepada pemerintah, seluruhnya bernuansa keinginan untuk memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat dari segi ekonomi, politik, pendidikan dan juga keamanan.

PERGOLAKAN DALAM TUBUH SI
Seperti telah diungkap sebelumnya, bahwa SI pada masa perjuangannya terpecah menjadi dua bagian; SI Merah dan SI Putih. Pergolakan dan perpecahan yang terjadi dalam tubuh SI, tidaklah semata-mata bersumber dari faktor internal. Yang lebih penting diperhatikan adalah faktor eksternal yang menyebabkan pertentangan itu. Faktor eksternal dimaksud adalah rekayasa yang diciptakan oleh penjajah Belanda.
Sampai tahun 1918, organisasi Sarekat Islam telah juga diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Belanda berpendapat, bahwa persatuan Islam akan lebih berbahaya mengingat sebagian besar orang-orang Indonesia memeluk agama Islam. Apabila orang-orang Islam Indonesia dapat membentuk persatuan Islam secara mantap, maka Belanda akan sulit mengatasinya, terlebih lagi jika organisasi Islam yang telah mantap itu bergerak dalam bidang politik.

Kekhawatiran itu dapat dilihat pada usaha Belanda berusaha ingin memecah belah Sarekat Islam yaitu dengan cara memasukkan orang Belanda ke dalam tubuh Sarekat Islam. Cara Belanda untuk memecah belah Sarekat Islam, telah dirintis sejak lama.
Pada mulanya Belanda mengadakan gerakan komunis di Indonesia diawali dengan pembentukan ISDV (indische Sosial Democratische Vereeniging) atau Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia. Organisasi ini merupakan organisasi Marxis pertama di Asia Tenggara. Sneevliet sebagai pendiri organisasi mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk menyelidiki organisasi Sarekat Islam. Dengan tugas tersebut, Sneevliet, mengadakan inviltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam. Anggota-anggota Sarekat Islam akan ditarik ke dalam ISDV. Semaun yang masuk Sarekat Islam pada tahun 1915, terkena pengaruh ajaran komunis yang disampaikan oleh Sneevliet. Tak lama kemudian menyusul Darsono, Tan Malaka, Alimin Prawirodirdjo dan lain-lain. Akibatnya Sarekat Islam menjadi retak. Salah satu pihak ingin tetap mempertahankan kemurnian organisasi Islam, dengan menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, tetapi di pihak lain telah banyak sikap yang berubah lewat pencampuradukkan ajaran Islam dengan paham komunis. Inilah yang menyebabkan kelemahan pergerakan nasional dalam organisasi Sarekat Islam kemudian. Lantas pada pertemuan selanjutnya selalu terjadi pertentangan hebat; Perpecahan ini terus berlanjut sampai dalam kongres Sarekat Islam I, II, III, dan IV.

SI putih dan SI merah ini dalam pandangan Kuntowijoyo dapat dipetakan menjadi Sosialisme komunisme (SI Merah) dan sosialisme Islam (SI putih). Baik sosialisme Islam maupun sosialisme Komunis, sama-sama ideologi, maka keduanya mempunyai watak yang sama yaitu tertutup, final dan normatif. Mereka juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu rekontruksi sosial. Tetapi keduanya mempunyai perbedaan. Kalau Komunisme adalah perjuangan untuk mengubah struktur masyarakat pada waktu itu dengan memodifikasi birokrasi, front persatuan, dan mobilitas massa, maka Islam adalah perjuangan struktural sama dengan komunisme, tetapi juga kultural dalam arti sangat tergantung pada kesadaran individual, karena itu ia juga memperhatikan agama, pendidikan dan kebudayaan. Khusus mengenai ekonomi, SI-Merah bersifat anti kapitalisme secara revolusioner, sedangkan SI-Putih juga anti kapitalisme, tetapi dengan jalan mengembangkan kooperasi. Berbeda dengan SI yang analisisnya mendasarkan diri pada fakta individual, PKI adalah perjuangan struktural yang didasarkan pada fakta sosial.

Dalam mengurai untuk melihat siapa kalah dan menang dalam pertentangan ini Kuntowijoyo, dengan menggunakan kerangka sosialisme memilih SI-Merah sebagai pemenangnya. Alasan-alasan yang dikemukakannya adalah bahwa komunisme sudah berpengalaman dengan industrialisasi dan kaum buruh, dan bagi SI Industrialisasi dan kaum buruh masih merupakan hal baru yang tanpa preseden sebelumnya. Karena itu bisa dimengerti kalau reaksi SI dapat dikatakan terlambat, too late karena pertama; kaum buruh sudah terlanjur ada; sudah terorganisasikan dengan rapih. Kedua; SI kalah bersaing dengan Marxisme yang sudah sejak pertengahan abad ke-19 mengenal buruh. Demikian juga bagi kaum buruh yang melihat ada unsur “mesianistik” pada komunisme, jawaban SI terlalu kecil, too litle, karena tidak mengandung harapan baru. Lagi pula, orientasi non materialistis terasa kurang relevan dengan kepentingan duniawi kaum buruh.
Di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, SI lalu meretas jalan menuju gerakan politik yang terorganisir. SI kemudian menjadi cikal bakal dari pergerakan perjuangan kebangsaan Indonesia. Ia kemudian menjadi Central Sarekat Islam (CSI) dan mulai menggunakan kata nasional. Terbukti dari kongres tahunan yang diadakannya: Nationale Indische congres (NATICO). Pada gilirannya SI benar-benar menjadi organisasi atau partai politik, yaitu ditandai dengan perubahan nama menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Timur (1923) dan pada NATICO ke-14 pada Januari 1929 di Jakarta menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

-------------------
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan di antaranya:
  1. SI awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang gerakan perjuangannya terletak pada pemberdayaan ekonomi umat.
  2. Setelah masuknya HOS Tjokroaminoto, SI sebagai organisasi semakin terorganisir secara sistematis. Di tangan beliau pulalah SI menjadi gerakan sosial dan politik.
  3. SI adalah gerakan Islam pertama yang ingin memperjuangkan kepentingan umat Islam, dan yang berusaha ingin mengangkat harkat martabat umat Islam di Indonesia.



-----------------
DAFTAR PUSTAKA

Amel, HOS Tjokroaminoto; Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1998.
Iskandar, Jos Sutan. Rekontruksi PSII dalam visi Rahardjo Tjakraningrat, Cet. I; Jakarta: Pustaka Nusa Centre, 2002.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Esai-Esai, Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Cet. I; Bandung: Mizan, 2001.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-19442. Cet. VIII; Jakarta: LP3ES, 1996.
Sudiyo, Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1989.


Read More
Published Januari 19, 2012 by with 0 comment

NAHDATUL ULAMA (Suatu Gerakan Tradisionalis Islam)

 NAHDATUL ULAMA 
(Suatu Gerakan Tradisionalis Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagai sebuah gerakan, Nahdatul Ulama (NU) hadir seiring dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih terhegemoni oleh kekuasaan penjajahan asing (Belanda). Pada masa itu pula, setiap gerakan rakyat yang muncul selalu berdedikasi kepada keinginan untuk merubah keadaan bangsa dan meningkatkan kualitas warga bangsa melalui peningkatan kualitas keagamaannya. Paling tidak terdapat dua gerakan besar yang hadir pada masa itu dan berkembang pesat hingga kini sehingga dapat dianggap sebagai gerakan Islam terbesar di Indonesia. Walaupun keduanya lahir dalam suasana yang sama, tetapi dari sisi lain keduanya mempunyai wawasan yang berbeda, sehingga dalam perkembangannya, perbedaan itu menjadi ciri-ciri yang berkembang dengan sangat menyolok pada basis sosial masing-masing.

Dalam pandangan kosmologinya, NU lebih lebih mengutamakan harmoni dan sebisa mungkin menghindari konflik, pertimbangan rasa lebih utama ketimbang nalar atau rasio. Mempercayakan nasib pada takdir lebih dicondongi ketimbang mempetaruhkannya dengan kemampuan dan prakarsa sendiri sehingga NU dikatakan sebagai masyarakat keagamaan yang feodalistik dan mempunyai modal perilaku tradisional.

Namun mengapa organisasi atau kaum muslim tradisional cenderung diabaikan dan sebaliknya perhatian lebih banyak diberikan kepada organisasi atau kaum muslim modernis dan reformis ? pertanyaan ini memerlukan jawaban yang kompleks. Tetapi setidaknya terdapat anggapan-anggapan tertentu terhadap mereka dimana organisasi atau kaum tradisional pada umumnya dianggap tidak menarik karena dipandang sebagai orang-orang jumud yang ketinggalan zaman, berpikiran sempit dan picik, serta merupakan remnants (sisa-sisa) dari masa lampau yang tidak relevan lagi dengan situasi masa sekarang.

Anggapan-anggapan seperti ini harus diakui, namun perlu diuji kembali secara serius dalam skala perbandingan antara NU dengan organisasi lainnya. Misalnya Muhammadiyah yang selama ini dipandang sebagaimana organisasi modern dan reformis, namun justru tampak lebih tradisionalis darib pada NU yang justru lebih liberal dalam beberapa lompatan berpikir. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba mengkaji eksistensi Nahdatul Ulama sebagai salah satu organisasi pergerakan Islam terbesar di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang lahirnya NU. ?
2. Benarkah NU sebagai gerakan tradisional Islam ?
3. Bagaiman kifrah Kiprah NU dalam dunia pendidikan dan politik ?
---------------
BABII
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Nahdatul Ulama (NU)
Terbentuknya sejumlah pergerakan muslim yang menekankan pembaharuan keagamaan, modernisme pendidikan dan aksi politik memancing sebuah gerakan tandingan di kalangan ulama tradisional seperti Persatuan Ulama Minagkabau yang didirikan tahun 1921 dan diikuti dengan berdirinya NU di Jawa Timur pada tahun 1926.

NU didirikan di seputar jaringan kerja para tokoh agama yang berpusat pada pesantren di Jombang, Jawa Timur. NU mempertahankan prinsip-prinsip keagamaan tradisional dan mengikuhkan syari'ah, mazhab-mazhab fikih dan praktek sufi yang merupakan inti spritualitas mereka. NU menyangkal penegasan kaum reformis tentang posisi Al-Qur'an dan hadis menggantikan praktek Islam tradisional. Sekalipun demikian, perkumpulan baru ini menandai sebuah perubahan penting organisasi masyarakat Islam Jawa tradisional.
Sesungguhnya NU lahir karena reaksi terhadap dua hal. Pertama, ia merupakan reaksi terhadap politisasi agama yang dilakukan oleh Syarikat Islam (SI), dan kedua, merupakan reaksi terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah. Tetapi kedua hal tersebut bukanlah merupakan faktor langsung yang menyebabkan berdirinya NU. Adapun yang menjadi penyebab langsungnya adalah adanya penyambutan yang tidak baik terhadap gagasan K.H. Abdul Wahhab Hasbullah yang menyarankan agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktek keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia kepada raja Ibn Sa'ud di Mekkah. Penolakan yang dilakukan oleh kaum reformis telah menyebabkan kaum tradisional menjadi terpojok dan terpaksa memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, yakni membentuk sebuah komite yang dinamakan Komite Hijaz untuk mewakili mereka di hadapan raja Ibn Sa'ud. Untuk memudahkan tugas ini, tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisional yaitu NU. Persoalan ini kemudian dapat dipandang sebagai momentum kelahiran Nahdatul Uama.

Pada awalnya organisasi ini tidak mempunyai rencana yang jelas kecuali yang bersangkutan dengan masalah penggantian kekuasaan di Hijaz. Organisasi ini juga tidak memiliki anggaran dasar, tidak pula pendaftaran keanggotaan. Sehingga pada tahun 1927 barulah merumuskan tujuan organisasi. Organisasi ini bermaksud memperkuat ikatan pada salah satu dari empat mazhab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota yang sesuai dengan Islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di antara para ulama yang masih berpegang pada mazhab, pengawasan terhadap pemakaian kitab-kitab di pesantren, penyebaran Islam seperti yang diajarkan oleh mazhab yang empat, penambahan jumlah madrasah serta perbaikan organisasinya. Yang terpenting adalah pembentukan badan-badan untuk memajukan usaha para anggota NU.

B. NU Sebagai Gerakan Tradisional Islam
1. Perkembangan NU
Posisi dan peranan NU memiliki kedudukan yang unik tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia Islam. NU adalah organisasi yang didukung oleh rakyat banyak bahkan kehadiran NU mengakar di kalangan rakyat banyak terutama di pededesaan, pengaruhnya pun berkembang di seluruh Indonesia. Dengan gerakan tradisionalismenya itu timbul upaya-upaya untuk memperkuat sistem kelembagaan yang dipimpin oleh ulama terutama mesjid dan pesantren. Berbeda dengan Muhammadiyah yang mendirikan sekolah-sekolah umum, panti asuhan, poliklinik, dan rumah sakit. Namun NU melakukan beberapa kegiatan utama lainnya yaitu: pertama, melakukan aktualisasi ajaran-ajaran Islam dengan kegiatan yang kini terkenal dengan Bahtsul Masail. Sebenarnya dengan membahas masalah-masalah keagamaan yang aktual di masyarakat itu para ulama juga melakukan penggalian dan konsolidasi ajaran tradisional. Kedua, NU melakukan kegiatan yang sangat penting dalam memelihara tradisi Islam yakni mencetak kader-kader ulama, dengan cara ini NU sebenarnya juga melakukan suatu pewarisan nilai dari generasi ke generasi.

NU disebut sebagai organisasi massa Islam tradisional dengan ciri-ciri; pertama, NU menganut dan mengembangkan ajaran empat mazhab (Imam Syafi'i, Hambali, Malik, dan Hanafi). Kedua, metode pendidikan Islam yang diterapkan melalui pesantren-pesantren dinilai kurang mampu mengakomodasikan perkembangan dunia modern. Ketiga, pola hubungan struktural (interbal komunitas NU bersifat superordinasi) yang menunjukkan peran kyai pada strata atas dengan berbagai legitimasinya. Ciri inilah yang sering diperhadapkan dengan organisasi Muhammadiyah yang sering disebut berciri pembaharu, yakni purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari berbagai bentuk pengaruh tradisional.

Hingga saat ini perjalanan NU telah menunjukkan perkembangan dalam tiga fase dengan ciri-ciri yang berbeda. Pertama, sebelum kemerdekaan dengan ciri utamanya adalah kiprahnya lebih ditekankan pada pengembangan ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah melalui pendidikan pesantren. Kedua, NU melibatkan dirinya dalam politik praktis. Ini tampaknya juga berkaitan dengan situasi politik pada awal kemerdekaan atau sebagai dampak dari diakomodasinya kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh dalam masyarakat untuk mewujudkan diri mereka menjadi parta politik dengan bergabung di Masyumi yang merupakan salah satu representasi dari unsur islamisme yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, kembali ke khittah 1926, ini memiliki alasan yang kuat sehingga terus mendorong upaya mengembalikan NU pada semangat awalnya. Salah satu alasan yang cukup mendasar adalah selama NU berkiprah di politik praktis, ada kecenderungan yang menunjukkan gejala terlantarnya lembaga-lembaga pesantren sebagai basis pengembangan gerakan NU. Dalam perkembangan selanjutnya NU sekarang ini merupakan organisasi sosial keagamaan. Namun sebagian dari tokoh-tokohnya masih merupakan orang-orang yang aktif dalam kegiatan politik secara tersebar. 
Demikianlah perkembangan NU sebagai gerakan tradisonalis Islam yang pada awalnya memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga pesantren dan kemudian pada politik praktis dan yang terakhir telah kembali ke khittah (semangat) 1926.

2. Penganut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah
Sejak awal NU menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al-Qur'an, sunnah, ijma, dan qiyas. Oleh karena ingin mempertahankan dan mengembangkan paham ini maka NU berdiri.
Secara harfiah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama'ah adalah sahabat-sahabatnya. Secara ringkas berarti segolongan pengikut sunnah (jejak) Rasulullah saw yang di dalam melaksanakan ajaran-ajaran beliau berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jamaah (sahabat Nabi).

Pada persoalan-persoalan hukum, NU merupakan penganut "mazhab empat" terutama mazhab Syafi'i yang dikenal sebagai ulama moderat. Meskipun NU bermazhab tetapi penerimaannya tidak mutlak, hukum-hukum itu diperiksa, diselidiki, kemudian dijadikan pedoman.
Posisi religi-ideologis NU dalam hal hadis dan sunnah seperti itu diperkuat lagi oleh sikapnya yang khas dalam fikih. Mazhab fikih seperti dikemukakan Martin yang dikutip oleh Asyumardi Azra agaknya juga merupakan salah satu konsep yang paling sentral dalam lingkungan Islam tradisional. Bagi kaum tradisional, fikih adalah "Ratu" ilmu-ilmu Islam. Fikih dipandang sebagai panduan bagi segenap tingkah laku dan perbuatan kaum muslimin yang menetapkan mana yang boleh dikerjakan dan mana yang tidak.
Sejauh menyangkut fikih, NU sangat menekankan taklid dan sebaliknya cenderung tidak mendorong ijtihad, sebab dalam pandangan NU adalah berbahaya jika seseorang berpegang hanya kepada bacaan dan pengertiannya sendiri mengenai Al-Qur'an dan hadis. Bahkan tindakan seperti ini dapat membawa kepada dosa besa. Karena itulah kaum muslimin ditekankanuntuk mengikuti secara ketat ijtihad yang telah distandarisasikan dalam empat mazhab Sunni, yaituHanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi'i.

C. Perbandingan NU dengan Organisasi Modern dan Reformis (Muhammadiyah)
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pendahuluan bahwa NU merupakan organisasi yang digolongkan pada kaum muslim tradisional dan Muhammadiyah sebagai organisasi modern reformis, menggugah penulis untuk mencari titik perbedaan dan persamaan di antara keduanya. Hal ini diharapkan dapat mengantar kita untuk memahami kedua organisasi ini agar tidak terjadi mispersepsi terutama terhadap organisasi yang disebut oleh sebagian para ahli sebagai "organisasi tradisional" ini.
Dalam melihat fenomena, agaknya perlu dilakukan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Misalnya saja apakah "modernis-tradisionalis" itu mengacu kepada ideology keagamaan atau pada tingkah laku praktis. Apalgi dengan terjadinya perubahan-perubahan sosiologis dalam pemikiran dan gerakan Islam pada beberapa dasawarsa terakhir. Dalam hal ini maka Fazlur Rahman sebagaimana yang dikutip pula oleh Azyumardi Azra memperkenalkan distingsi dan tipologi semacam modernis (yang mencakup modernis klasik dan neorevivalis). Kerangka yang ditawarkan Rahman agaknya bisa bermanfaat untuk melihat kembali posisi NU dan Muhammadiyah. Dengan menggunakan kerangka Rahman, NU agaknya termasuk ke dalam tipologi "revivalis", ini setidaknya jika dilihat dari sudut wacana keagamaan kedua organisasi tersebut.
Penjelasannya cukup sederhana, NU ternyata cukup adaptif dalam meresponi tantangan intelektual dan institusional modern yang semakin banyak muncul dalam masa belakangan ini. Hal ini misalnya terlihat jelas dalam pembentukan Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) Summa. NU melakukan penafsiran ulang dan kontekstualisasi terhadap konsep-konsep fikih klasik yang berkenaan dengan masalah "riba" dan juga tentang kebolehan bekerjasama (ta'awwun) dengan pihak non muslim dalam pandangan sosial ekonomi umat Islam.

Sedangkan Muhammadiyah pada pihak lain, meskipun pada dasarnya juga sangat adaptif dan akomodatif terhadap institusi modern tetapi pada tingkat ideology keagamaannya adalah revivalis, karena orientasi yang kuat dalam paham keagamaannya kepada Salafisme. Paradigma ideologi Muhammadiyah adalah kembali kepada Islam pristine, Islam yang murni sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Penjelasan dan argumen dari para ahli lainpun bermunculan seperti Sayyed Hosein Nasr yang memberikan penjelasan terhadap esensi Islam tradisional yang dianut NU. Menurutnya istilah "tradisi" sebagaimana digunakan kaum tradisionalis sendiri mengacu kepada wahyu Allah swt dan pengejawantahan wahyu tersebut dalam kehidupan historis manusia di lingkungan tertentu.
Karena itu tradisi mencakup 3 aspek penting; pertama, al-Din dalam pengertian seluas-luasnya yang mencakup seluruh aspek agama dan ramifikasinya. Kedua, al-Sunnah yang terbentuk dan berkembang bersadarkan model-model sakral sehingga menjadi tradisi, dan ketiga, silsilah yaitu mata rantai yang menghubungkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran dalam dunia tradisional kepada yang maha awal. Singkatnya "tradisi" mengandung makna segala kebenaran sakral, abadi, kebijaksanaan perennial dan penerapannya yang terus menerus dari prinsip-prinsip yang abadi kepada berbagai kondisi ruang dan waktu.

Hal yang sama dikemukakan oleh Martin Van Bruinessen bahwa dalam memahami NU pertama-tama harus dipahami adalah apa yang dimaksud dengan istilah "tradisi". Menurutnya terdapat beberapa konsep kunci dalam Islam yang sering diterjemahkan sebagai "tradisi", yang terpenting di antaranya adalah hadis, sunnah, dan adat. Tetapi Martin beragumen tidak satupun di antara ketiga istilah itu yang bersifat co-extencive dengan "tradisionalisme" muslim.
Hadis yang secara sederhana berarti "berita" tetapi juga sering diterjemahkan sebagai "tradisi" adalah pernyataan yang dikaitkan dengan Nabi tentang berbagai tindakannya. Hadis tentu saja merupakan sumber doctrinal yang paling otoritatif bagi kaum muslim. Bahkan hadis memiliki dampak lebih besar dalam kehidupan mereka, karena hampir seluruh hal yang bersangkutan dengan keimanan dan ibadah harus lebih dahulu dirinci, dijelaskan dan diabsahkan hadis. Dengan demikian mereka sangat mementingkan hadis setidak-tidaknya dalam seluruh aspek keagamaan mereka.

Tetapi seperti yang dikemukakan Martin terdapat perbedaan di antara kaum tradisional dan kaum modernis reformis. Martin menyebut kedua kelompok ini dalam tarikan nafas yang sama dalam memberlakukan hadis. Kelompok modernis reformis tentu saja terkenal dengan slogannya yakni "kembali kepada Al-Qur'an dan hadis" dalam konteks terakhir yang mereka maksudkan adalah hadis shahih yakni hadis-hadis yang betul-betul telah teruji orientasinya, tidak mengandung kelemahan-kelemahan tertentu baik dari segi sanad maupun matan.

Sebaliknya kaum tradisionalis yang juga mengakui sangat pentingnya hadis-hadis sahih. Berdasarkan pada hasil survei yang dilakukan bahwa kebanyakan mereka menemukan hadis dalam bentuk yang sudah "diproses" yakni yang digunakan sebagai pendukung argumen-argumen fikih. Hal ini dilihat Martin sebagai inti (core) tradisionalisme NU, yakni lebih baik mengikuti ulama-ulama besar di masa silam daripada mengambil kesimpulan-kesimpulan sendiri berdasarkan Al-Qur'an dan hadis.

Dari uraian ini Azyumardi menyimpulkan bahwa kaum tradisionalis khususnya NU cenderung menerima hadis secara relatif longgar karena itu tidak terlalu kritis atau tidak sangat mempersoalkan tentang apakah hadis yang mereka terima itu banar-benar merupakan hadis shahih atau dha'if khusus dari segi sanadnya. Bagi mereka, kelihatannya yang lebih penting adalah matan atau substansi hadis, apalagi jika hadis tersebut dipandang dapat mendorong mereka kepada fadha'il amal, keutamaan dan kesempurnaan amal ibadah. Pengadopsian hadis seperti itulah yang menjadikan ibadah kaum tradisionalis lebih "berbunga-bunga" penuh dengan tambahan-tambahan yang oleh kaum modern reformis disebut sebagai bid'ah karena semata-mata berlandaskan pada hadis-hadis yang lemah.

Sebaliknya kaum modernis seperti dikemukakan sebelumnya memperlakukan hadis ekstra hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah otensitas atau kemurnian hadis terutama dari segi sanadnya. Mereka bisa menerima hanya hadis-hadis sahih sanadnya dan sebaliknya menolak hadis-hadis dha'if yakni cacat sanadnya meski matannya dapat mendorong ke arah apa yang disebut kaum tradisionalis sebagai "fadha'il al-amal". Konsekuensinya, ibadah-ibadah kaum modernis reformis cenderung tidak berbunga-bunga dengan kata lain cenderung sangat "bersahanja" dan karena itu agaknya "kering" dari pengalaman keberagamaan yang intens.
Kaum modernis dan reformis seperti diketahui tentu saja menekankan ijtihad dan menolak keras apa yang mereka sebut sebagai "taklid buta" yakni mengikuti saja pendapat ulama masa lampau tanpa pemikiran kritis. Bagi mereka, sikap taklid merupakan salah satu sebab pokok kemunduran Islam dan kaum muslimin. Karena itu jika kaum muslimin ingin maju maka harus meninggalkan sikap taklid buta dan sebaliknya mengembangkan ijtihad, berpikir secara independen untuk menghasilkan rumusan-rumusan baru yang lebih sesuai sesungguhnya tuntutan dan kebutuhan zaman.

Apakah sikap taklid itu betul-betul rigid dan tidak memberi peluang sama sekali bagi intervensi akal sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum modernis reformis ? Lagi-lagi Martin mengemukakan argumen yang provokatif bahwa taklid tidak harus berarti kaku (rigid). Berkenaan dengan kesediaan kaum tradisionalis untuk mengakomodasi berbagai pendapat yang berbeda dan inkonsisten dalam mazhab-mazhab fikih yang ada, terdapat potensi tertentu bagi pengembangan dan penyesuaian serta inilah yang sebenarnya terjadi dalam waktu akhir-akhir ini bahwa kaum ulama tradisionalis kelihatan lebih fleksibel dan longgar dalam meresponi berbagai masalah fiqhiyah dibandingkan dengan ulama-ulama modernis reformis. Di mana mereka lebih cenderung tidak berkembang, posisi mereka sekarang tetap sama dengan posisi yang mereka ambil sejak awal abad 20, ini adalah sebuah ironi.

D. Kiprah Politik NU dalam Dunia Pendidikan dan Politik
Sesuatu yang menarik untuk dicermati gagasan mengenai finalitas bentuk negara Indonesia justru dicetuskan oleh NU. Organisasi yang telah dikenal dengan identitas tradisionalnya. Pengakuan terhadap negara RI sebagai sebuah bentuk final dan sistem kenegaraan yang sah.
Demikan pula perubahan NU dari organisasi yang berwatak tradisional radikal menjadi organisasi sosial keagamaan yang mempelopori penerimaan asas tunggal Pancasila menjadi catatan tersendiri dalam sejarah hubungan NU dengan negara, hal ini karena pada dasawarsa 1970-an, NU tampil sebagai unsur PPP yang paling keras mengkritik kebijaksanaan pemerintah.

Perubahan tingkah laku politik tersebut yang tidak jarang melahirkan cap oportunis (politik elastis) karena diilhami oleh ideologi Sunni yang dianut NU. Dalam hal ini aspek normatif pendirian NU adalah pencapaian kemashlahatan umat, dasar inilah yang menjadi pijakan dalam menjalankan roda organisasi. Perilaku-perilaku riil NU yang tampak unik dan controversial pada dasarnya berangkat dari prinsip tersebut.
Sejak dikendalikan Abdurrahman Wahid, NU seolah memasuki era baru. Apalagi dengan mengamati dinamika generasi muda NU masa kini, terlihat semacam pergeseran pemahaman yang bisa dipertimbangkan untuk meninjau ulang identitas tradisional pada NU. Semangat kritisisme, egaliter, universal, inklusif dan liberal sangat kental dalam pemikiran kaum muda NU. Mereka tidak segan-segan mengadopsi paham Mu'tazilah, mengelaborasi doktrin Khawarij serta memperhitungkan paham Syi'aisme bahkan mereka sangat antusias terhadap wacana filsafat Barat dan pemikiran Islam kini.

Kendati NU dicap sebagai lambang tradisionalis akan memperjuangkan citra ketradisionalan yang kental dengan ajaran Islam, namun perannya di panggung sejarah pergerakan kemerdekaan sangatlah besar bahkan dapat mengalahkan partai politik seperti PKI. Pada saat NU terlibat dalam politik praktis telah mengantarkan tokoh-tokohnya terlibat langsung dalam mewarnai corak Islam pada peri kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjuangan NU di bidang politik kenegaraan juga tidak ketinggalan, ulama-ulama NU banyak yang merasa terpanggil untuk aktif dalam pemerintahan. Pada masa pendudukan Jepang para Kyai NU membentuk Hizbullah semacam unit militer bagi pemuda Islam yang bergerak memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Slogan mereka yang terkenal adalah "hidup mulia atau mati syahid".
Sampai saat ini peran NU tidak diragukan lagi dalam pergumulan modernitas politik kenegaraan dan ini menjadi cerminan tentang mencuatnya akar tradisionalisme dalam percaturan besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran-peran vital yang dimainkan oleh tokoh-tokoh NU secara modern tidak kalah dengan para tokoh-tokoh yang lebih dahulu dianggap berhaluan modern. Sehingga menempatkan NU sebagai bagian integral secara luas dalam proses pergulatan pemikiran Islam di Indonesia.

-----------------


BAB III
P E N U T U P
Kesimpulan
Setiap pergerakan yang hadir tidak pernah terlepas dari gejolak situasi sosial yang melingkupinya. Seperti halnya NU, hadir sebagai sebuah pergerakan dengan berbagai kapasitasnya. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, setidaknya sejak negeri ini berdiri, kesadaran semacam itu telah mengental di kalangan umat Islam. Sebab disadari bahwa agama pada dasarnya mempunyai peran strategis dalam mengembangkan etika sosial, ekonomi dan politik. Persoalan kemudian adalah, apakah proses artikulasi nilai-nilai Islam yang mesti diperjuangkan itu perlu melibatkan institusionalisasi agama dalam praksis sosial-politik yang bersifat formalistik atau tidak?

Tidak dipungkiri bahwa perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia tidak lepas dari peran strategis umat Islam yang memang mayoritas. Dalam hal ini, keterlibatan NU sebagai sebuah organisasi besar Islam di Indonesia tidak dapat disangkal. Basis pesantren sebagai jalur pengembangan pendidikan merupakan wadah yang sekaligus menjadi basis generasi NU ke depan.
-----------------
DAFTAR PUSTAKA

Anshariy, Suardi. The Role of Muslim Gramps in Contemporary Nationalisme Thesis MC Gill Canada, 1999.
Azra, Azyumardi. Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Bruinessen, Martin Van. Pesantren and Kitab Kuning; Maintenance and Continuation of a tradition of Religious Learning. Jakarta: Mizan, 1992.
Dhofier, Zamakhsyari. K.H. Hasyim Asy'ari; Penggalang Islam Tradisional. Cet. I; Jakarta: Prisma, 1984
____________. Tradisi Pesantren. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1982.
Feillard, Andre. Islam at Armee dans L'indonesie Contemporaine. Diterjemahkan oleh Lesmana dengan judul NU; Vis-à-vis Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 1999
Ismail, Faisal. Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Cet. I; Jakrta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI., 2004.
Ida, Laode dan Tanthowi Jauhari, Gusdur di antara Kebersihan dan Kenestapaan. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Khaidar, M. Ali. Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia Pendekatan Fiqhi Dalam Politik (Disertesi) untuk memenuhi tugas, guna memperoleh Gelar Doktor Ilmu Agama Islam di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam untuk Aksi. Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998.
Lapidus, Ira. M. A History of Islamic Societies. Diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas'adi dengan judul Sejarah Sosial Umat Islam, Bag. III. Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Erlangga, 1992
Nasr, Sayyed Hossein. Tradisional Islam in The Modern Word. London Dan New York: Kegan Paul Internasional, 1990.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1924. Cet. VIII; Jakarta: LP3S, 1996.
Pasha, Mustafa Kamal. dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif dan Ideologi. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rahardjo, Dawam. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi. Cet. I; Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Shaleh, Imam Anshori. NU Lepas dari Kemelut. Cet. I; Yogyakarta: Lukman Offset, 1986.
Syaukani, Ahmad. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam. Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Thaba, Abdul. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Wahid, Marzuki (at.al), Geger di Republik NU. Jakarta: LAPERSDAM NU, 1999.


Read More
Published Januari 17, 2012 by with 1 comment

MUHAMMADIYAH (Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan)


Pendahuluan
Pada awal Abad ke 20 dikenal sebagai masa kebangkitan nasional di Indonesia ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan nasional bangsa Indonesia yang menjelma dalam bentuk organisasi. Hal ini tampak tatkala didirikan “Budi Utoma” pada tahun 1908 oleh Dr. Sutomo, dan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi serta Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Amin Rais mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang merupakan suatu fenomena modern. Ciri kemoderenan dari organisasi ini menurutnya ada tiga hal pokok; Pertama bentuk gerakannya yang terorganisir, kedua aktivitas pendidikannya yang mengacu pada model sekolah modern untuk ukuran zamannya dan ketiga pendekatan teknologi yang digunakan dalam mengembangkan aktivitas organisasi terutama amal usahanya. Selanjutnya Nur Ahmad mengatakan bahwa Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai fenomena baru dari wajah Islam abad ke 20 yang kemudian melahirkan modernisme Islam Indonesia.

Adapun Deliar Noer mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah salah sebuah organisasi Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai pada era sekarang ini.
Dari pernyataan-pernyataan para ilmuan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan organisasi sosial keagamaan modern dalam Islam.
Disinyalir bahwa organisasi Sarekat Dagang Islam lahir didirikan oleh sekelompok santri untuk memainkan peranan dalam bidang perdagangan dan politik. Kehadiran Muhammadiyah yang notabene dirintis juga oleh kaum santri yang memegang sebahagian besar tanggung jawab umat dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Lahirnya berbagai organisasi di atas sudah barang tentu berfungsi sebagai suatu langkah yang diambil untuk merespon tuntutan zaman demi kepentingan masyarakat muslim.

Namun demikian Muhammadiyah dalam kurun waktu perjalanan sejarah hampir 1 abad lamanya sejak didirikannya pada tahun 1912 sampai saat ini kenyataannya membuktikan bahwa apa yang telah dirintis sebagai hal baru di masa lalu dengan penuh susah payah kini telah menjadi milik masyarakat umum, bahkan organisasi ini, kini ternyata dilanda gejala pengaburan eksistensi. Ia kini tidak banyak dikenal orang, dengan kata lain eksistensinya hanya dirasakan oleh sebahagian pengurus dan para anggotanya. Sementara di luar komunitas secara bersamaan maupun berurutan, umat kini dalam kondisi kritis menanti jawaban Muhammadiyah terutama realitas pemikiran dalam menghadapi tantangan baru.
Permasalahannya adalah bagaimana eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan modernis dalam Islam atau gerakan sosial keagamaan, yang dinamis dan realistis di tengah-tengah perubahan masyarakat modern? Pertanyaan yang problematika tersebut muncul sebagai cerminan akan keprihatinan masyarakat terhadap ketidak berdayaan organisasi Islam alam mengantisipasi berbagai persoalan umat sebagai tanggung jawab moril dan struktural

Tinjauan Historis Lahirnya Muhammadiyah
A. Latar belakang
Peranan K.H. Ahmad Dahlan cukup jelas, ia mendirikan organisasi persyarikatan Muhammadiyah tanggal 8 Dzulhijah 1330 H atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Sebagai gerakan Islam di dalam diri persyerikatan tersebut dititipkan amanah pembaharuan masyarakat, bangsanya berdasarkan cita-cita Islam.
Ketika Muhammadiyah didirikan umat Islam berada dibawah belenggu cengkraman penjajahan, kebekuan pemikiran keagamaan, rendahnya mutu pendidikan terlebih lagi jika dibandingkan dengan dunia pendidikan umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial dan yayasan Katolik / Protestan. Dalam bidang pelayanan sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo dan lain sebagainya mengalami nasib yang sama. Belum lagi situasi umum umat Islam yang sangat mengkhawatirkan seperti kebodohan, Keterbelakangan dan kemiskinan.
Dalam situasi tersebut di atas, muncullah ide untuk mendirikan suatu persyarikatan guna merespon tantangan Zaman tersebut dalam wujud pendirian sebuah “organisasi” yang menampakkan ciri khas model gerakan pembaruan keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia merupakan pioner, di samping sarekat Islam (SI).

Dalam bahasa HAMKA (1908-1981) ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan ini pertama Keterbelakangan dan kebodohan umat Islam di Indonesia pada semua aspek kehidupan, kedua kondisi kemiskinan yang parah yang dialami oleh umat Islam, Ketiga kondisi pendidikan Islam yang sudah amat kuno seperti yang telihat dalam pesantren.
Sedangkan Mustafa Kamal Pasyha mengatakan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini yakni faktor subyektif dan faktor obyektif.
Pertama : Faktor subyektif yakni hasil dari perenungan, penelaahan, pembahasan dan pengkajian yang mendalam Ahmad Dahlan terhadap al-Quran
Kedua : Faktor obyektif yang bersifat internal yakni ketidak murnian amalan umat Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an an Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebahagian besar umat Islam, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam ketika itu belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengembang misi selaku khalifah Allah di atas bumi.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal yakni semakin meningkatknya gerakan kristenisasi di Indonesia. Penetrasi bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia khusunya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia
Hadirnya Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, lepas pengaruh paham Modernisme Islam Timur Tengah yang dipelopori oleh ulama Cendikiawan Mesir “ Muhammad Abduh”
Muhammad Abduh secara khusus berpandangan bahwa kaum muslimin dapat bersatu hanya dengan mengikuti prinsip-prinsip Islam yang benar dan meninggalkan bid’ah dan khurafat-khurafat yang umumnya dianggap sebagai bagian integral agama. Selanjutnya berpendapat bahwa cara paling tepat untuk menjawab tantangan barat adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan masyarakat Islam sambil memegang teguh sumber-sumber Islam yang asli.
Juga tatkala pentingnya adalah adanya pertentangan internal masyarakat Jawa, dimana paling tidak ada dua kelompok yang bersemberangan yaitu “Priyayi” (muslim) yang dangkal tingkat komitmen keislamannya di satu pihak, dan kaum “santri” di pihak lain.

Sebagai keturunan kaum muslim santri, Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh di lingkungan yang religius tempat ortodaksi Islam tengah menghadapi ancaman serius Jawa-Hindu. Saat berdirinya Budi Utomo, Dahlan menyaksikan kuatnya Islam singkritis melalui kebangkitan kebudayaan priyayi. Dengan melihat kondisi seperti ini Ahmad Dahlan merasa terpanggil dan tertantang untuk bertindak segera melawan gelombang ini. Bagi Ahmad Dahlan tidak ada pilihan kecuali mendirikan organisasi yang dapat membebaskan Islam Jawa dari kebudayaan lokal dengan demikian dapat dipahami bahwa lahirnya Muhammadiyah merupakan respon logis terhadap “Ketidakmurnian” yang telah lama berakar dalam masyarakat Jawa yang dikembangkan oleh Priyayi.

B. Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di kampung kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis ayahnya adalah K.H. Abu Bakar, seorang khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama sitti Aminah putri K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta. Singkatnya bahwa Muh Darwis baik dari pihak ayahnya maupun pihak ibunya adalah keturunan ulama.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Kauman khususnya ketika itu tersebar pendapat umum bahwa barang siapa memasuki sekolah gubernuran dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah.

Selanjutnya ia menambah berbagai ilmu pengetahuan agama dari para ulama yang kenamaan di yogyakarta. Kemudian atas ajaran ayah bundahnya Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1890 M. Selanjutnya memanfaatkan kesempatan bersilaturrahmi dengan para ulama yang telah ditunjukkan oleh ayahnya di samping itu ia menerima berbagai ilmu pengetahuan di Masjid Haram. Ketika berguru pada ulama Mazhab Syafi’i Sayyid Bakri Shyanta dan mendapat Ijazah nama K.H Ahmad Dahlan. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1891 M. selain berganti nama juga bertambah ilmunya. Selain nama K.H. Ahmad Dahlan juga mendapat gelar khatib amin, setelah kembali dari tanah suci yang kedua kalinya ia disibukkan oleh berbagai kegiatan seperti berdakwah, mengajar, berdiskusi bahkan melibatkan diri pada organisasi yang telah ada seperti Budi Uotomo. Al-Hasil puncak dari pada usaha K. H. Ahmad Dahlan didirikanlah organisasi “Muhammadiyah” dengan harapan para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw.

C. Makan dari Nama Muhammadiyah
Secara etimologi Muhammadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama nabi dan rasul Allah yang terakhir. Kemudian mendapat “Ya Nisabah” yang artinya menjelaskan. Jadi Muhammadiyah berarti Umat Muhammad saw atau pengikut Muhammad saw yaitu semua orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Secara terminologi Muhammadiyah ialah gerakan Islam, dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam dan bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. di kota Yogyakarta dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya “Izzatul Islam wal Muslimin” kejayaan Islam sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.

D. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan organisasi ini telah mengalami beberapa kali amandemen, baik dari redaksional, susunan bahasa dan perubahan istilah. Pada mula berdirinya, rumusan maksud dan tujuannya adalah : Pertama menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putra, dalam residen Yogyakarta, memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Kemudian setelah organisasi ini melebar ke luar Yogyakarta, maka rumusannya disempurnakan menjadi. Pertama; meningkatkan dan mengembangkan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda. Kedua; memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam, kepada sekutu-sekutunya
Dalam perkembangan selanjutnya sebagai mana kita lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah Bab II pasal 2 sebagai berikut : Maksud dan Tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga tujuan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Prospek Muhammadiyah Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan
Eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dapat dilihat dari dua hal yaitu : 1. Ciri khas Muhammadiyah sebagai gerakan. 2. Esensi yang menjadi sifat strategi gerakannya.
Perjalanan sejarah panjang persyariktan Muhammadiyah memperlihatkan ciri khasnya yang menjadi identitas dari hakikat atau jati dirinya

1. Ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah pertama; Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, kedua; Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, ketiga; Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berarti segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah baik dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, kerumah tanggaan, perekonomian dsb tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Tegasnya kedepan gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dan wujud yang riel, konkrit dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar’ berkiprah ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai model usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak, semacam berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kanak-kanak hingga perguruan Tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, seluruh amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi atau perwujudan dakwah Islamiyah dengan niat dan tujuan yang tangguh, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sebagai pemurni ajaran Islam dari berbagai penyimpangan seperti; syrik, khurafat, bid’ah dan taqlid, yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang….. Tajdid yang dikenalkan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebagai pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah yang melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dan kehidupan masyarakat…
Untuk membedakan antara keduanya adalah “Tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (Purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation)

2. Esensi dari Kepribadian Muhammadiyah Terletak Pada Sepuluh Sifat yang dimilikinya
Pertama; Muhammadiyah beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Kedua; Memperbanyak kawan dan mengamalkan dakwah Islamiyah. Ketiga; Lapang dada dan luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat; Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Kelima; Mengindahkan segala hukum undang-undang peraturan, serta dasar dan Falsafah negara. Keenam; Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi corak teladan sesuai dengan ajaran Islam. Ketujuh; Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud Islah pembangunan sesuai dengan ajaran Islam Kedelapan; Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan ilmu serta membela kepentingannya. Kesembilan; membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain di dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah. Kesepuluh; Bersifat adil dan kreatif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Baik ciri perjuangan Muhammadiyah maupun esensi yang menjadi sifat strategisnya sebagai gerakan merupakan senjata yang paling ampuh dalam menghadapi tantangan di masyarakat baik dalam sejarah maupun dimasa yang akan datang. Muhammadiyah tetap eksis sebagai gerakan sosial keagamaan dihadapan setumpuk persoalan.

Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang cukup dan bermanfaat bagi pembinaan individu maupun sosial. Misalnya dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan program ini dalam skala yang besar dengan sistem yang berbeda dengan sistem yang dianut oleh pesantren pada masa lalu. Sementara telah ada institusi pendidikan yang dikelola oleh misionaris yang pada umumnya terletak di perkotaan dengan manajemen yang dianggap modern pada saat itu. Persoalannya ialah masih layakkah pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan kini sebagai gerakan reformasi.

Sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, Muhammadiyah akan senantiasa terlibat dengan setiap wacana masalah keumatan (kerakyatan), isu demokratisasi, Hak Asasi dan pemberdayaan rakyat serta gender. Setelah itu muncul kritik sistemik, krisis moral, korupsi dan lingkungan hidup, yang akan menjadi persoalan krusial, dihadapan Muhammadiyah sebagai organisasi yang didedikasikannya untuk keumatan harus merespon kenyataan tersebut. Persolannya ialah Mampukah Muhammadiyah kini untuk menjawab tantangan itu?
Berdasarkan paradigma Kontowijoyo, maka Muhammadiyah susah untuk merespon tantangan itu, Menurut Kontowijoyo, hal ini disebabkan oleh karena perspektif “Community development” Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas, oleh karena itu Muhammadiyah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Selama gerakannya belum pernah didasarkan pada elaborasi yang mendalam tentang realitas sosial yang obyektif. Gerakannya masih didasarkan atas kesadaran subyektif-normantik.
Misalnya, Muhammadiyah selama ini tampaknya masih belum bisa menerjemahkan siapa yang dimaksud dengan kaum Dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin dalam konteks sosial yang empiris. Keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial belum didasarkan pada kesadaran obyektif-empiris, namun didasarkan pada kesadaran subyektif normatif.
Adalah menjadi tugas ijtihad gerakan-gerakan pembaharu semacam Muhammadiyah untuk mulai membangun Islam dalam realitas obyektif. Di samping untuk terus memperjuangkan Islam dalam konteks kesadaran subyektif, kita berupaya memperjuangkan Islam dalam realitas obyektifnya.
Dalam konteks ini, memperjuangkan Islam dalam realitas obyektif adalah menata sistem-sistem sosial masyarakat Islam. Dalam artian, kita harus menerjemahkan Islam pada tataran empiris. Misalnya bagaimana mengimplementasikan konsep-konsep normatif tentang siapa yang dimaksud dengan kaum dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin pada formulasinya yang obyektif dan empiris. Implementasi ini akan membantu dalam memberikan panduan tentang bagaimana peranan mereka dalam sistem ekonomi, sosial, birokrasi, dan sebagainya. Tanpa obyektivitas semacam ini, umat Islam akan mengalami spilit existence- dalam realitas subyektif ia Muslim tapi pada saat yang sama ia tidak mampu mempertahankan kemuslimannya pada dunia obyektif.

Berbagai realitas yang dapat dikemukakan untuk memperjelas fenomena melemahnya daya antisipasi terhadap perubahan-perubahan adalah :
Kenyataan Pertama :berada pada perkembangan amal usaha Muhammadiyah; kenyataan kedua berhubungan dengan adopsi teknologi dalam arti produk, dan kenyataan ketiga berkaitan dengan metode atau cara pengembangan organisasi.
Melemahnya daya antisipasi berikut berbagai gejala yang menampakkannya tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor penting, baik eksternal maupun internal. Pertama, terjadinya degradasi aspek pemikiran dalam tubuh Muhammadiyah sebagai suatu pemikiran. Kedua, sebagai jajaran persyarikatan maupun amal usaha lebih terpaku pada rutinitas gerak, ketiga, melemahnya daya dukung ekonomi, dan keempat, sektor pengkaderan.
Jika hal ini tidak diatasi dengan baik, maka Muhammadiyah akan tenggelam dalam arus marginalisasi peranan. Agar jati diri Muhammadiyah sebagai pemekarsa pergerakan inovatif tetap eksis dan menjadi ormas yang berpengaruh di masa depan, maka ada beberapa persoalan yang ia harus rekonstruksi, yakni :
Pertama, merumuskan kembali “ideologi tajdid” yang menjadi jati dirinya, Ketika telah banyak lapangan Muhammadiyah tekad direbut oleh organisasi lain, maka Muhammadiyah harus merumuskan kembali corak tajdid sebagai bahan acuan yang membedakan Muhammadiyah dengan ormas keagamaan lainnya.
Kedua, menghilangkan kesenjangan antara potensi diri yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan tuntutan peranan yang harus dimainkan. Dalam konteks ini, kaderisasi, kepemimpinan adalah aspek yang paling memprihatinkan. Bukan saja kuantitas pimpinan mumpuni yang minim, tetapi juga kualitas pimpinannya juga tidak sepadan dengan tugas yang harus dijalankannya.
Ketiga, Penentuan proritas kegiatan Muhammadiyah telah menjadi organisasi yang sangat ambisius yang ingin mengerjakan begitu banyak bidang tetapi tidak didukung dengan sumber daya dan dana yang sepadan akibat tidak tegasnya dalam memilih lahan kegiatan.
Berbagai fenomena yang digambarkan di atas, baik yang berhubungan dengan kelemahan dan kekuatan Muhammadiyah, maupun yang berkaitan dengan peluang dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah, tentu saja belum menggambarkan keseluruhan persoalan. Masih diperlukan lagi upaya yang serius dan terus menerus untuk menganalisis berbagai fenomena serta mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Penutup / Kesimpulan
Kebutuhan manusia akan agama adalah kebutuhan manusia terhadap kemanusiaan itu sendiri . Islam yang memiliki ajaran sosial sebagai petunjuk, peringatan sekaligus penuntun kepada pencerahan kehidupan sosial. Di era ketika nilai kemanusiaan menjadi degradasi, persoalan kultural hingga struktural menjadi wacana yang memerlukan pemecahan dengan kecerdasan dalam upaya aktualisasi agama.
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan tak bisa menghindari dari respon-respon terhadap fenomena global. Maka dari itu, khittah perjuangan Muhammadiyah dan slogan-slogan yang telah “basi” perlu direkonstruksi ulang dalam direvitalisasi dalam rangka menghadapi tantangan tersebut.
Untuk mempertahankan citranya sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah harus menampilkan dirinya sebagai gerakan ilmu. Jika tidak, Muhammadiyah harus dengan rela melepaskan atribut gerakan tajdid agar beban mental dan psikologi sedikit berkurang, karena saat ini Muhammadiyah menjadi gerakan Islam “Biasa-biasa saja”



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Pendekatan Teologi: dalam memahami Muhammadiyah dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intellektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.

Ahmad, Nur dan Pornomo Tantowi(ed), Muhammadiyah “Digugat” Revosisi di tengah Indonesia yang Berubah. Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000.

Ali, A. Mukti, Alam Pikiran di Indonesia dan Modernisme Islamic Thought in Indonesian. Yayasan NIDA 1971.

Hamka, “K.H. Ahmad Dahlan” dalam Buku Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah. Jakarta 1952.

Kontowijoyo, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah Sebagai Gerakan Organisasi Sosial Keagamaan” dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.

Kusuma, Hadi, Dari Jamaluddin al-Afgani Sampai K.H. Ahmad Dahlan. Persatuan Yogayakarta, t.th.

Jainuri, A Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Keduapuluh Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Nashir, Haedar, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah.Cet. I; Yogyakarta: 2000.

Mulkan, Abdul Munir, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Cet. I; Yogyakarta: Persatuan, 1990.

Noer, Deliar The Modernisme Muslim Movement Indonesia 1900-1942, diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dengan judul Gerakan Modernisme dan Islam di Indonesia 1990-1942 (Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.

Pasyha, Mustafa Kamal, dan Muh. Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2000.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anggran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. Cet. I; PP. Muhammadiyah, 2000.

Rais, Amin, “Kata Pengantar” dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyosong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan 1995.

Shihab, Alwi, Memendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi Indonesia.Cet. I; Bandung: Mizan, 1998.

Sukardi dkk (ed)Embrio Cendikiawan Muhammadiyah. Cet. I; Jakarta : Perkasa 1995.

Read More