Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Published Oktober 23, 2012 by with 0 comment

Topik Bahasan Filsafat Pendidikan Islam


Strategi Perkuliahan
  1. Perkuliahan berlangsung dalam bentuk ceramah, seminar dan diskusi.
  2. Setiap mahasiswa berkewajiban menyajikan makalah ilmiah (research paper) sesuai topik di silabus mata kuliah ini.
  3. Makalah harus berpijak pada kajian ilmiah, bersifat analisis dan argumentatif berdasarkan telah literatur terkait.
  4. Makalah yang dipresentasikan dan diseminarkan hendaklah direvisi berdasarkan kritik dan saran yang berkembang di dalam seminar. Makalah tersebut diserahkan kepada Dosen pembimbing/pemandu pada minggu terakhir perkuliahan.
  5. Selain makalah, mahasiswa dibagi tugas meresume sebuah buku tentang filsafat pendidikan Islam.
Topik Bahasan
  1. Pengenalan awal filsafat Pendidikan Islam: Pengertian, Ruang Lingkup, dan Perkembangannya.
  2. Dasar-dasar pendidikan Islam: Al-Qur’an, Al-Hadis, Filosofis Yuridis Formal, Psikologis dan Sosiologis.
  3. Sumber-sumber Pendidikan Islam: Penalaran, Pengalaman, Intuisi, Ilham dan Wahyu.
  4. Pendidikan Islam Sebagai Ilmu: Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
  5. Fungsi-fungsi pendidikan Islam dalam hidup dan kehidupan manusia: Manusia memiliki fitri/potensi, manusia dapat/harus dididik dan dapat/harus mendidik.
  6. Pendidikan Islam dengan pandangan: Essensialisme, Ekssistensialisme, perennialisme, pragmatisme, dll.
  7. Pendidikan Islam dengan pandangan: Qadariah, Jabariah dan Asy’ariah.
  8. Pendidikan Islam dengan nilai-nilai dan budaya: Pewarisan nilai-nilai dan budaya.
  9. Tujuan manusia sebagai tujuan Pendidikan: Tujuan penciptaan manusia, dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan.
  10. Konsep Pendidikan Al Qabisi dan M. Rasyid Ridha: Koedukai dan Kurikulum.
  11. Konsep Pendidikan Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Al-Mawardi: Pendidik dan didik.
  12. Konsep Pendidikan Al Zarnuji dan Ibnu Taimiyah: Tujuan pendidikan dan metode pembelajaran
  13. Konsep Pendidikan Ibn Maskawaih dan ibnu Khaldun: Daya-daya dan kemampuan berfikir manusia, Pendidikan akhlak dan lingkungan pendidikan.
  14. Pengenbangan Filsafat Pendidikan Islam: Argumentasi dan Metodenya.
Read More
Published Mei 19, 2012 by with 4 comments

Filsafat Lembo Ade

Lembo Ade - Istilah yang satu ini hingga sekarang belum bisa saya artikan dengan bahasa Indonesia secara sempurna. Pada kesempatan ini saya coba uraikan pelan-pelan, dengan berbagai keadaan dan peristiwa penempatan "Lembo Ade" ini. Namun sebelumnya saya coba definisikan terlebih dahulu.
Secara Terminologi : Lembo ade terdiri dari dua kata yaitu lembo dan ade. Lembo diartikan lapang, luas, tinggi, besar, sabar, tawaddu. Sedangkan Ade diartikan hati, wibawa (kewibawaan).

Lembo ade dalam peristiwa dan keadaan:

  • Bermakna sabar, ketika menghadapi musibah atau mendapatkan cobaan-cabaan baik berat mau ringan-ringan saja. (contoh ungkapan: lembo ade arie, cinae, ndede waupa morini..)
  • Bermakna Semangat, ketika ingin meraih cita-cita, seperti melanjutkan pendidikan lebih tinggi, mengejar/mengadu nasib supaya lebih baik. Contoh ungkapan: (kalemboku ade lau tana'o, lao ngupa karawi mane'si berhasil")
  • Bermakna Doa, ada harapan keinginan sehingga akan kembali kepada sang Khalik (pencipta).

Kalembo ade, filsafat ini sangat sering terdengar bila tamu ke rumah, tuan rumah selalu katakan, setelah menghidangkan beraneka makanan: 'kalembo ade' mena, cina, ari, amancawa, dll. Atau, kalo ada yang ditimpa musibah, biasanya ditenangkan dengan kalimat : 'kalembo ade amancawa, kawarapu Ruma' (artinya: kalembo ade saudariku, ingatlah Allah). Atau, kalau kita mendapatkan bantuan or pertolongan, si penolong biasanya bilang : "kalembo ade amania" (kalembo ade saudaraku).

Tapi sebenarnya masih sulit juga mencari padanan artinya dalam bahasa Indonesia, kalau secara morfologinya ; kalembo ade,, lapangkan hati (kalembo=lapangkan,, ade=hati).. secara semantik mungkin lebih ke 'SABAR'. Nah keanehannya di sini,, kalo pas bertamu di kasih macam-macam, sampai2 si empunya sibuk nyari makanan apalagi yang bisa disuguhi buat si tamu. Dan, setelah semua pelayanan bwt tamu plus sikap ramah tamah, si empunya tetap bilang:"kaembo ade…kalembo ade…".

Catatan:
Pembaca sekalian, yang lebih paham filsafat "lembo ade", boleh sharing di sini.


Read More
Published Mei 09, 2012 by with 5 comments

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat Ilmu Pengetahuan - Bagi kehidupan manusia Pengetahuan sangat menentukkan dalam kaitannya dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Dari generasi ke generasi, manusuia memanfaatkan tradisi dan pengalaman sebagai pengetahuan dasar untuk memproduksi segala macam jenis kebutuhan sehari-hari.

Secara kodrat, dalam rangka mendapatkan pengetahuan yang khusus dan pasti itu diperlukan suatu metodologi khusus. Maksudnya diperlukan pendekatan, cara pandang, cara kerja dan sistem kerja tertentu. Fakta membuktikan bahwa manusia di dalam menghadapi objek ternyata tidak berkemampuan untuk memahami sekaligus isi materi yang terkandung di dalamnya. Objek sekecil atau sesederhana apapun, di dalam dirinya terkandung bagian-bagian dan jumlah jenisnya tidak dapat dihitung. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pengetahuan yang khusus, konkret dan pasti harus dilakukan secara bertahap. Beranjak dari sudut atau sisi tertentu beralih ke sudut atau sisi yang lain, dengan peralatan metoda dan sistem kerja yang sesuai. Itulah yang disebut Pengetahuan metodologis atau Ilmu, atau Ilmu Pengetahuan

A. ARTI ILMU PENGETAHUAN

Dalam konteks, sementara ahli menyebut “ilmu” dan sementara lainnya “ilmu pengetahuan”. Secara kefilsafatan, boleh jadi mana yang tepat “ilmu pengetahuan” ataukah “ilmu”, bukan masalah serius. Karena filsafat memandang bahwa ilmu adalah pengetahuan yang benar menurut cara pandang tertentu, metoda dan sistem tertentu. Jadi, jelas bahwa di dalam ilmu terkandung pengetahuan, tetapi tidak sebaliknya.

Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary : 1979, tertulis ada dua istilah, ‘knowledge’ dan ‘science’. Knowledge, menjelaskan tentang adanya hal sesuatu diperoleh secara biasa atau sehari-hari (regularly), melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi dsb. Science, di dalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematik, metodik, jadi ilmiyah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis (natural). Jadi terlihat jelas bahwa ada saling hubungan antara keduanya. Knowledge (pengetahuan) mempunyai cakupan lebih luas dan umum; sedangkan, Science (ilmu) mempunyai cakupan yang lebih sempit dan khusus dalam arti metodis, sistematis, dan ilmiah.

B. OBJEK ILMU PENGETAHUAN
Menurut penjelasan Webster, ada beberapa penekanan mengenai objek, seperti sesuatu yang dapat dilihat dan disentuh, dan diindra; sesuatu yang dapat disadari secara fisis atau mental; suatu tujuan akhir dari kegiatan atau usaha; suatu hal yang menjadi masalah pokok suatu penyelidikan.
Jadi dapatlah dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan objek adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan.

Macam-macam Objek
  • Objek Materi (material objek) = sasaran pokok penyelidikan berupa materi atau materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian.
  • Objek Forma (formal object) = menjelaskan pentingnya arti, posisi dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan.

C. METODE ILMU PENGETAHUAN
Metode adalah suatu proses atau prosedur yang sistematik berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik ilmiah, yang dipakai oleh suatu disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Jadi dapat dikatakan sebagai cara kerja ilmiah.
Sedangkan metodologi, adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode-metode, atauran-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan.
Jika dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus.

Dengan kata lain dapat dipahami bahwa, metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan-aturan dan patokan-patokan prosedur jalannya penyelidikan, yang menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Sedangkan metode adalah cara kerja dan langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menurut metodologi itu, untuk mencapai suatu tujuan yaitu kebenaran ilmiah.

6 langkah metode untuk memperoleh pengetahuan
  1. Keinsafan tentang adanya problema.
  2. Data yang relevan dan bersedia dikumpulkan.
  3. Data ditertibkan.
  4. Hipotesa dibentuk (diformulasikan).
  5. Deduksi dapat ditarik dari hipotesa, dan
  6. Verifikasi setelah analisis secara deduktif untuk sampai pada suatu kesimpulan.

D. SISTEM ILMU PENGETAHUAN
Sistem tertutup = sistem ini tidak memungkinkan bagi masuknya unsur-unsur baru ke dalamnya.
Sistem terbuka = sistem ini dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi masuknya unsur-unsur baru, agar dengan demikian memungkinkan bagi kelangsungan keberadaan adanya barang sesuatu.
Sistem alami = sistem ini memang sudah sejak semula merupakan suatu kesatuan yang utuh, dalam rangka tujuan yang telah pula ditentukan sejak semula.
Sistem buatan = sistem ini jelas merupakan hasil karya manusia. Hal ini diciptakan secara sengaja untuk memenuhi segala macam kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin kompleks, disebabkan oleh perkembangan kuantitas manusia itu sendiri.
Sistem berbentuk lingkaran =
Sistem berbentuk garis lurus =

E. KEBENARAN ILMIAH
Yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya, menurut norma-norma keilmuan. Adapun kebenaran yang pasti adalah mengenai suatu objek materi, yang diperoleh menurut objek forma tertentu, metoda dan sistem tertentu. Karena itu kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, tidak subjektif. Artinya terkandung di dalamnya sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.

SUMBER KEBENARAN
Di antara sekian banyak sumber, ‘rasio’ dan ‘pengalaman indrawi’ merupakan sumber utama sekaligus sebagai ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan.
Sumber rasio lebih bersangkutan dengan objek-objek umum, abstrak dan non-fisis, sedangkan sumber pengalaman lebih bersangkutan dengan objek-objek yang khusus, konkret dan fisis. Kedua sumber itu di dalam filsafat dikenal “rasionalisme” dan “empirisme”

Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596 – 1650), dengan sikap keragu-raguannya terhadap segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, ia mencoba mencari kebenaran yang jelas, tegas dan pasti. Dan kebenaran itu ada pada ide yang disebut idea innatae (ide bawaan, terang benderang), yang hanya dapat ditangkap dengan akal pikiran. Dengan kegiatan berpikir inilah Descartes menemukan sesuatu yang pasti, jelas dan tegas yaitu keberadaan diri sendiri. (Cogito ergo sum). Empirisme dipelopori oleh John Locke (1632 – 1704) = pada mulanya rasio manusia itu bagaikan tabula rasa (as a white paper). Adapun seluruh isinya yang kemudian membentuk ide itu berasal dari pengalaman indrawi. Pancaindra menangkap data-data dan lalu tergambar di dalam rasio.

TEORI UNTUK MENGUKUR KEBENARAN ILMIAH
Teori Koheren / teori saling hubungan / teori konsistensi = kebenaran tergantung pada adanya saling hubungan secara tepat antara ide-ide yang sebelumnya telah diakui kebenarannya.
Teori Koresponden = jika suatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Teori Kegunaan = kebenaran bersangkutan secara langsung dengan manusia, maka wajarlah jika masalah kebenaran perlu dipandang dari nilai kegunaannya.

"SAYA BERPIKIR, MAKA SAYA ADA"

Read More
Published Mei 04, 2012 by with 1 comment

HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN

Hakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat Ilmu Pengetahuan - Di dalam konteks, keberadaan segala sesuatu selalu terikat oleh ruang dan waktu tertentu. Keterikatan secara positif seperti itu, mengakibatkan sesuatu eksis dalam kemajemukan jenis, sifat dan bentuk. Karena itu, antara satu dengan lain menjadi berbeda dan cenderung terpisah-pisah. Manusia misalnya, dalam konteks berada dalam ruang dan waktu terbatas, menjadi individu-individu yang berbeda-beda dan cenderung terpisah antara yang satu dengan yang lain.

Terdapat fakta eksistensial bahwa ilmu pengetahuan berkembang dari satu menjadi banyak (plural) dan selanjutnya bergerak ke arah penyatuan (singularisasi). Sudah menjadi pendapat umum, dikalangan ahli filsafat bahwa pada mulanya ilmu pengetahuan itu satu, yaitu Filsafat. Tetapi berkembang tuntutan untuk ditemukan niolai kebenaran objektif-positifistik menurut perbedaan objek materi dan forma (cara pandang), metoda dan sistem, maka kesatuan sifat filosofis ilmu pengetahuan perlu dikembangkan menjadi beraneka ragam dalam jenis, sifat dan bentuk teori.
 

Pluralitas ilmu pengetahuan:
  • Secara Horisontal (jenis objek materi), Ilmu pengetahuan alam, sosial-humaniora dan ketuhanan
  • Secara Vertikal (Objek formanya), ilmu pengetahuan bertaraf filofofis, teoritis, ilmu pengetahuan terapan

Tugas dan kewajiban Filsafat lebih terfokus pada pencarian dan menemukan titik-titik temu (Overlapped) dan pluralitas ilmu pengetahuan. Dari hasil temuannya itu, filsafat menyusun suatu sistem hubungan menyeluruh, sehingga terbentuk sebuah bangunan ilmu pengetahuan.

  1. Sistem hubungan interdiscipliner (kesamaan objek materi)
  2. Sistem hubungan multidiscipliner (kesatuan dari perbedaan objek materi)

Definisi
Arti Hakikat: Secara etimologis berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua hal meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu yaitu air. Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali pada air.

Hakikat dapat dipahami sebagai inti-sari, bisa pula berupa sifat-sifat umum dari pada hal sesuatu. Dipahami pula sebagai diri pribadi atau jati diri hal sesuatu.

Istilah-istilah dalam bahasa inggris seperti "substance" dan/atau "essence" yang keduanya menunjuk suatu “essential nature" atau ultimate nature of a thing. Jadi bisa pula dipahami sebagai inti dasar atau inti terdalam pada sesuatu.


Aristoteles, menyatakan bahwa setiap yang ada selalu berada dalam suatu cara disebut 10 kategori:

  1. Subtansi (dirinya sendiri)
  2. Quality (sifatnya sendiri)
  3. Quantity (Bentuknya sendiri)
  4. Relation (hubungan dengan hal lain)
  5. Action (tindakan tertentu)
  6. Passi (derita tertentu atas tindakannya)
  7. Space (ruang tertentu)
  8. Tempo (waktu tertentu)
  9. Situs (keadaan tertentu)
  10. Habitus (kebiasaan tertentu)

Jadi, hakikat adalah keseluruhan unsur yang secara mutlak berada di dalam saling berhubungan sehingga membentuk suatu kesatuan utuh-menyeluruh. Selanjutnya, pada taraf tertentu, keseluruhan unsur itu secara bersama-sama menentukan adanya barang atau sesuatu hal sebagaimana diri-pribadinya sendiri, bukan sesuatu hal yang lain.

Hakikat” dapat dikategorikan menjadi 3 hal:
  1. Hakikat Jenis (bersifat abstrak)
  2. Hakikat Pribadi (bersifat Potensial)
  3. Hakikat individual (bersifat kongkret)

Masalah Hakikat Jenis Ilmu Pengetahuan
Ontologi dari bahasa Yunani On berarti ada Ontos berarti keberadaan, sedangkan Logos berarti pemikiran
(pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya)

Menurut Lacey A.R., ontologi diartikan sebagai “a central part of metaphisic” (bagian sentral dari metafisika). Sedangkan metafisika diartikan sebagai “that which comes after “physics”,……the study of nature in general” (hal yang hadir setelah fisika, …. Studi umum mengenai alam).

Karakteristik ontologi

  1. Ontologi adalah studi tentang arti “ada” dan “berada”. Tentang ciri-ciri essensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak.
  2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalah arti seluas mungkin dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, essensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya.
  3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna dan keberadaan segala sesuatu mutlak bergantung kepadaNya.
  4. Ontologi adalahcCabang filsafat yang tenang status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata dan sebagainya.

Masalah Hakikat Pribadi Ilmu Pengetahuan
Epistemologi dari bahasa Yunani Episteme berarti pengetahua/ilmu pengetahuan, sedangkan Logos berarti pengetahuan ==> Epistemology berarti pengetahuan mengenai pengetahuan. Sering disebut “teori Pengetahuan”

Lacey menyatakan, persoalan sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahuai dan bagaimana cara mengetahuinya.

Teori kebenaran epistemologi
  1. Teori koheren. Dibangun berdasar hakikat pribadi rasional ilmu pengetahuan. Karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruang lingkup bertaraf abstrak ideal
  2. Teori koresponden. Dibangun berdasar hakikat empirik ilmu pengetahuan. --> dipandang dalam ruang lingkup bertaraf konkret realistik.
  3. Teori pragmatik. Dibangun berdasar baik hakikat rasional maupun empirik ilmu pengetahuan. --> kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkup dialektis rasional dan empirik. Akibatnya, ukuran kebenaran berstandar dua, dengan menekankan pada nilai kegunaan.

Aspek epistemologi ilmu pengetahuan adalah persoalan bagaimana menemukan kebenaran tentang suatu objek materi, melalui berbagai macam sudut pandang (objek forma), metoda dan sistem. Maka berkembanglah pula berbagai macam teori kebenaran. Sejauh mana perpedaan itu? Tetap terhubungkan dalam satu kesatuan objek (forma, metoda dan sistem).

Masalah Kakikat Individual Ilmu Pengetahuan
Etika berasal dari bahasa Yunani  “Ethikos” atau “ethos” berarti adat atau kebiasaan.
(berkembang menjadi ekuivalen dengan moralitas).


Etika sering diartikan dengan filsafat moral atau filsafat tingkah laku.
Tradisi filsafat membagi etika kedalam etika normatif dan kreatif (meta-etika?). Etika normatif, mempersoalkan pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar norma-norma konvensional sebagai petunjuk atau penuntun prilaku. Sedangkan kreatif, cenderung bersifat filosofis, pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar pada analisis kritis logis. Kedua kriteria ini dapat dijadikan pedoman, bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. Hanya menurut dasar hak dan kewajiban yang seharusnya, suatu perilaku baik dan benar.

Aspek ilmu pengetahuan adalah mengenai hakikat konkret individual ilmu pengetahuan. Seperti halnya manusia, barulah berfungsi ketika menjadi konkret individual, maka begitu juga halnya ilmu pengetahuan baru dapat difungsikan ketika teori-teori ilmiah dibangun menjadi sebuah sistem teknologi.

Atas dasar Potensi ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia seharusnya mampu dan mau untuk:
  • Mengutamakan prilaku adil dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam.
  • Mampu dan mau berprilaku adil terhadap sesama manusia.
  • Mampu dan mau bersikap adil terhadap diri sendiri.

Kesimpulan, bahwa dalam hal hakikat ilmu pengetahuan, terutama pada titik etika, memperingatkan kepada umat manusia untuk mulai sekarang memutar balik sikap dan perilaku kehidupannya kepada orientasi baru berupa “kembali ke azas kesebaban”. Berdasar pada azas ini, sikap dan perilaku manusia di tuntut untuk menomor-satukan kebetuhan hidup dan menomor-duakan keinginan hidup. Dengan pilar perilaku ini, sebagai makhluk, maka manusia mendapatkan kembali posisi dan perannya sebagai “pemimpin” (khalifatullah) kehidupan.

Sebagai pemimpin, manusia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dengan cara menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai rumah tinggal dari semua makhluk.

Dengan kepemimpinannya, manusia bukan lagi sebagai penguasa atas kehidupan ini, yang terbukti mengakibatkan pengrusakan terhadap lingkungan hidup dan moralitasnya sendiri.
Read More
Published Desember 19, 2011 by with 0 comment

Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance
2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.

B. Filsafat Ilmu Era Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.
Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.

C. Filsafat Ilmu Era Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme

D. Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 09, 2011 by with 0 comment

Tanggung Jawab Para Ilmuwan (Sosial, Politik, Moral dan Agama)

Dalam segi filsafat, nilai dari tanggung jawab itu dijadikan sebagai salah satu dari kriteriadari kepribadian (personality) seseorang.

Unsur-unsur tanggung jawab :
Dari segi filsafat, sesuatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh 3 unsur :
a.Kesadaran.
b.Kecintaan/kesukaan.
c.Keberanian.
1.kesadaran.
Sadar berisi pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari sesuatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Orang baru dapat dimintai tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang diperbuatnya.
2.kecintaan = love, affection
Cinta, suka menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. Sadar akan arti tanggung jawab.
3.keberanian. Courage, bravery
Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani disini, didorong oleh rasa keihklasan, tidak bersifat ragu-ragu dan takut kepada segala macam rintangan yang timbul sebagai konsekuensi dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka seorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan-pertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi tidak sembrono atau membabi buta.8
Menurut kamus ilmiah kata social berarti : kemasyarakatan, yang suka bergaul, santun.9

Politik
Politik berarti 1). Segala yang berkenaan dengan cara-cara dan kebijksanaan dalam mengatur negara dan masyarakat bangsa.10
Moral
1). Istilah moral bersal dari kata latin: Morale, yang berarti Costom, kebiasaan, adat istiadat. Tahu adat disebut bermoral, dan sebaliknya disebut immoral. Kelakuan yang tidak baik disebut a moral. Orang yang tahu adat, mengerti tertib sopan santun inilah yang disebut moralis.11
Agama
Agama menurut kamus ilmiah berarti suatu kepercayaan yang dianut oleh manusia dalam usahanya mencari hakekat dari hidupnya dan yang mengajarkan kepadanya tentang hubungannya dengan tuhan.12

B. Tanggung Jawab Para Ilmuan di Tinjau :
1. Bidang Sosial
Metode ilmu-ilmu social selalu melekat pada suatu bidang atau cabang sistim ilmu social tertentu. Pada mulanya, metode itu sangat dipengaruhi atau bahkan ditentukan ketika bidang atau cabang ilmu-ilmu social lahir. Tetapi kemudian mengalami perubahan dan perkembangan. Metode yang dipakai oleh ilmuan atau kelompok ilmuan juga dipengaruhi pada saat ilmu itu dipelajari atau diterapkan kemudian ditempat dan waktu lain, sebagai respon terhadap suatu perkembangan atau tuntutan perubahan social tertentu. Ilmu sosiologi sendiri baru pada masa revolusi industri, baik dieropa barat atau di amerika utara, pada awal abad 19. ilmuan-ilmuan Auguste Comte, Herbert Spencer, Lester Ward, emile Durkheim atau Max Weber, menulis buku-buku yang menjadi fondasi/fundamen sosiologi industri atau masa terbentuknya kapitalisme industri.13
Seorang ilmuan ilmu-ilmu social memualai tugas dan tanggung jawab dengan menemukan atau menggapai pengetahuan dengan melakukan formulasi teoritis yang kemudian harus diuji secara empiris. Kalau tidak data empiris yang dikumpulkan menrut cara-cara dan prosedur itu tertentu itu hanya ternyata mendukung formulasi teoritis yang telah disusun, maka formulasi itu kemudian berkembang atau dapat dikembangkan atau dapat dapat dikembangkan menjadi rumusan hasil pengetahuan yang didalamya terkandung teori ilmu social yang telah dibuktikan kebenarannya, yaitu kebenaran empiris.
Ada satu hal yang ikut memperkuat “kebenaran” ilmu pengetahuan social, yaitu citranya seperti ilmu kealaman dan hayat. Citra itu terealisasikan dengan memenuhi beberapa “keharusan”, yang secara etis netral si ilmuan harus memisahkan diri dari pandangan yang sifatnya pribadi atau memiliki pandangan yang impersonal sehingga dapat diperoleh apa yang disebut “objektifitas”, serta memenuhi segala persyaratan akurasitas dalam pengumpulan data.
Seorang ilmuan juga masih dituntut tanggung jawab sosialnya. Ia hanya diminta untuk menyatakan sikap terhadap suatu masalah masyarakat tempat ia hidup. Bahkan ada kalanya dituntut keterlibatannya dalam perubahan social guna mencapai tujuan tertentu. Jika tifak memiliki tanggung jawab social.
Masalah itu memang masih dan akan tetap merupakan kontroversi. Disatu pihak terdapat pandangan bahwa seorang ilmuan sejati harus tetap setia kepada fungsi alam ilmu pengetahuan “yang sebenarnya”, yaitu menyajikan dan menemukan kebenarannya ilmiah. Pemakaian hasil pemikiran dan penelitian itu sudah merupakan tanggung jawab yang lain, misalnya, negarawan, teknokrat, birograt, ruhaniawan atau agamawan, pengusaha, dan lain sebagainya yang selain ilmuan itu sendiri. sudah barang tentu seorang ilmuan dapat pindah profesi atau mengambil peranan yang lain sebagai konsumen atau pelaksana yang menerapkan hasil dan penelitian ilmiah dan dapat memenuhi tanggung jawab moral atau social yang dituntut oleh masyarakat. Tetapi, selama ia masih menjadi ilmuan, maka ketiga tanggung jawab saja yang mungkin disebut sebagai tanggung jawab ilmiah atau akademis yang bercirikan netralitas etis, objektifitas da disiplin dalam prosedur ilmiah.15

catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...
Read More
Published Agustus 16, 2011 by with 0 comment

Proses Berpikir Ilmiah

Manusia adalah makhluk berfikir yang membedakannya dengan makhluk lain dapat berfikir karena ia mempunyai akal
Akal adalah salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran. Berfikir dapat dibedakan dalam dua hal yakni berfikir secara alamiah dan berfikir secara ilmiah. Dalam berfikir alamiah akal tidak memerlukan metode, sarana dan proses tertentu, Sedangkan berfikir ilmiah diperlukan metode dan sarana berfikir yang sistematis. Tersedianya metode dan sarana yang memungkinkan dilakukannya proses penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan hal tersebut bersifat imperatif bagi sesorang ilmuan, Tanpa menguasai sarana dan proses ilmiah yang baik. Tak mungkin diwujudkan.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.

Metode secara etimologi berasal dari kata Yunani Meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi Metode ialah langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, tehnik atau jalan yang telah di rangcang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan humanistic, dan historis, atau pengetahuan filsafat dan ilmiah.
Kata metode dalam bahasa Inggris yaitu method yang berarti metode atau cara. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Metode ialah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan tidak cukup diperoleh melalui tradisi warisan budaya, yang kita terimah begitu saja secara fasik, melainkan harus melalui langkah-langkah yang sistematis.
Dikalangan cerdik-cendekia, makna metode masih sering dipersamakan dengan metodologi. Sesungguhnya dua konsep tersebut memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain. Metode merupakan langkah-langkah sistematis tang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu yang tidak direfleksikan atau diterima secara an sich
Metode lebih bersifat spesifik dan terapan, sedangkan metodologi merupakan bagian dari sistematika filsafat yang mengkaji cara-cara mendapatkan pengetahuan ilmiah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bah sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat di dalam mencapai maksud dan tujuan.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau pengembangan pengetahuan yang telah ada. Prosedur yang disebut dengan metode ilmiah tidak memiliki ketentuan yang pasti tentang jumlah, macam dan urutan langkahnya. Langkah-langkahnya semakin bervariasi dalam ilmu pengetahuan sesuai bidang spesifikasi semakin banyak. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa macam metode ilmiah yan digunakan tergantung pada ilmu khusus tersebut, khusunya bersangkutan dengan obyek formalnya. Berdasarkan langkah-langkah yang dimaksud dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, Jujun S Suriasumantri menjelaskan cara kerja ilmiah dengan mengemukakan enam langka atau metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan yaitu : 1). Keinsyafan tentang adanya problema 2). Data yang relevan dan tersedia dikumpulkan 3). Data ditertibkan 4). Hipotesa dibentuk (Diformulasikan ) 5). Deduksidapat ditarik dari hipotesa 6) Verifikasi setelah analisa untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Langkah Pertama, yaitu kesadaran akan adanya problema, adalah penting sekali. Karena hanya dengan demikian suatu pemikiran dan penyelidikan itu mungkin untuk diawali. Dalam hal ini kemampuan untuk melukiskan problema secara jelas dan benar dalam suatu defenisi adalah penting.
Langkah kedua, mengenai pengumpulan data yang relevan, juga memerlukan kesabaran dan lebih-lebih kemampuan untuk menguji data apakah faktual atau tidak. Pada persoalan yang sulit, untuk mendapatkan data yang demikian memerlukan pemikiran dan penyelidikan yang seksama, dan tidak aneh jika memerlukan waktu bertahun-tahun.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...
Read More
Published Juli 11, 2011 by with 0 comment

Monisme dan Pluralisme Kebenaran dalam perspektif Islam

A.Monisme dan Pluralisme Agama
Beragama adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Itu berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama, boleh jadi sampai menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum roh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu.
Dalam perjalanan manusia mencari agama sebagai suatu kebutuhan, telah menemukan berbagai macam keyakinan atau agama karena didasari oleh perbedaan tingkat pengetahuan. Sehingga tidak jarang ada yang mempertuhankan hati nuraninya, nafsunya, budayanya dan adapula yang mempertuhankan zat yang tak terbatas sebagai tuhan dari tuhan-tuhan yang lain. Akibatnya melahirkan pluralitas agama yang merupakan problem yang cukup rumit. Agama di suatu sisi menekankan kebenaran yang absolut, tetapi disisi lain jumlah agama itu banyak. Setiap agama mengaku ajarannyalah yang paling benar dari sekian agama yang ada.
Masalah monisme dan pluralisme agama kini turut mewarnai diskursus (wacana) tentang Islam. Secara ontologis, monisme berpendapat bahwa hanya ada satu kebenaran yang keberlakuannya universal. Dalam kenyataan empiris, tampak aneka budaya, pandangann hidup dan agama yang dianut adalah satu-satunya kebenaran, sedangkan budaya dan agama lain bersifat inferior. Pandangan monisme lebih tajam bila menyangkut keyakinan agama dibanding budaya, karena agama lebih solid berakar dalam lubuk jiwa seseorang.
Dalam Islam, pandangan monisme mewarnai keyakinan umumnya umat Islam. Islam diyakini sebagai satu-satunya agama yang haq, satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT. Firman Allah pada Q.S. Ali Imran (3): 19.
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ...
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam..."

Dengan demikian agama lain dipandang sebagai penyelewengan dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Pandangan monisme dalam Islam dibedakan, yaitu:
1.Monisme modernis; Memandang Islam sebagai agama lengkap (self sufficien of Islam) pada tataran norma dan ajaran dasar. Tetapi pada tataran konstruksi praktis, Islam terbuka terhadap konsep luar dan perubahan-perubahan konstruktif, karena itu tidak anti barat. Monisme moderat, misalnya pada sejumlah tokoh pembaharu, seperti Muhammad Abduh dan Thaha Husain dari Mesir, Allai al-Fazi dari Maroko, Abd. Aziz al-Thalabi dari Tunisia, Abd.Hamid al-Badis dari Aljazair dan sebagainya. Meskipun kaum modernis cukup terbuka, tetapi dalam hal yang prinsipil mereka juga eksklusif.
2.Monisme Revivalisme; Memandang Islam sebagai agama lengkap, tidak saja pada level norma-norma dan ajaran dasar tatapi juga pada level tatanan struktural bahkan sampai pada konstruksi dunia praktis (sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya). Pemikir-pemikir Islam yang berhaluan revivalistik, misalnya Muhammad Abd. Wahhab (Revivalisme Klasik). Di abad 20 muncul revivalisme baru tokohnya seperti, Abu A’la al-Maududi, Syeed Amir Ali dan sebagainya.

Dalam sejarah teologi Islam, dalam pemaparan pahamnya, relatif menganut paham monisme revivalistik yang menganggap golongan selainnya adalah sesat bahkan kafir. Aliran yang tidak memberikan tempat kepada aliran lain yaitu Mu’tazilah, yang oleh khalifah al-Ma’mun memaksakan penganut aliran lain untuk menjalankan paham mu’tazilahnya. Pemaksaan paham ini populer dengan istilah al-Mihnah.

B.Monisme dan Pluralisme Kebenaran dalam Perspektif
Islam adalah agama rahmatan lil ālamīn, membawa kedamaian dan kesejukan bagi seluruh makhluk, membawa pencerahan-pencerahan terhadap umat manusia. Idealnya, ketika Islam disebut sebagai agama rahmat, ia akan tampil sebagai agama yang rahmah terhadap pemeluknya dan juga umat-umat yang lain. Namun realitas menunjukkan bahwa Islam tidak tidak mampu menampakkan identitasnya yang sebenarnya. Apakah islam tidak mampu menjadi solusi bagi setiap persoalan ? ataukah pemeluk-pemeluknya yang cenderung memaknai Islam sedemikian sempit ?
Muhammad Arkoun melalui konsep nalar kritiknya, memandang bahwa penampakkan Islam yang tak begitu ramah disebabkan oleh pemeluknya yang cenderung mendogmakan hasil refleksi Al-Qur’an dan sunnah atau membawanya pada wilayah yang tak terpikirkan. Menurutnya ada dua bentuk nalar Islam yang tak terpikirkan;
1.Nalar ortodoks, yaitu nalar yang dihasilkan untuk memberi legitimasi terhadap praktek yang ada untuk kelangsungan suatu tradisi. Ortodokisme memandang bahwa pendapat merekalah yang dianggap benar. Dewasa ini, paham tersebut tampil dalam bentuk Islam ideologi yang melahirkan Islam militan dengan gerakan fundamentalisme Islam. Kaum fundamentalis bersifat eksklusif terhadap pemikiran luar baik dari Islam terlebih dari luar.
2.Nalar klasik, adalah hasil pemikiran yang didasarkan pada mazhab tertentu dengan merujuk pemikiran Islam klasik. Nalar ini lebih merujuk pada tradisi pemikiran masa lalu dengan bersikap apriori terhadap pemikiran lain yang telah disesuaikan dengan tuntunan zaman. Nalar Islam klasik lebih mengaitkan diri dengan mazhab tertentu yang selanjutnya diidentikkan dengan Islam. Sehingga kalau dikritik berarti mengeritik Islam. Dengan demikian hasil pemikiran keagamaan berada dalam wilayah tak terpikirkan lagi, karena dipandang ampuh membawa umat Islam dalam menjalani hidupnya.
Kedua nalar di atas, menggiring Islam ke dalam ideologi. Islam sebagai ideologi akan sangat berbeda bila Islam dipandang sebagai sebuah agama. Sebagai agama, Islam akan tetap merupakan prespektif terbuka yang memungkinkan munculnya nalar-nalar baru untuk diaktualisasikan dalam kehidupan manusia sejalan dengan arus perubahan zaman, tetapi bila Islam sebagai ideologi, maka Islam akan ditampilkan sebagai sebuah institusi yang kaku dan dogmatik.
Menurut Arkoun nalar tersebut di atas perlu dikritik. Tujuan Arkoun ingin memisahkan antara yang Ilahy dengan yang manusiawi, yang absolut dan yang relatif. Karena membaurkan kedua hal tersebut adalah anarki. Ia menginginkan agar merelatifkan kebenaran yang diperoleh sebagai hasil refleksi terhadap Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, kebenaran menjadi plural yang diperoleh seseorang atau sekelompok intelektual muslim. Walaupun kebenaran itu relatif, tetapi mempunyai nilai guna dalam jangka waktu tertentu dan tempat tertentu. Pada keadaan demikian pula, kebenaran selalu terbuka terhadap kritik dan revisi.
Dengan demikian, Islam akan menampakkan wajahnya sebagai agama yang menjunjung tinggi pluralitas agama, suku, bangsa dan ras, yang terbingkai dalam persatuan dan kesatuan. Rasulullah bersabda:
اَلأَنْبِيَاءُ اِخْوَةٌ لِعَلاَّتِ. ( اُمَّهَاتٌ مُتَعَدِّدَاتٌ ) دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَاُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى
Para Nabi adalah anak dari ibu-ibu yang berbeda, agama mereka semua satu dan ibu mereka lain-lain. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).

Allah berfirman:
يَااَيُّهَا النَّاسُ إِنَّاخَلَقْنكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَاُنْثىَوَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبَا وَقَبَائِلَ لتَِعَارَفُوْا...
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...

Kedua dalil di atas, cukup mewakili untuk menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas, sehingga kita tidak lagi memandang perbedaan sebagai titik komflik.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

Read More
Published Juni 17, 2011 by with 0 comment

Peranan Ilmu dalam memajukan Kebudayaan Nasional

A. Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam mengahasilakan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian pula ilmu yang bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secar umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya mencakup dua kriteria utama yakni, petama, berpikir ilmiah harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis, kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada sedangkan persyaratan kedua mengaharuskan kita untuk menerima pernyataan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yanhg benar secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannya ini kemudian memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis dan kumulatif. Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja pernyataan yang sekarang logis kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru atau pernyataan yang sekarang didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuan baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan.

B. Ilmu sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar, atau secarah lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan. Artinya dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak, maka seorang ilmuan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu. Hal ini sering menempatkan kaum ilmuan dalam posisi yang bertentangan dengan pihak yang berkuasa yang mungkin mempunyai kriteria kebenaran yang lain. Kriteria ilmuan yang politikus dalam membuat pernyataan adalah bebeda seperti yang dinyatakan ahli fisika Szilard: jika seorang ilmuan mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya apakah yang dinyatakan itu mengandung kebenaran atau tidak. Sebaliknya jika seorang politikus mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya, “mengapa ia mengatakan hal itu?”, dan baru kemudian, atau bahkan mungkin juga tidak, mereka mempertanyakan apakah pernyataan itu mengandung kebenaan.

C. Nilai-nilai ilmiah dan pengembangan kebudayaan nasional
Sampailah kita kepada tujuh nilai yang terpancar dari hakekat keilmuan yakni kritis, rasinal, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal. Di manakah peranan ketujuh nilai tersebut dalam pengembangan kebudayaan nasional?
Dalam pembentukan karakter bangsa, sekiranya bangsa Indonesia bertujuan menjadi bangsa yang modern, maka ketujuh sifat tersebut akan konsisten sekali. Bangsa yang modern akan menghadapi berbagai permasalahan dalam berbagai bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/tehnologi, pendidikan dan lain-lain yang membutuhkan cara pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis, obyektif dan terbuka. Sedang sifat menjunjung kebenaran dan pengabdian universal akan merupakan faktor yang penting dalam pembinaan bangsa (nation building) di mana seorang lebih menitik beratkan kebenaran untuk kepentingan nasional dibandingkan kepentingan golongan. Bukan saja seni namun ilmu dalam hakekatnya yang murni bersifat mempersatukan.

D. Ke arah peningkatan keilmuan
Sekiranya dapat diterima bahwa ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional, maka masalahnya adalah bagaimana cara meningkatkan keilmuan dalam kehidupan kita. Mesti disadari bahwa keadaan masyarakat kita sekarang masih jauh dari tahap masyarakat yang berorientasi kepada ilmu. Bahkan dalam masyarakat yang telah terdidik pun ilmu masih merupakan koleksi teori-teori yang belum maksimal dalam aplikasinya.
Pada hakikatnya semua unsur kebudayaan harus diberi otonomi dalam menciptakan paradigmanya sendiri. Agar paradigma tersebut dapat berkembang dengan baik, maka membutuhkan dua syarat yakni kondisi rasionalitas dan kondisi psiko-sosial kelompok. Kondisi rasionalitas menyangkut dasar pikiran paradigma yang berkaitan dengan makna, hakikat dan relevansinya dengan masalahnya yang dihadapai. Sedangkan kondisi psiko-sosial menyangkut keterlibatan dan keterikatan semua anggota kelompok dalam mengembangkan dan melaksanakan paradigma tersebut.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya....
Read More
Published Juni 14, 2011 by with 0 comment

IBNU MISKAWAIH (Filsafat al-Nafs dan Filsafat Akhlak)

Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid terjadi kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya penerjemahan diutamakan pada buku-buku tentang ilmu kedokteran dan selanjutnya berkembang pada pengetahuan filsafat.
Sekitar tahun 750-850 M banyak bermunculan tokoh-tokoh dalam lapangan ilmu pengetahuan terutama mengenai ketabiban, astronomi, kimia, ilmu bintang, serta filsafat. Seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Miskawaih, kelima tokoh tersebut dengan tidak menafikan tokoh yang lain menjadi pembicaraan utama dalam filsafat. Zaman itu juga dikenal dengan masa penerjemahan. Namun demikian, banyak kalangan yang memperdebatkan antara filsafat Islam dengan filsafat yang bukan Islam. Bahkan ada yang tidak mengakui para filosof yang dipengaruhi oleh para filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, Galen dan lain-lain, karena dianggap mengerjakan doktrin yang bertentangan atau tidak selaras dengan pandangan-pandangan Islam yang diterima masyarakat umum sebagai filosof Muslim.
Filosof Muslim yang secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah Abu Bakar Muhammad Zakariah al-Razi dan Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. Meskipun masih ada filosof-filosof lain, seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan lain-lain, namun mereka lebih khusus terwakili oleh kedua filosof tersebut.

Nama lengkapknya adalah Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub Miskawaih, ia lahir dikota Rayy Iran pada tahun 320 H (932M). belaiu meningggal di Isfahan pada tahun 412 H (1030).
Ada dua pernyataan mengenai dirinya, pertama; benarkah dia seorang Majusi kemudian beralih masuk Islam, atau bukan tetapi kakeknya ?, kedua : sebutan manakah yang benar Miskawaih atau Ibn Miskawaih.
Yusuf Musa menolak pernyataan pertama dengan alasan, tidak mungkin ia seorang Majusi, kemudian masuk Islam, karena pemikirannya begitu luas seperti filosof-filosof lainnya. Barangkali yang benar kakeknyalah yang beragama Majusi kemudian masuk Islam. Dilihat dari namanya, Ahmad bin Muhammad ibn Ya’kub, dapat berpihak dari penolakan tersebut. Sedangkan menurut Ibrahim Zakiy yang mengarang kitab Dairah al-Ma’rifah Islamiyah, bahwa neneknyalah yang Majusi kemudian memeluk Islam. Adapun mengenai namanya tergantung pada keyakinan seseorang, penulis akan mengemukakan beberapa pendapat tentang sebutan nama Ibn Miskawaih.
M. M Syarif menyebutkan Miskawaih tanpa ibn. Menurutnya nama itu diambil dari kata misk yang berarti kasturi. Sedangkan menurut Musklim Ishak, Miskawaih atau Maskawaih adalah nama kakeknya.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

Read More
Published Mei 15, 2011 by with 0 comment

Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

1.Sekularisasi
Sekularisasi berasal dari kata sekuler yang diambil dari bahasa latin yaitu saeculum yang berarti satu abad atau lebih sedikit atau hal-hal yang berhubungan dengan saman sekarang atau keduniaan yang tidak tabu. Bukan religius atau kesucian yang berhubungan dengan hari kemudian. Istilah ini dapat pula berarti lokasi atau waktu, lokasi diartikan sebagai dunia sedangkan waktu diartkan sebagai masa sekarang atau kini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disamping diartikan sebagai yang bersifat dunia juga diartikan sebagai yang bersifat kebendaan dan bukan yang bersifat keagamaan atau kerohanian. Jadi sekularisasi itu sendiri adalah usaha-usaha atau proses yang menuju pada keadaan yang sekuler atau proses netralisasi dari setiap pengaruh agama dan hal-hal yang gaib atau hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.
2.Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan unsur-unsur agama dengan pemahaman nilai-nilai dan makna-makna serta tujuan hidup manusia menurut ajaran islam kedalam ilmu pengetahuan.
Farid Alatas mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan yaitu suatu ilmu yang merujuk kepada upaya mengeliminir unsur-unsur atau konsep-konsep pokok yang membentuk peradaban dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam unsur-unsur atau konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik. Doktrin humanisme dan tekanan kepadanya dan drama serta strategi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti inilah yang mengakibatkan ilmu yang tidak sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar keseluruh dunia. Setelah melewati proses di atas kedalam ilmu tersebut ditanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman.
Dengan demikian akan terbentuk ilmu yang benar yaitu ilmu yang sesuai dengan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman yang dimaksud adalah insan, din, ilm dan makrifah hikmah, adl, amal, adab dan sebaginya. Jadi islamisasi ilmu pengetahuan itu adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan kepada ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Atau dapat pula diungkapkan sebagai koreksi ilmu-ilmu modern oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Sebelum melangkah lebih jauh, sangatlah penting untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan. Saifuddin Anshari dalam bukunya mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem tentang kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum tentang hal ihkwal yang diselidikinya (alam manusia dan juga agama). Sejauh yang dapat dijangkau oleh daya pemikiran manusia yang dibantu menginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris riset dan eksperimental.
3.Ontologi
Ontologi ilmu yang membahas tentang apa yang ingin diketahui seberpa jauh kita ingin tahu atau pengkajian sesuatu yang ada. Dalam pengertian lain ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya.
4.Epistimologi
Epistimologi ialah ilmu yang membahas tentang bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan. Disebut pula teori pengetahuan (theory of knoledge). Dalam pengertian lain ialah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha meperoleh pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Mei 10, 2011 by with 1 comment

ISLAM DALAM STUDI BARAT (Telaah Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis)

1.Pengertian Orientalis.
Kata Orientalis berasal dari bahasa Romawi yaitu Orient berarti: timur. Oriental berarti: berkaitan atau terletak di Timur . Orientalis berarti : orang yang mempelajari masalah-masalah ketimuran.
Dalam Kamus Webster`s New World College Dictionary dijelaskan bahwa Orientalis adalah : pada umumnya Dihubungkan dengan orang-orang [menyangkut] timur atau studi tentang budaya dari timur.
Sedangkan menurut Dr. Moh Natsir Mahmud Orientalis adalah : sarjana barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, sastra, masalah lainnya yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran. Sedangkan orientalisme adalah suatu paham atau pandangan yang diciptakan oleh Barat menyangkut berbagai masalah dunia timur.
Karena yang menjadi obyek permasalahan dalam makalah ini adalah “Islam dalam Studi Barat (Orientalis)” maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Orientalis secara ontologis adalah: orang-orang atau sarjana barat yang mengkaji Islam, dengan tidak melihat Islam sebagai pandangan hidup “way of life” tapi melihat Islam sebagai "obyek studi".
Islam menjadi salah satu obyek penelitian (studi) Orientalis yang penting karena Islam menjadi salah satu kekuatan di dunia timur. Tulisan-tulisan mereka tentang Islam telah menimbulkan tanggapan atau kritik dari sarjana muslim atau sarjana barat.
Kritik yang sering dilontarkan kepada kaum Orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka hanya terbatas pada aspek “eksternalitas” (lahiriyah ) dari agama. Mereka tidak memahami wilayah “internal” (Bathiniyah) dari pada agama yang teliti.
2. Metode Pendekatan Barat (Orientalis) dalam Studi Islam
Menurut telaah filsafat ilmu, agama sebagai obyek penelitian “pure science” dan agama sebagai pedoman hidup atau amalan-amalan praktis “applied science” selalu akan ada jarak. Dan dalam wilayah “pure science”lah bentuk studi kritis yang digeluti oleh barat (Orientalis).
Dalam telaah epistemologis “pure Science” merupakan landasan yang dilakukan barat (Orientalis) dalam mengkaji Islam. Namun dalam pengkajiannya, mereka melakukan beberapa metode pendekatan.
Pemahaman terhadap metode yang digunakan Barat (Orientalis) dalam studi Islam adalah salah satu faktor yang amat penting dalam melakukan dialog konstruktif terhadap mereka, sebab metode yang mereka gunakan akan mewarnai alur pikir dan turut menentukan konseptualisasi dan kesimpulan yang dihasilkan.
Untuk mengikuti alur pikir mereka dalam mengkaji Islam, Maka akan diuraikan secara singkat, metode pendekatan yang dilakukan barat dalam studi Islam
a. Pendekatan Historisme
Dalam bahasa Indonesia Histori berarti sejarah. Istilah “History” dan “Historicm” mempunyai konotasi yang berbeda. Istilah historicism berasal dari makna history yang berasal dari bahasa Yunani artinya: mempelajari.
Sejarah atau histori adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa itu.
Abad ke-19 merupakan abad dimana pendekatan sejarah mewarnai hampir seluruh kajian ilmiah, sehingga pendekatan historis banyak mewarnai tulisan barat (Orientalis) tentang Islam. Pendekatan Historis yang paling ekstrim adalah historisme.
Historisme berpendapat bahwa segala sesuatu di alam ini selalu dalam hubungan waktu, tempat, konteks, atau lingkungan, dan segala yang ada di dunia ini harus di lacak asal usulnya dalam dunia itu sendiri. Tidak sesuatu bernilai transenden, tetapi segala sudah menyejarah.
Pendapat historisme di atas, seringkali tidak sejalan dengan ajaran Islam, karena Barat (Orientalis) ingin melihat cikal bakal Islam lahir atau sebagai produk dari situasi lingkungan sosial budaya dan agama-agama sebelum Islam.
Pendapat di atas, telah di dukung oleh beberapa tulisan-tulisan Orientalis yang mendeskreditkan Islam diantaranya pendapat Dr. Hitti mengatakan bahwa :
Sumber-Sumber al-Qur’an adalah orang-orang kafir, Kristen, Yahudi dan Arab. Hijaz sendiri terdiri dari beberapa wilayah Yahudi walau tidak ada satu pun wilayah Kristen, tetapi disitu terdapat sejumlah budak dan pedagang Kristen. Wilayah itu dikelilingi oleh berbagai pusat periabadatan di mana gagasan Kristen bisa terserap ke dalamnya. Nabi Muhammad memiliki dua orang budak dari habsyi (Ethopiah) yaitu mauzzin beliau bilal dan anak angkat beliau dieblakang hari zaid. Beliau juga mempunyai seorang istri beragama Kristen Mariyah al-Qabtiyyah dan seorang istri beragama Yahudi, Safiyah keturunan dari salah satu suku Yahudi di Madinah yang beliau taklukan

Pendapat Dr. Hitti di atas, di dukung oleh Ahrens dan Julius Welhausen yang dikutip oleh Dr. Moh Natsir Mahmud mengatakan bahwa : Agama Kristen di Mekkah amat berpengaruh sehingga memberi inspirasi bagi Muhammad dalam menyusun konsep ajaran agamanya. Agama Kristen yang berasal dari selatan Arab banyak menetap di Mekkah dan cukup berpengaruh sehingga mewarnai ajaran Nabi Muhammad.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...
Read More
Published April 10, 2011 by with 0 comment

Pemikiran Filsafat Ikhwan Al Shafa

Memasuki Masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yang dikenal sebagai zaman keemasan Islam, perkembangan pemikiran dalam Islam mengalami percepatan. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai ilmuan pada berbagai disiplin keilmuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya. Hal ini antara lain didukung oleh kebijaksanaan khalifah yang memberi fasilitas berupa lembaga bayt al-Hikmah yang berfungsi sebagai lembaga ilmu pengetahuan tempat transfer dan alih bahasa ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Salah satu disiplin ilmu yang banyak diminati oleh ilmuan muslim saat itu ialah filsafat.
Filsafat Islam yang merupakan hasil dari kontak Islam dengan filsafat Yunani ini setelah masuk ke dalam Dunia Islam di antaranya ada yang tetap mempertahankan tradisi Yunaninya, misalnya filsafat paripatetik yang merupakan sintesis ajaran wahyu –Aristotelianism – Neoplatonism, dan filsafat Hermatico Pitagorean. Salah satu aliran pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah perkembangan pemikiran filsafat Islam ialah Ikhwân al-shafâ. Aliran ini memiliki karakteristik tersendiri yang membeda-kannya dari aliran pemikiran yang lain, baik yang muncul sebelum maupun sesudahnya.
Makalah ini secara khusus akan mengungkap aspek displin ilmu keislaman tradisional yang telah dijelaskan di atas, yaitu Hubb Pemikiran filsafat Ikhwân al-Shâfa’.


A. Asal-Usul dan Karya-Karyanya
Sejak berdirinya Bani Buwayhi (334-447H) dunia pemikiran umat Islam khususnya yang beraliran Sunni memasuki masa suram. Gerakan pemikiran selanjutnya beralih ke dunia Syi’ah. Di tengah kondisi seperti itu muncul satu aliran religio-politik yang menamakan dirinya Ikhwân al-Shafâ’,
Ikhwân al-Shafâ’ yang berarti persaudaraan suci muncul di Basrah sekitar pertengahan abad keempat Hijriyah (abad ke-10 M.). dan memiliki cabang di Baghdad. Disebut juga Khullân al-Wafâ’, Ahl al-‘Adl, Abnâ al-Hamd atau dengan singkatan Ikhwânunâ atau Awliyâ Allah. Dalam literatur asing non-Arab, Ikhwân al-Shafâ’ kadang ditulis dengan nama aslinya, kadang juga diterjemahkan dengan Brethen of Purity, atau Pure Brethen , atau Brethren of Sincerity.
Mayoritas sejarahwan menganggap kelompok ini sebagai pengikut sekte Syi’ah Ismailiyah. Hal ini nampak dari tulisan-tulisan mereka yang menunjukkan kecenderungannya kepada Syi’ah Ismailiyah. Namun beberapa lama kemudian mereka kemudian keluar karena mereka tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam kegiatan propaganda politik.
Mereka tidak puas dengan sikap para penguasa dan ulama yang mereka anggap telah meracuni pikiran rakyat dan menuduh para filosof sebagai penganut bid’ah yang mengakibatkan kebekuan beragama, munculnya sikap fanatism, dan fatalism. Kehadiran kelompok ini didasari oleh semangat keinginan membersihkan dan mensucikan agama dari kejahilan dan kesesatan . Usaha yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut ialah filsafat, sebab filsafat merupakan satu-satumnya jalan yang menghimpun himmah i’tiqadiyah dan maslahat ijtihadiyah. Menurut Browne, yang dikutip Hassan Ibrahim Hassan, pemikiran filsofis mereka meneruskan tradisi Mu’tazilah khususnya yang berkaitan dengan pemaduan agama (syari’ah) dan ilmu pengetahuan dan filsaf Yunani dan unifikasi kebudayaan dan peradaban Islam. Ide mereka memadukan agama dan filsafat logis sebab pengalaman sejarah filsafat membuktikan bahwa perpaduan antara agama dan filsafat pada titik tertentu akan mengantarkan kepada kesempurnaan.
Karena sifat gerakan mereka yang sangat rahasia maka pelaksanaan pertemuan dilaksanakan secara berkala dan rekrutmen anggotapun dilakukan dengan sangat ketat, setiap anggota harus merahasiakan identitasnya sehingga terkadang sesama mereka tidak saling mengenal. Kehidupan antara anggota sangat bersifat communal dan fraternal.
Anggota yang direkrut setelah melalui seleksi yang ketat, selanjutnya diklasifikasi menjadi empat kategori sebagai berikut :
1. Al-Abrâr al-ruhamâ’, yaitu mereka yang suci lahir dan batin dalam menaggapi sesuatu dalam berfikir dan mendalami sesuatu ilmu. Kelompok ini antara umur 15-30 tahun.
2. Al-Akhyâr al-Fudhalâ’, mereka mempunyai sifat lemah lembut dan menyayangi sesama manusia, berusia antara 30-40 tahun, terdiri dari para politisi.
3. Al-Fudhalâ’ al-Kirâm, mereka mempunyai kemampuan berjuang dengan penuh semangat kesederhanaan, berusia antara 40-50 tahun, dan mereka dianggap sebagai kuasa dari pelaksanaan hukum ilâhi
4. Martabat al-Kamâl, merupakan peringkat tertinggi, berusia di atas 50 tahun, dipandang telah mencapai ru’ya al-qalbu ilâ al-haqq (persepsi visual terhadap kebenaran) dan dekat dengan Tuhan.
Dari kelompok ini dikenal lima orang yang dianggap sebagai tokohnya, yaitu Abû Sulayman Muhamamd ibn Ma’syar al-Busty yang populer dengan nama al-Muqaddasy, Abû al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjany, Abû Ahmad al-Mihrajanî, al-Awfi, dan Zaid bin Rifâ’ah . Nama yang terkahir disebut-sebut sebagai ketua.
Pertemuan secara rutin dilakukan setiap 12 hari bertempat di rumah ketua perkumpulan. Dalam pertemuan tersebut mereka mendiskusikan masalah keilmuan yang mencakup filsafat dan etika. Dari diskusi yang intens tersebut mereka koleksi sehingga menghasilkan karya yang merupakan khazanah peninggalan mereka yaitu Rasâil Ikhwân al-Shafâ wa Khullân al-Wafâ’
Rasâil Ikhwân al-Shafâ’ sumbernya selain dari hasil diskusi mereka, juga mendasarkannya pada empat jenis masâdir, yaitu:
1. Karya para hukamâ’ dan filosof mencakup matematika dan ilmu eksakta.
2. Kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi terdahulu, seperti Injil, Tawrât dan al-Furqân, termasuk suhuf para nabi yang maknanya bersumber pada wahyu
3. Kitab-kitab tentang yang disusun berdasarkan anomali kosmos.
4. Kitab Jawâhir al-Nufûs yaitu kitab ilâhiyah yang tidak tersentuh kecuali oleh insan yang suci.
Rasâil Ikhwân al-Shafâ’ yang tersebut di atas mendapat penghargaan yang cukup tinggi khususnya bagi sekte Syi’ah Isma’iliyah, bahkan menganggapnya sebagai al-Qur’ân setelah al-Qur’ân , karena dianggap sebagai hasil karya sekte mereka dan dinilai sebagai karya esoterik.

B. Pemikiran Filsafatnya
Pemikiran filsafat Ikhwân al-Shafâ’ dapat ditelusuri hanya melalui Rasâil mereka yang berjumlah 52. Rasâil untuk pertama kali diterbitkan secara lengkap di Bombay-India tahun 1887-1889, kemudian diedit oleh al-Zirikhli dan diterbitkan di Cairo (1928), kemudian di Beirut (1957). Berdasarkan materinya dapat diklasifikasi sebagai berikut :
a. 14 risâlah tentang matematika dan yang berkaitan dengannya
b. 17 risâlah tentang ilmu eksakta
c. 10 risâlah tentang psikologi
d. 11 risâlah tentang metafisika.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Februari 13, 2011 by with 0 comment

IBN MISKAWAIH (Falsafat al-Nafs dan Falsafat al-Akhlaq)

Pemikiran mengenai filsafat masuk ke dunia Islam setelah terjadinya interaksi antara kebudayaan Islam dan non Islam, terutama bangsa Yunani. Pada masa daulah Bani Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid tahun 786 M, yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan sehingga ia sangat giat menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, buku yang diterjemahkan adalah buku yang mengenai kedokteran, ilmu pengetahuan dan filsafat serta buku-buku filsafat Aristoteles, Plato dan Gaelan.
Dari usaha yang digeluti oleh khalifah tersebut timbulah minat orang-orang Islam untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga bemunculanlah para cendekiawan dan filosof dikalangan umat Islam, seperti al-Kindi, al- Farabi, Ibn Sina, al-Razi dan Ibn Miskawaih yang mengenai filsafat al-Nafs dan filsafat al-Akhlaq.
Ibn Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof muslim sekaligus sebagai seorang cendekiawan muslim. Banyak ilmu yang dikuasai, tetapi ia sangat terkenal setelah ia mengarang buku di bidang akhlaq yang berjudul “Tahhdzibu Akhlaq wa Tahhir al-A’raq”.

1.Biografi Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada tanggal, 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari, dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.
Perihal kemajuannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya Ibn Miskawaih sendiri terlahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama Bapaknya, Muhammad.
Ia juga diduga beraliran Syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi pada al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-Muhallabi pada tahun 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn Al-Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray. Setelah Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaiki, ‘Adhud al-daulah. Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai Bendahawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.
2.Pemikirannya
a.Filsafat al Nafs (jiwa).
Adapun jiwa, menurut Ibn Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argumen, Ibn Miskawaih memajukan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan warna putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikan. Bahkan menurut beliau, kebahagian dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan bukanlah kelezatan hakiki.
Menurut ibn Miskawaih keberadaan jiwa dimaksudkan untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya ruh bagi manusia. Namun, ruh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi :
1)Indera, setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
2)Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
3)Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain, intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
4)Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
5)Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
6)Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Desember 12, 2010 by with 0 comment

Modernisme dan Pasca Modernisme Telaah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi

Kedatangan Renaisance pada pertengahan abad 15 merupakan tonggak dimulainya fase modern. Masa dimana masalah ketuhanan atau hal-hal yag bersifat metafisik tidak banyak diperhatikan, bahkan cenderung diabaikan. Perhatian mulai difokuskan kepada hal-hal yang berifat konkrit yaitu kepada alam, manusia, hidup kemasyarakatan dan kepada sejarah. Beberapa penemuan dihasilkan seperti halnya Nikolas Kopernikus (1473-1543), seorang tokoh Gereja Ortodoks menemukan teori bahwa matahari berada pada pusat jagat raya dan bumi mempunyai gerak. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) dengan menemukan hukum gerak bagi planet-planet. Selanjutnya datang Galileo Galilei yang dianggap sebagai pahlawan modernitas karena jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Kemajuan tersebut memuncak pada dua peristiwa yang kurang lebih terjadi secara simultan, yaitu revolusi industri di Inggris yang menimbulkan kemajuan pesat dalam berbagai bidang kehidupan dan revolusi Perancis yang telah membangun norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia dengan semboyan yang terkenal: Kebebasan, Keadilan dan Persaudaraan. Suasana ini terus berlangsung disertai rasa optimisme besar bahkan diyakini sebagai sesuatu yang dapat membawa keselamatan dan berkat. Akhirnya masyarakat terpaku dalam hegemoni (keunggulan) modernitas. Kehidupan menjadi selalu didekati dan diukur dengan kriteria-kriteria tehnik. Jecques Elluel menyebutnya dengan istilah “Kebudayaan Teknologi”. Hal ini sebagai konsekuensi logis terhadap pendewaan rasio manusia. Rasio diyakini dapat mengatasi semua pengalaman yang bersifat khusus dan menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak, universal, tak terkait dengan waktu bahkan rasio bisa pula menjadi agama baru bagi manusia.

Kata modern dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai mutakhir, terbaru, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman. Sedangkan kata Postmodernisme tersusun dari kata Post yang berarti sesudah atau setelah dan makna Modernism berarti sikap, tingkah laku yang modern. Senada dengan pernyataan tersebut diatas Sidney I Landaw mengemukakan makna Post: Prefix after in time or order; following,yaitu awalan kata yang bermakna setelah pada suatu waktu atau kemudian. Sedangkan modernisme: character of modern time, yang berarti karakteristik dari kemoderenan.
Akbar S. Ahmed yang mengutip dari Oxford English Dictionary mendefenisikan Modernisme adalah sebagai pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi dalam masalah keyakinan agama agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernisme juga diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya kepada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan.
Munculnya modernisme dipandang sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan hidup. Agama meskipun penting tetapi dipandang tidak lagi terdapat dalam dogma melalui wahyu. Agama sudah harus ditegakkan diatas prinsip rasio. Seiring dengan kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan rasio tersebut, pandangan empiris datang memperkokoh sehingga kedaulatan rasio-empiris menjadi intrumen pengetahuan dalam menghidupsuburkan sains dan teknologi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published November 16, 2010 by with 0 comment

Sifat Dasar dan Struktur Teori Ilmiah

Manusia adalah makhluk berfikir. Dikatakan demikian disebabkan diantara sekian banyak makhluk yang ada di dunia ini, hanyalah manusia yang diberikan akal sebagai sarana untuk berfikir.
Perjalanan hidup manusia dari bentuk yang paling sederhana senantiasa berinteraksi dan berdialektika dengan fenomena-fenomena alam sekitarnya yang turut -untuk tidak mengatakan sangat- mempengaruhi hidup mereka Kondisi ini telah memaksa manusia untuk melakukan penelitian serta eksperiman-eksperiman secara terus menerus dalam rangka memahami kenyataan alam itu.
Penelitian dan eksperimen-eksperimen manusia itu telah melahirkan berbagai macam bentuk kesimpulan yang kemudian dalam tahap perkembangan selanjutnya melahirkan sebuah teori. Teori-teori ini senantiasa berkembang, dan hal itu disebabkan oleh paling tidak beberapa hal termasuk adanya antara perbedaan pada setiap subjek peneliti dalam melihat dan memperlakukan objek, adanya relasi timbal balik diametris antara manusia dengan alam. Manusia memiliki akal untuk memikirkan alam ini yang kemudian melahirkan teori, dan dari teori ini manusia mengembankannya menjadi basis dari sistem terknologi mereka. Kehadiran teknologi telah merubah pola hidup manusia sekaligus juga memberikan pengaruh dan dampak terhadap alam. Perubahan alam akibat pengaruh dari teknologi itu kemudian menuntut pada lahirnya sebuah teori baru lagi yang kemungkinannya dapat menguatkan ataupun membatalkan teori sebelumnya.


Rumusan Masalah
Berdasar atas uraian di atas, maka melahirkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan teori ?
2. Bagaiana sifat dan struktur sebuah teori ?

Pengertian Teori Ilmiah.
Teori berasal dari bahasa dari bahasa Yunani yang secara etimologi berarti memandang, memperhatikan pertunjukan. Sedangkan secara terminologi teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai peristiwa, kejadian yang sebenarnya, serta bisa didefinisikan sebagai pendapat, cara atau aturan untuk melakukan sesuatu.
Teori menurut Jhonson yang dikutip oleh Imam Suprayogo adalah seperangkat pernyataan (dan definisi dari sistem klasifikasi) yang disusun secara sistematis. Kaum positivistik, seperti dikemukakan Rudner, teori adalah seperangkat pernyataan yang secara sistematis saling berkaitan. Sedang menurut Kerlinger adalah:
”A theory is a set of interrelated constructs (concept), definition, and propositins that present a systematic view of fhenomena by specifying relation among variables, with the purpose of explanation and predicting of the phenomena.

Di samping itu, teori dianggap juga sebagai seperangkat hubungan antara proposisi yang bersifat logis dan dapat diuji secara emperis. Teori tersebut berupa menyimpulkan generalisasi fakta-fakta, meramalkan gejala-gejala baru dan mengisi kekosongan pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori itu terdiri dari beberapa hal yaitu antra lain :
1. Ada gejala yang diamati
2. Pada gejala tersebut terjalin hubungan keterkaitan, logis dan sistematis
3. Ada generalisasi, analisis deduktif
4. Bersesuaian dengan realitas, dapat dibuktikan.
Sedangkan kata ilmiah itu terambil dari kata “ilmu” sehingga demikian kata ilmiah dimaknai sesuatu yang sesuai dengan metode dan prinsip keilmuan. Dan diantara prinsip ilmu itu antara lain: logis, sistematis dan dapat dibuktikan. Kesemua prinsip ini telah tercakup pada empat poin definisi di atas.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Juli 22, 2010 by with 0 comment

A L – K I N D I (Riwayat Hidup, Kesesuaian Antara Agama dan Filsafat, Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Jiwa atau al-Nafs)

Dalam sejarah Islam, penulisan filsafat yang sistematis baru dimulai pada abad ke-9, Sebelumnya kegiatan filosofis hanya berkisar pada penerjemahan karya-karya filsafat Yunani dan Suryani. Penulis yang pertama-tama merayakan tradisi penulisan filsafat adalah al-Kindi. Filosof ini mengaku keturunan kabilah Kindah ini, lahir di kota Kufah dan di kota itu, ayahnya menjabat Gubernur.
Awal mula pemikiran filsafat, seperti halnya penciptaan manusia, sama-sama melampaui perjalanan sejarah. Pemikiran merupakan ciri yang tidak bisa dipisahkan dari manusia, di mana pun ia menjejakkan kakinya. Pemikiran dan pemahaman senantiasa dibawanya. Oleh karena itu, tidak ada informasi secara pasti mengenai pemikiran-pemikiran yang tak tertulis oleh manusia, kecuali dugaan berdasarkan peninggalan yang ditemukan.
Di antara sekian banyak persoalan yang ingin diungkap oleh pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang “wujud”, awal dan akhirnya. Pada awalnya, pengetahuan tentang wujud ini, sejalan dengan pengetahuan keagamaan. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa pemikiran filosofis terkuno ada dalam pemikiran keagamaan Timur.

Berdasarkan uraian di atas, maka pemakalah akan merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Defenisi filsafat
2. Bagaimana riwayat hidup al-Kindi ?
3. Bagaimana pandangan al-Kindi tentang agama dan filsafat serta Tuhan dan al-nafs/jiwa. ?
A. Riwayat hidup al-Kindi
Nama lengkapnya al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak ibn al-Subbah Imran bin Ismail bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ia populer dengan sebutan al-Kindi. Ia lahir di Kufah (Iraq) sekitar 185 H. dan wafat tahum 260 H./873 M. orang tuanya adalah gubernur di Bashrah.
Setelah dewasa, ia ke Bagdad dan mendapat perlindungan dari khalifah al-Ma’mun (Daulah Abbasyiah) dan khalifah al-Mu’tasim. Neneknya bernama al-Asy’ats bin Qaish. Termasuk seorang sahabat Nabi yang paling pertama datang di kota Kufah.
Ketika al-Kindi sampai di Bagdad, ia sangat senang dengan suasana intelektual di sana. Ia menerjemahkan beberapa karya dan merevisi terjemahan orang lain, seperti teologi Aristoteles. Untuk mengalih bahasakan istilah-istilah filosofis dan ilmiah tertentu yang ia temukan dalam-karya-karya asing, ia menciptakan kata-kata baru dalam bahasa Arab. Seperti jirm untuk tubuh, thinah untuk materi al-tawahum untuk imajinasi dan lain-lain.
Sebagai penulis yang sangat produktif, ia menulis sekitar 270 dalam berbagai bidang ilmu yang dikenal pada masanya, seperti geometrik, musik, astronomi, parmakologi, meteorologi, kimia, kedokteran dan polomika. Ia juga menulis semua cabang ilmu filsafat, seperti logika, fisika, metafisika, psikologi dan etika.
Di dalam menulis karya-karya tersebut, pertama ia menjelaskan sejelas mungkin pandangan-pandangan para pendahulunya kemudian merivisi dan kemudian mengembangkannya sesuai dengan kepentingan-kepentingan baru.
Karya-karya al-Kindi yang berjumlah sekitar 270 buah, tersebar dibelahan dunia Islam, akan tetapi, banyak berupa risalah-risalah pendek dalam bidang filsafat, antara lain sebagai berikut:
1.Fi al-falsafah al-ula (filsafat pertama)
2.Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tulisan filosofis tentang rahasia spritual).
3.Risalah fi Hudud al-Asyya wa Rusumiha (defenisi benda-benda uraiannya)
4.Fi Ma’iyah al-Ilmu wa al-Aqsami (filsafat ilmu pengetahuan dan klasifikasiny).
Mengenai kematiannya tidak ada kepastian. L. Musognon mengatakan ia wafat sekitar 245 H. (860 M). C. Laninno menduga tahun wafat al-Kindi sekitar (w. 260 H/873 M). Adapun Mustafa Abdul Raziq mantan Rektor al-Azhar mengatakan tahun (252 H/866 M).
B. Kesesuaian antara Filsafat dan Agama
Masalah hubungan filsafat dan agama, menimbulkan masalah baru yang diperdebatkan pada zaman al-Kindi. Ahli-ahli agama pada umumnya menolak keabsahan ilmu filsafat, karena di antara produk pemikiran filsafat jelas menunjukkan pertentangan dengan ajaran al-Qur’an. Sebagai seorang filosof al-Kindi telah mengangkat dirinya sebagai pembela ilmu filsafat yang seharusnya tidak dipertentangkan dengan agama karena keduanya membawa kebenaran yang serupa.
Agama dan filsafat menurutnya adalah ilmu pengetahuan yang benar البحث عن الحق. Oleh karena itu, Al-Qur’an sebagai sebuah wahyu dari Allah tidak mungkin bahkan mustahil bertentangan kebenaran yang dihasilkan filsafat sebagai sebuah upaya maksimal dalam menggunakan akal untuk menemukan kebenaran. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat bukanlah merupakan pengingkaran terhadap kebenaran wahyu (al-Qur’an), dan teologi sebagai bagian dari filsafat, sangat penting untuk dipelajari.
Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran dan kebaikan segaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama di samping wahyu mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama menurut al-Kindi adalah Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat, maka orang tersebut menurut al-Kindi telah mengingkari kebenaran, menolaknya berarti ia “kafir” padahal kita harus menyambut kebenaran dari mana pun datangnya, sebab tiada yang lebih berharga bagi pencari kebenaran, kecuali kebenaran itu sendiri
Adanya golongan menolak filsafat atas dasar tidak mau menerima ta’wil, padahal menurut al-Kindi, itu tidak boleh dijadikan alasan sebab al-Qur’an adalah bahasa Arab dan bahasa Arab memilih 2 macam, pertama makna hakiki dan kedua adalah makna majazi, tentu saja yang dapat mena’wilkan al-Qur’an hanya orang yang mendalam agamanya dan ahli pikir.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka download lengkapnya...
Read More
Published April 20, 2010 by with 0 comment

AL-FARABI (Filsafat al-Faydh, al-Nafs dan al-Madinah al-Fadhilah)

Dalam sejarah dunia filsafat, Yunani merupakan tonggak pangkal munculnya pemikiran filsafat yang mulai tumbuh dan berkembang di beberapa kota. Pemikiran filosof itu kemudian masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir.
Budaya dan filsafat Yunani masuk ke negeri-negeri tersebut dengan adanya ekspansi Alexander yang agung yang dalam bahasa Arab disebut Iskandar Zulkarnain. Ekspansi tersebut terjadi pada abad ke-4 sebelum Masehi.
Setelah Alexander dapat menaklukkan negeri-negeri tersebut, ia kemudian membuat kebijaksanaan politik untuk menyatakan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia. Pengaruh kebijaksanaan tersebut meninggal-kan bekas yang besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya hingga kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexanderia di Mesir, Jundisapur di Mesopotamia dan Bacha di Persia.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani dalam dunia Islam belum nampak jelas sebab perhatian lebih dipusatkan pada kebudayaan Arab. Namun, setelah pemerintahan Bani Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Yunani nampak lebih jelas karena pada waktu itu orang-orang yang duduk di pemerintahan pusat bukan hanya dari kalangan Arab, tetapi juga orang-orang Persia yang banyak berkecimpung dengan budaya Yunani.

A. Biografi al-Farabi
Nama lengkapnya ialah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalgh. Di kalangan orang-orang Latin abad tengah, al-Farabi lebih dikenal dengan nama Abu Nashr (Abunaser),1 sementara di kalangan masyarakat Eropa ia lebih dikenal dengan al-Farabius, juga Avennaser.2 Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab (sekarang dikenal dengan kota Attar) Turkistan, dimana ia dilahirkan pada 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang jenderal berkebangsaan Iran, sementara ibunya berkebangsaan Turki.3
Sejak kecil al-Farabi sudah menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa terutama di bidang bahasa, khususnya bahasa Persia, Turkistan dan Kurdistan. Nampaknya, ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.4
Dalam usianya yang masih sangat muda, al-Farabi bersama ayahnya pergi ke Baghdad yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan. Pada mulanya, ia memusatkan perhatiannya di bidang logika dan tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) pada Abu Bakar al-Sarraj. Setelah itu, ia kemudian pindah ke Harran, lalu kembali lagi ke Baghdad untuk belajar filsafat. Di sana al-Farabi menetap selama kurang lebih 30 tahun. Waktu puluhan tahun itu digunakannya untuk belajar filsafat, matematika, kedokteran dan bahasa Arab, sekaligus mengajar dan menulis karya-karyanya.5
Pada 330 H/942 M al-Farabi pindah ke Damsyik karena mendapatkan undangan dari pemerintah Syi’i Hamdani, Sayf al-Dawlah dan tinggal bersama para pengikutnya serta beberapa rekannya di Halab (Aleppo) sampai akhir hayatnya pada 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.6
Al-Farabi adalah eksponen filsafat Neo-Platonis muslim yang dimulai oleh al-Kindi dan dilanjutkan kemudian oleh Ibnu Sina. Al-Farabi boleh dikatakan sebagai ensiklopedi hidup. George Sarton – sebagaimana yang dikutip oleh Jamil Ahmad – menulis, “Ia mengenal segenap pemikiran ilmiah pada zamannya”.7
Al-Farabi dianggap sebagai “hujjat al-mantiq” (ahli logika) dan guru besar dalam ilmu filsafat dan ilmu metafisika.8 Filsafat al-Farabi merupakan sinkretisme antara Platonisme, Aristotelisme dan Sufisme. Gagasannya di bidang ini mempunyai pengaruh yang sangat luas dan dalam. Menurut ‘Allamah ibn Khan, “Tidak ada seorang muslim pun yang bisa menyamai taraf ilmu filsafat al-Farabi, hanya dengan menelaah gagasannya dan meniru gaya tulisannya akhirnya Ibnu Sina bisa mencapai kemahiran dan kecerdasan yang menyebabkan karyanya sendiri berguna”.8 Disamping pada Ibnu Sina, pengaruh al-Farabi bisa diusut pada karya-karya pemikir dan pujangga Islam seperti Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, Fakhruddin Razi, Ibn Haytam, Ibn Miskawaih, Jalaluddin Rumi dan al-Ghazali.

B. Filsafatnya
Sebagai pembangun sistem filsafat, khususnya filsafat Islam,9 al-Farabi membaktikan diri untuk berfikir dan merenung, menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan kekisruhan masyarakat. Ia telah meninggalkan sejumlah risalah penting. Di samping murid-murid yang belajar secara langsung, banyak pula orang yang mempelajari karya-karyanya sepeninggalnya, bahkan menjadi pengikutnya. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi Barat dan Timur, lama sepeninggalnya.
Filsafat al-Farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda dengan para filosof lainnya. Ajaran-ajaran para filosof terdahulu diambilnya, lalu ia bangun kembali dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan kemudian disusunnya menjadi sedemikian sistematis dan selaras. Al-Farabi adalah seorang yang logis baik dalam pemikirannya, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya. Filsafatnya mungkin bertumpu pada beberapa perkiraan yang keliru dan mungkin juga berisi beberapa hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan modern, namun ia mempunyai peranan penting dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya. Berikut ini akan diuraikan secara singkat unsur-unsur penting filsafatnya.
1. Filsafat al-Faydh (emanasi)
Salah satu filsafat al-Farabi yang terkenal ialah filsafat al-faydh (emanasi)10 yang menyebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Teori ini membahas tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al-wujud (Tuhan). Hal itu karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.11 Dengan kata lain, Tuhan sebagai al-Maujud al-Awwal merupakan sebab pertama bagi segala yang ada.
Seperti halnya Plotinus, al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa, karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari zat Tuhan itu berbilang, berarti zat Tuhan itu pun berbilang. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila memikirkan sesuatu maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya sesuatu itu.12
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya), yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai zat yang menjadikan. Jadi, meski-pun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.13
Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah akal yang kedua. Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda langit terjauh (al-sama’ al-ula; al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi dari dua obyek pengetahun yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu benda langit dan jiwanya. Dari akal kedua timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) beserta jiwanya dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama. Dari akal ketiga keluar-lah akal keempat dan planet Saturnus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari akal keempat keluarlah akal kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan Matahari (al-Syams) beserta jiwanya. Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet Venus (al-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh dan Bulan (Qamar). Dengan demikian, dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.14

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka Download lengkapnya...
Read More