Published Juni 30, 2008 by with 0 comment

Belum cairkan cek dari google

Pusing juga jadinya kalau alamat di kasih pindah-pindah ya...
sudah hampir 2 pekan, cek dari google belum sempat ku cairkan... gimana tidak!?!? saya harus urus dulu KTP minimal tanda Domisili pada alamat yang dicantumkan pada cek tersebut.
Memangnya alamat kamu sebelumnya di mana? sebenarnya masih wilayah Makassar juga sih..!! Namun akhir-akhir ini saya jarang sekali pulang ke rumah sana... bukannya jauh, tp malas aja... belum lagi macetnya (jl. perintis) membuat saya tambah malas lagi deh....
ya... liat saja nanti, apa cek ini akan di cairkan apa ga jadi...
Read More
Published Juni 30, 2008 by with 0 comment

Jerman akhirnya..... Menang pada Euro 2008

Hehehehe....
sudah ku prediksi sejak peempat final bahwa Spanyol akan keluar sebagia juara, namun entah siapa lawannya di final tak ku prediksi...
dan Akhirnya lawan Spanyol pada final EURO 2008 kali ini adalah Jerman. dan Jerman pun MENANG" is (Menangis maksudku) hehehe...
Read More
Published Juni 30, 2008 by with 0 comment

Carru Habis....

Hari ini ada sedikit kendala bagiku hingga tak dapat leluasa gerak banyak... anda mau tau apa penyebabnya? hehehe... duit ga ada se-sen pun.
tadi siang sewaktu ikut breaking fee seminar (K.Link) di Manunggal Makassar, entah jatuh dimana duitku yang ku simpan di kantong kanan celanaku... pokoknya hari pacce alias carru habis deh.
lom lagi entar mo nonton bareng final euro 2008 Spanyol Vs Jerman, dah sekitar 5 kali masuk panggilan dari teman2 yang sudah ada di lokasi nonton bareng sana (Cafe Ogi).
Oh iya... syukurlah ternyata bensin motorku masih banyak... berangkat aja ah.... entar di atur entah apa yang terjadi... lest go...
Read More
Published Januari 07, 2008 by with 0 comment

Dinasti Nashiriyyah di Granada

Pemerintahan muslim Arab juga membawa pengaruh yang menonjol dari pihak kristen. Umat kristen di bawah pemerintahan muslim secara cepat mengadopsi bahasa Arab, tradisi (adat istiadat) dan tata cara bangsa Arab, dan mengambil pola hidup mereka yang dikepalai elit politik. Kemudian asimilasi umat Kristen ditentang oleh seorang biarawan yang bernama Eulogius yang menyerukan sebuah kultur yang murni Kristen dengan melepaskan beberapa pengaruh bangsa Arab. Maka pada tahun 850 sampai 854, Eulogius memimpin sebuah pemberontakan kalangan Mozarab di Cordova dimana sejumlah warga Kristen mengorbankan diri mereka sendiri sebagai aksi protes terhadap pemerintahan muslim Arab.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah, negara muslim Spanyol juga dilanda sejumlah kerusuhan konflik internal yang sangat rumit. Permusuhan antara elit propinsial dan elit pedagang perkotaan, antara warga kota dan tentara Bar-bar, antara non Arab yang baru masuk Islam dengan bangsa Arab, untuk menjadikan negara Muslim Spanyol tidak mampu memperkokoh rezim. Pada awal abad II, beberapa Khalifah kehilangan kekuasaan atas pemerintahan pusat, pemerintahan propinsial melepaskan diri (merdeka), dan sejumlah klan Arab melancarkan pemberontakan.
Persatuan pemerintahan kekhilafahan terhapus dan Spanyol terbagi-bagi menjadi sejumlah kesultanan kecil, yang disebut Muluk Thawa’if atau sejumlah kerajaan kecil pada tahun (1030-1040). Tentara Arab, Slavia, Barbar dan kalangan elit lokal masing-masing menjadi berkuasa, dan masing-masing propinsi menjadi merdeka dengan sebuah angkatan bersenjata, istana dan adminstrasi untuk dirinya sendiri. Di Granada elit Barbar yang tengah berkuasa dibantu oleh masyarakat Yahudi keluarga Banu Naghrila. Sehingga kondisi seperti ini mendorong permusuhan sengit dikalangan umat muslim dan sebuah gerakan anti Yahudi pada tahun 1066.

Masyarakat muslim Spanyol juga tetap disatukan oleh sebuah perdagangan regional dan intenasional yang tengah berkembang pesat. Selain kemakmuran dan kegiatan hidup masyarakat perkotaannya akan tetapi pada sisi lainnya tingkat perpecahan politik yang sedemikian menghangat dan sangat mengancam peradaban Islam bangsa Spanyol. Selama beberapa abad masyarakat Kristen telah bersiaga untuk merebut kembali Spanyol, akan tetapi kemajuan pihak Kristen ini diimbangi oleh pihak Muslim.
Pada tahun 1082, sebuah delegasi utama mengundang pihak-pihak Murabithun untuk terlibat demi membela umat muslim Spanyol. Dengan demikian pada tahun 1086, sebuah kesatuan pasukan Maroko menyeberang ke wilayah Spanyol dan mengalahkan Alfonso VI, dan dari tahun 1040-1145 pasukan Afrika Utara tersebut berhasil menundukkan kota-kota muslim Spanyol dan menguasai Spanyol sebagai sebuah wilayah propinsi bagi Marrakash. Beberapa komandan militer memerintah kota-kota dengan bekerjasama dengan ulama. Meskipun demikian pemerintahan al-Murabithun menimbul- kan berkembangnya permusuhan warga lokal. Pada saat itu kaum sufi mengepalai sejumlah pemberontakan di Silves, dan Niebla, sedang kaum ulama mengepalai sejumlah pemberontakan di Cordova dan Valencia yang pada akhirnya menyebabkan hancurnya pemerintahan al-Murabithun. Imperium al-Murabithun menjadi terpecah-pecah di bawah sejumlah tekanan akibat perlawanan lokal dan akibat dari bangkitnya gerakan al-Muwahhidun.
Ibn Tumart menamakan gerakannya dengan al-Muwahhidun, karena gerakan ini bertujuan untuk menegakkan tauhid (keesaan Allah), menolak segala bentuk pemahaman anthroformorfisme (tajsim) yang dianut oleh Murabithun. Karena itu, semangat perjuangan Ibn Tumart adalah menghancurkan kekuatan Murabithun. Di tangan Abdul Min’um, seorang panglima militer Ibn Tumart dan sekaligus pengganti kedudukannya, Muwahhidun berhasil memasuki Spanyol. Pada tahun 1114-1154 M, kota-kota muslim di Spanyol jatuh ke tangannya, yaitu Kordoba, Almeria, dan Granada. Kemudian Abdul Mun’im digantikan oleh saudaranya yang bernama Abu Yakub, dan kemudian tampillah Yakub sebagai penerusnya.
Dalam beberapa generasi ini Muwahhidun mengalami masa-masa kemajuan. Akan tetapi setelah kematian Yakub, Muwahhidan memasuki masa kemundurannya. Bersamaan dengan kemunduran Muwahhidin ini, pasukan salib yang telah dikalahkan oleh Salahuddin di Palestina kembali ke Eropa dan mulai menggalang kekuatan baru di bawah pimpinan Al-Fonso IX. Kekuatan Kristen ini mengulangi serangannya ke Andalusia, dan mereka berhasil mengalahkan kekuatan muslim Muwahhidun. Setelah beberapa kali mengalami kekalahan dan terus terdesak, akhirnya penguasa Muwahhidin meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara (Marokko). Sepeninggal Muwahhidun ini, di Spanyol timbul kembali sejumlah kerajaan kecil. Di antara mereka yang terbesar adalah kekuatan Muhammad Ibn Yusuf Ibn Nasr yang terkenal sebagai “Ibn Ahmar”. Ia berhasil menegakkan sebuah kerajaannya selama kurang lebih dua abad.
Setelah Al-Muwahhidun meninggalkan Spanyol, sebagian besar kota-kota muslim segera jatuh ke tangan Kristen: Cordova jatuh pada tahun 1236, dan Seville pada tahun 1248. Salah seorang pemuka muslim dari keturunan Arab, “Muhammad Al-Galib, berusaha mengambil kembali kekuasaan propinsi Granada, dan membangun benteng sekitar Granada yang dikenal dengan al-Hambra. Muhammad Al-Galib setuju membayar upeti pertama-tama kepada Ferdinand I dari Castile dan kemudian penggantinya Al-Fonso X. Para Sultan Nashiriyyah berusaha mengambil kebijakan keseimbangan antara orang-orang Kristen dan Mariniyah di Fez, yang ambisinya adalah untuk mengambil kembali Spanyol, tetapi harapan muslim terhadap keberhasilan intervensi Mariniyah akibat kekalahan Sultan Abu al-Hasan Ali oleh Alfonso X dari Castile di Rio Salado pada tahun 1340.
Kerajaan Granada merupakan pertahanan terakhir muslim Spanyol. Setelah terjadi penaklukan kota Valencia, Cordova, Saville, dan Marcea oleh penguasa Castille yang bernama Ferdinand III, dan oleh penguasa Aragon yang bernama Jaime I, pemerintahan muslim di Spanyol tinggal bertahan di Propinsi Grananda. Bahkan penguasa Granada juga dipaksa membayar sejumlah upeti kepada pemerintahan Castille. Kerajaan Granada didirikan oleh Ibnu Al- Ahmar, sekalipun merupakan penguasa yang kuat, namun ia tidak mampu menghadapi kekuatan pasukan Kristen yang hampir menguasai seluruh wilayah Spanyol.
Ibnu Ahmar berusaha menahan tekanan dari pemerintahan Kristen, hingga akhirnya berhasil menjadikan Granada sebagai satu-satunya wilayah pemerintahan muslim sampai dengan tahun 1424 M, di tengah-tengah pemerintahan raja-raja Kristen. Semenjak abad ke 15, Granada mengalami kehancuran.
Persekutuan antara wilayah Aragon dan Castille melalui perkawinan Ferdinand dengan Isabella melahirkan kekuatan besar untuk merebut kekuasaan terakhir umat Muslim di Spanyol. Namun beberapa kali serangan mereka belum berhasil menembus pertahanan umat Islam. Abu al-Hasan yang pada saat itu menjabat penguasa Granada mampu mematahkan serangan mereka. Bahkan Abu al-Hasan menolak pembayaran upeti terhadap pemerintahan Castille.
Maka ketika utusan Ferdinand datang ke Granada untuk menagih upeti, Abu al-Hasan menghardiknya dan mengatakan bahwa raja-raja Granada yang bersedia membayar upeti telah meninggal. Sekarang yang ada hanya “pedang”. Bahkan Abu al-Hasan mengadakan penyerangan dan menduduki kota Zahra.
Untuk membalaskan dendamnya terhadap Abu al-Hasan, Ferdinand melancarkan serangan mendadak terhadap al-Hamra dan berhasil merebutnya. Banyak wanita dan anak kecil berlindung di Masjid dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al-Hamra merupakan pertanda jatuhnya pemerintahan Granada.
Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Abu al-Hasan dengan anaknya yang bernama Abu Abdillah. Serangan pasukan Kristen yang berusaha memanfaatkan situasi kritis ini dapat dipatahkan oelh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abu al-Hasan sebagai penguasa Granada. Zaghal berusaha mengajak Abu Abdullah untuk menggabungkan kekuatan dalam menghadapi musuh Kristen. Akan tetapi Abu Abdullah menolak ajakan tersebut. Sehingga terjadi permusuhan antara Zaghal dan Abu Abdullah, pasukan Kristen memanfaatkan kesempatan dengan menyerbu kekuasaan Zaghal dan berhasil menduduki Alora, Kasr-Bonela, Rondal, Malaga, Loxa, beberapa kota penting lainnya. Sehingga kekuasaan Zaghal tinggal sebagian kecil saja. Maka ketika itu Ferdinand kembali melancarkan serangannya untuk menghabisi sisa-sisa kekuatan Zaghal, hingga Zaghal menyerah dan melarikan diri ke Afrika.
Satu-satunya kekuatan muslim yang berada di Kota Granada dipimpin oleh Abu Abdullah yang belum hancur. Akan tetapi pasukan Ferdinand melakukan serangan besar-besaran dan berhasil menghancurkan pasukan Granada yang dipimpin oleh Abu Abdullah dan panglimanya, Musa. Kemudian setelah itu, sang raja dipaksa menyampaikan sumpah setia kepada Ferdinand, dan bersedia melepaskan harta kekayaan umat muslim, dengan syarat bahwa umat muslim diberi hak hidup dan kebebasan beragama, pada kenyataannya hak itu diabaikan oleh Ferdinand. Peralihan kekuasaan umat Islam oleh Ferdinand terjadi pada tanggal 3 Januari 1492 M.
Pada tahun 1502 hukum Spanyol mengeluarkan sebuah dekrit dimana umat Islam harus memilih dua alternatif, bersedia di Baptis sebagai pemeluk kristen atau keluar dari Spanyol. Sebagian muslim Spanyol bersedia memeluk agama Kristen daripada harus meninggalkan tanah airnya, sedang sebagian lainnya tetap bertahan dalam keyakinan Islam sekalipun harus menderita siksaan dan pengusiran dari negeri Spanyol. Kebanyakan dari mereka berpindah ke Maroko, Mesir, dan Turki. Pasukan kristen tidak hanya berbuat kejam terhadap umat Islam Spanyol, akan tetapi mereka juga membakar sejumlah manuskrip-manuskrip Arab.
Banyak orang Granada berusaha merekonsiliasi dengan tetap Muslim secara rahasia tetapi secara lahir mengaku Kristen. Mereka dipaksa melakukan peribadatan dan tata cara beragama kristen. Dengan demikian anak dan generasi mereka menjadi kristen. Dengan demikian jatuhnya kota muslim di tangan Kristen Spanyol berarti lenyaplah pusat peradaban, singgasana ilmu pengetahuan dan singgasana para ilmuan muslim di Spanyol. Pada tahun 1556 pakaian Arab Muslim di Granada dilarang, dan pada tahun 1556 Philip II mengumumkan bahwa bahasa Arab tidak boleh digunakan. Akhirnya pada tahun 1609 Philip II mengusir orang Islam dari Spanyol mereka mengungsi ke Afrika Utara dimana masyarakat Andalusia memberikan sumbangan terhadap peradaban Islam di wilayah tersebut.

Download malakah lengkapnya...
Read More
Published Desember 29, 2007 by with 0 comment

MUSTAFA KEMAL ATTATURK ( Negara Republik Sekuler )

Biografi
Mustafa Kemal dilahirkan pada tanggal 12 maret 1881 di Salonika (sekarang Greece), yang menjadi kota pelabuhan Masedonia di Turki, ia dilahirkan dari keluarga terhormat dan meninggal dunia pada tahun 1938 di Istambul. Ayahnya bernama Ali Rosa, seorang pegawai pemerintah. Ibunya bernama Zubaeda khahir, seorang yang wanita yang halus persaannya dan tekun beribadah. Perasaan keagamaanya yang mendalam mendorongnya untuk memasukkan Mustafa Kemal ke sebuah sekolah madrasah, tetapi karena ia tidak senang blajar di madrasah itu, akhirnya ia pindah kesekolah meliter menengah di Salonika. Pada tahun 1899, ia melanjutkan pendidikannya ke Akademi Militer di Stambul Turki, dan selesai pada tahun 1905 dengan pangkat kapten.
Ketika di Istambul, Mustafa Kemal dan teman-temannya membentuk perkumpulan rahasia yang menerbitkan surat kabar, tulisan-tulisan yang mendukung kritik terhadap pemerintah Sultan. Sejak itulah Mustafa Kemal mulai terlibat dalam politik praktis. Karena garakan dan perkumpulan rahasia itu yang selalu mengeritik pemerintah Sultan, akhirnya dan teman-temannya ditangkap lalu dimasukkan ke dalam penjara selama beberapa bulan. Setelah dibebaskan ia diasingkan bersama salah seorang temannya yang bernama Ali Fuad ke Suria.

Mustafa Kemal memulai karirnya di bidang militer dan politik, setelah mendapat tugas untuk bergabung dengan pasukan Damaskus untuk menumpas para pemberontak Druz pada tahun 1906. pada tahun itu juga Mustafa Kemal membentuk perkumpulan Vatan (tanah air). Perkumpulan ini cepat berkembang setelah dibukanya cabang di Yoffa, Baerut dan Yerissalem. Mustafa melihat bahwa, revolusi Turki tidak akan bisa muncul di daerah itu, karena letaknya yang kurang strategis, sedangkan tempat yang sagat strtegis ialah Salonika. Ia membentuk cabang di Salonika.
Setahun setelah membentuk cabang baru, ia pun dipindahkan ke Salonika sebagai staf umum. Kemudian ia merubah perkumpulan itu menjadi Vatan Ve Hurryet (tanah air dan kemerdekaan) . dalam komfrensi yang dilaksanakan di Salonika, Mustafa Kemal mengeluarkan pendapatnya tentang partai dan tentara, yang keduanya telah bergabung menjadi satu dalam perkumpulan tersebut. Mustafa mengatakan agar nagara konstitusi dapat dipertahankan, dan diperlukan tentara yang kuat di satu pihak dan partai di sisi lain, tetapi tidak boleh digabungkan. Seharusnya perwira sisuruh memelih tinggal dalam partai atau tinggal dalam atau keluar dari tentarra atau tinggal dalam tentara dan keluar dari partai.
Karena Mustafa Kemal semakin gencar mengkritik pemerintah, ia diasingkan ke Sofia bersama Ali Fethi. Ali Fethi sebagai duta dan Mustafa sebagai atase meliter. Disinilah Mustafa Kemal berkenalan langsung dengan peradaban barat, yang menarik perhatiannya adalah pemerintahan perlementer. Tidak lama setelah Mustafa Kemal di buang kesofia terjadi perang dunia I. Dan iapun dipanggil untuk menjadi panglima Devisi di Gallipoli, untuk menahan serangan Inggris terthadap Turki pada tahun 1915. di dalam medan pertempuran itulah, ia menunjukkkan keberaniannya dan kecakapannya dalam memimpin pertempuran. Dan karena sukses yang dicapainya dalam menyelamatkan stambul dari invasi musuh. Ia menjadi terkenal dan disanjung sebagai pahlawan nasional. Dan sebagai penghargaan kepadanya, pangkatnya pun dinaikkan dari kolonel menjadi jenderal ditambah gelar pasya.
Setelah perang dunia I, kemal mempunyai kewajiban membebaskan daerah-daerah lain dari kekuasaan asing. Dan untuk menyokong tugasnya dari rakyat Turki. Ia pun membentuk gerakan-gerakan tanah air, dan bekerja sama dengan pemberontak membentuk kader-kader militer yang tangguh untuk suatu kesatuan tentara nasinal. Sejak saat itulah, mereka mencanangkan membentuk suatu negara nasional Turki yang merdeka.
Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari kaum pemberontak, kemudian mengeluarkan maklumat dengan pernyataan sebagi berikut:
1. Kemerdekaan tanah air dalam keadaan berbahaya
2. Pemerintahan di Ibu kota di bawah kekuasaan sekutu dan oleh karena itu tidak dapat menjalankan tugas
3. Rakyat Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing.
4. Gerakan-gerakan pembebasan tanah air yang telah ada harus dikoordinasikan oleh satu panitia nasional pusat.
5. Untuk itu perlu diadakan kongres.
Setelah maklumat tersebut ke luar dan sampai ke Ibu kota, Mustafa Kemal dipanggil namun Kemal menolak, iapun secara resmi dipecat dari dinas militer. Mustafa Kemal keluar dari dinas itu dan diangkat oleh perkumpulan pembela rakyat cabang Erzurna sebagai ketua. Akhirnya perkumpulan tersebut, juga menjadi alat perjuangan politik masa depan Mustafa Kemal.
Pada tahun 1920, ia mendirikan nasional assembly (dewan nasional) di Angkara. Pada saat pendiriannya ia mengatakan bahwa kenyataan yang paling mendasar dalam praktek kenegaraan adalah kecendrungan profesinalisme, yaitu pemerintah rakyat. Dikatakan yang menjadi penguasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat.
Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari golongan dari nasionalis bergerak terus dan berlahan-lahan dapat menguasai situasi sehingga akhirnya mereka diakui sebagai penguasa defakto and dejure di Turki pada tahun 1923.

Ide-ide Pembaharuan (sekuler) Mustafa Kemal
1. Politik
Hal yang paling menonjol pada revolusi Musatafa Kemal adalah bagaimana bentuk negara yang diinginkan. Bagi Kemal, kedaulatan harus berada ditangan rakyat. Hal ini tidak sejalan dengan fatwa politik kaum tradisional Turki yang memandang bahwa kedaulatan itu terletak di tangan Tuhan yang dijalankan Sultan atau khalifah. Ide Mustafa Kemal tersebut diterima oleh Majelis Agung Nasinal pada tahun 1920. satu tahun kemudian, ide tersebut diundangkan.
Selanjutnya dengan alasan fakta sejarah umat Islam, Mustafa Kemal mengusulkan agar dua fungsi yang dipegang Sultan Turki, yaitu fungsi spritual dan fungsi temporal dipisahkan.
Pada zaman Abbasyiah misalnya, menurut Mustafa Kemal, Khalifah memerintah di Bagdad sementara Sultan memerintah di daerah-daerah. Kemudian Mustafa Kemal mengusulkan agar jabatan Sultan dengan kekuasaan temporal yang ada padanya di hapuskan saja, untuk menghindari dualisme kekuasaan eksekutif. Yang dipertahankan adalah jabatan khalifah dengan memegang kekuasaan spritual.
Ini berarti Mustafa Kemal menghendaki agar kekuasaan Sultan Turki, dalam hal ini, khalifah benar-benar berkaitan dengan keagamaan saja, dan tidak perlu mencampuri urusan-urusan ketatanegaraan. Sudah barang tentu bentuk kekuasaan seperti ini sangat jauh lebih terbatas dari pada kekuasan yang dimiliki oleh sultan-sultan Turki sebelumnya. Bahkan kekuasaannya lebih kecil dan lebih terbatas dari pada kekuasaan biro syekh al-islam pada masa jayanya.
Pembaruan dalam bentuk negara seperti ini, ditentang oleh mayoritas Islam dengan mempertahankan bentuk khilafah, sedangkan golongan nasionalis menghendaki republik. Dalam konstitusi 1921 ditegaskan bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat, jadi bentuk negara harus republik. Dan pada tahun 1923, Majelis Nasional Agung (MNA) mengambil keputusan bahwa Turki adalah negara republik dan Mustafa Kemal adalah presiden pertama yang terpilih, sedangkan jabatan khalifah dipegang oleh Abd Majid.
Pembaruan berikutnya adalah penghapusan jabatan khalifah, dengan demikian, bahwa gambaran republik Turki ada dualime yang terhapus, tetapi sungguh demikian ‘kedaulatan rakyat” belum punya gambaran yang jelas karena dalam konstitusi adalah agama, sedangkan agama yang dimaksud adalah agama Islam. Itu berarti kedaulatan bukan ditangan rakyat tetapi ada pada syari’at.
Usaha Mustafa Kemal selanjutnya memasukkan prinsip sekularisme dalam konstitusi pada tahun 1928. Negara tidak lagi berhubungan dengan agama. Pada tahun 1937, barulah republik Turki resmi menjadi negara sekuler. Namun sebelum resmi menjadi negara sekuler, Kemal telah menghilangkan konstitusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan.
2. Pendidikan dan Kebudayaan
Bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan bidang yang cukup esensial dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, upaya-upaya pembaharuan yang dilancarkan oleh para pembaharu, tidak terkecuali Mustafa Kemal dan para pendukungnya tidak melepaskan bidang pendidikan dalam pembaharuannya.
Pada tahun 1923 Mustafa Kemal atas nama pemerintah, memerintahkan untuk mendirikan suatu lembaga suatu studi Islam yang diberi tugas khusus mengkaji filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat barat, kondisi praktis, ritual ekonomi, dan penduduk muslim. Tujuan lain dari lembaga tersebut adalah mendidik dan mencetak serta membentuk mujtahid modern yang mampu menafsirkan al-Qur’an agar umat Islam Tuki memperluas wawasannya lewat pemahaman agama secara agak lebih terbuka dan lebih rasional
Pembaruan selanjutnya, adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan agama ke dalam kementerian pendidikan pada tahun 1924. hal ini sesuai dengan undang-undang pendidikan dan konstitusinya di bawah kontrol kementerian pendidikan.
Bersamaan dengan dihapusnya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi agama, pada tahun 1924, Mustafa Kemal membuka fakultas agama pada Universitas Istambul. Pada saat yang sama membuka sekolah-sekolah yang membina dan mempersiapkan tenaga-tenaga khatib dan imam. Jadi pendidikan yang dinginkan Mustafa Kemal dan para pendukungnya adalah pendidikan yang bebas dari pengaruh-pengaruh tradisional.
Sekularisasi yang dilaksanakan Mustafa Kemal bukan hanya dalam bidang institusi saja, tetapi juga dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat. Pakaian keagamaan hanya dibolehkan bagi mereka yang menjalankan tugas keagamaan. Dan seluruh pegawai negeri diwajibkan memakai topi dan pakaian model barat. Di tahun 1923 di keluarkan undang-undang tentang mewajibkan warga negara Turki agar hari libur resmi jum’at diganti hari minggu.
Republik Turki adalah negara sekuler, akan tetapi walaupun demikian, apa yang diciptakan Mustafa Kemal belum menjadi negara yang betul-betul sekuler. Betul syariat Islam telah dihapus pemakainnya dan pendidikan agama di keluarkan dari kurikulum sekolah. Namun republik Turki masih mengurus agama melalui Departemen Urusan Agama.

3. Kehidupan Kemasyarakatan
Para penulis sejarah tidak bisa menyangkal bahwa islam punya pengaruh besar dalam sejarah, dalam hal ini pengaruh syaria’at Islam pada segala segi kehidupan masyarakat Turki. Ini dibuktikan bahwa Turki Usmani sepanjang sejarahnya merupakan lembaga bagi kekuasaan Islam dunia dan agama Islam sebagai agama negara sampai dihapuskannya oleh Mustafa Kemal, pemakaian huruf Arab diganti menjadi huruf latin.
Di mata para pembaharu, Islam adalah agama yang rasional, agama yang tidak bertentangan dengan kemajuan. Yang menjadi penyebab mundurnya Turki terutama karena terlalu kuatnya masyarakat Turki yang berpegang pada syari’at Islam, padahal syari’at yang dipeganginya, tidak lebih dari syari’at yang sudah ternoda oleh budaya Arab yang telah usang yang tidak cocok dengan masyarakat Turki dan zaman yang sudah cukup maju.
Mustaga Kemal cukup responsip terhadap hal tersebut, karena dasar keyakinannya bahwa islam itu agama rasional, cocok untuk kemajuan, ia pun berusaha agar masyarakat Turki memperluas wawasannya dengan cara mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya yang asli. Oleh sebab itu, pada tahun 1924 ia membentuk departemen untuk urusan keagamaan dengan tegas mengurus administrasi keagamaan dan mempersiapkan buku teks pelajaran agama.
Kemuddian Mustafa Kemal memerintahkan agar bahasa Turki dipakai pada mimbar-mimbar masjid, khotbah jum’at, pada azan untuk shalat dan al-Qur’an diterjemahkan dalam bahasa Turki.
Dari beberapa gerakan di atas membuktikan keseriusannya dan pemdukungnya untuk mencerdaskan bangasa, termasuk membuat masyarakat mengerti dan memahami ajaran dasar-dasar agamanya yaitu Islam. Yang disayangkan karena hal seperti itu, merupakan hal yang baru terjadi dikalangan masyarakat Turki, sehingga mereka sulit menerimanya.
Selamjutnya Mustafa Kemal berusaha menghilangkan semua simbol-simbol dan upacara-upacara adat dan keagamaan yang mencerminkan ketradisionalan. Hal ini ia lakukan untuk menunjukkan kepada dunia barat bahwa Turki adalah negara yang beradab dan berbudaya tinggi sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Seperti dikeluarkannya peraturan larangan topi (torbus), para kaum tarekat, praktek jampi-jampi dan teknik pengobatan tradisional terhadap suatu penyakit.
Mustafa Kemal juga melihat bahwa ulama-ulama selama ini hanya menggiring masyarakat kepada masyarakat ritual dan ketaatan pada sistem ibadah dan etika yang mereka ciptakan sendiri tanpa boleh digugat sedikut pun. Mereka tidak merasa perlu menggambarkan umatnya kepada kegairahan hidup di dunia dalam artian kegairahan hidup berprofesi di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, kesenian dan kemasyarakatan. Akibatnya di bidang kehidupan dunia, umat Islam Turki Miskin, terkebelakang bahkan di bidang spritual mereka juga miskin karena mengamalkan sesuatu yang pada hakekatnya kurang benar.
Adanya kemajuan-kamajuan tersebut di atas, jelas bahwa perubahan dalam kehidupan kemasyarakatan akan nampak dengan jelas bagi masyarakat yang menggunakan kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut. Hal ini dipahami sebagai mobilisasi pada masyarakat yang baru mulai berkembang. Masyarakat yang memperoleh kesempatan dalam pembaruan Mustafa Kemal kemudian memanfaatkannya dengan baik, maka akan mendapat kemajuan yang sangat berarti, baik dari segi sosial, budaya maupun spritual. Danbagi mereka yang tidak menggunakan dan memanfaatkan kesempatan tersebut, maka akan tetap pada keadaan yang semula.

Catatan:
Makalah diatas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...
Read More
Published Desember 26, 2007 by with 0 comment

MUNAWIR SJADZALI Reaktualisasi Hukum Islam (Waris, budak, bunga bank)

Munawir Sjadzali lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 Nopember 1925. Munawir adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas’iyah (putri Badruddin).
Dari segi ekonomi, keluarga Munawir tergolong jauh dari sejahtera. Tapi dari segi agama, keluarga ini adalah santri.
Kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan: madrasah. Bukan saja karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan Islam ini relatif murah, tapi juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu tradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya, Munawir melanjutkan ke Mambaul Ulum, Solo, yang berjarak lebih kurang 30 kilometer dari desanya. Dorongan untuk melanjutkan pendidikan di Mambaul Ulum datang dari sang ayah, figur pecinta ilmu.
Pada tahun 1943, di usia 17 tahun, Munawir menamatkan Mambaul Ulum. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik Islam. Pada gilirannya hal ini membawa implikasi kepada luasnya wawasan keagamaan Munawir.
Setelah tamat dari Mambaul Ulum, Munawir diterima sebagai guru SR Muhammadiyah di Salatiga. Tidak lama kemudian, ia pindah mengajar di Gunungpati, Semarang.
Di Gunungpati inilah Munawir bertemu dengan Bung Karno, yang waktu itu sebagai Ketua Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Setelah itu, Munawir banyak terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Setelah Proklamasi kemerdekaan 1945, Munawir menjadi Ketua Angkatan Muda Gunungpati. Selanjutnya ia menggabungkan diri dalam kelompok pejuang Islam, Hizbullah, dan terlibat dalam perang melawan tentara sekutu di Ambarawa.
Download lengkapnya...
Read More
Published Desember 25, 2007 by with 0 comment

MUKTI ALI (Ijtihad dan Pembaharuannya)

Pergumulan antara Islam dan modernitas yang membawa ide-ide pembaharuan merupakan salah satu agenda permasalahan yang dihadapi oleh kaum Muslim di berbagai belahan dunia Islam setelah berabad-abad lamanya mengalami stagnasi, taqdis al-fikr dalam berbagai sendi kehidupan manusia. Kondisi ini telah mengundang pemikir-pemikir Islam diberbagai belahan dunia untuk memberikan diagnosa sekaligus merumuskan solusinya masing-masing.

Dalam konteks keindonesiaan, gaung pemikiran para tokoh-tokoh modernitas tersebut memberikan warna tersendiri bagi perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia. Salah seorang intelektual Muslim terkemuka yang menaruh minat besar terhadap wacana pemikiran keagamaan ini adalah Mukti Ali, mantan Menteri Agama Republik Indonesia yang pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Yogyakarta.
Mukti Ali, dalam pandangan banyak orang dikenal sebagai tokoh Muslim yang memiliki pemikiran yang beragam. Ia, berlatar belakang santri tradisional, menjadi tokoh organisasi revivalis; Muhammadiah, pelopor Ilmu Perbandingan Agama dan yang tak kalah pentingnya, beliau adalah mantan Menteri Agama yang melakukan re-orientasi penting dalam kebijakan politik-keagamaan di masa Orde Baru.
Perjalanan pemikiran keislaman dan politik beliau dianggap menampilkan dua kutub pemikiran yang berbeda. Beliau disebut sebagai tokoh Muslim terpenting yang telah memperjuangkan pluralisme keberagamaan di Indonesia. Pada sisi lain, ia dituduh sebagai agen politik Orde Baru dalam membangun basis legitimasi politik dan sekularisasi dalam masyarakat.

Berdasar pada gambaran di atas, pertanyaan yang patut dijawab adalah bagaimana konsep ijtihad yang dipahaminya hingga melahirkan pembaharuan pemikiran, aspek-aspek pembaharuan apa yang telah beliau cetuskan? benarkah beliau menjadi agen Orde Baru?

Mukti Ali: Personalitas dan Latar Belakang Kehidupannya.
Penulis teringat dengan sebuah pemikiran yang dilontarkan oleh seorang tokoh filsafat Perancis abad XX M. Michel Foulcault tentang pentingnya sejarah kehidupan seseorang dalam membentuk struktur berpikirnya. Dalam sebuah karyanya, The Order of Things: An Archeology of The Human Science, Foulcault yang dikutip oleh Wahyudi menyebutkan bahwa manusia disetiap zaman memandang, memahami, dan membicarakan kenyataan dengan cara tertentu. Setiap abad atau zaman memiliki ciri dan corak epistimologi sendiri dengan peranan bahasa yang juga berlainan sama sekali.
Kaitan antara pemikiran Michel Foulcault dengan Mukti Ali adalah upaya untuk memahami kondisi objektif yang melingkupi kehidupannya (baca : Mukti Ali) sehingga dengan demikian tergambar jelas konteks setiap pemikiran yang beliau lahirkan.
Mukti Ali yang dimasa kecilnya dikenal dengan nama Bedjono lahir di sebuah kota kecil bernama Cepu, pada tanggal 23 Agustus 1923. Orang tuanya adalah sosok yang sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Ia mulai dari mendatangkan guru ngaji dan ibadah ke rumah mereka, memasukkan Mukti di sekolah milik Belanda HIS hingga mengirimnya ke pondok Pesantren Termas, Kediri, sebuah pesantren yang menggunakan metode madrasi; sistem sekolah dengan menggunakan kelas. Bedjono tidak hanya belajar di pesantren itu , tetapi juga diwajibkan mengikuti kegiatan ngaji kitab dengan sistem sorongan (bacaan) atau bedongan (diskusi) dengan materi terdiri dari ilmu fikih, hadis, tasawuf dan akhlak. Lewat pendidikan di pondok inilah, dikemudian hari ia dapat mengapresiasi khazanah intelektual Islam klasik.
Di tengah-tengah pergumulannya dengan dengan pengalaman keagamaan, selama di Termas juga, Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal mengorganisasikan kegiatan politik. Tidak mengherankan pada tahun kelima sepanjang hidupnya di Termas, yakni pada tahun 1945, ia dan bersama teman-temannya ikut terlibat dalam “pergerakan” ;
Perhatiannya terhadap dunia politik pada masa pergerakan membuat karir politiknya terus berkembang. Pada tahun 1946, ia terpilih sebagai Dewan Wakil Rakyat untuk kabupaten Blora, mewakili Masyumi. Selama keanggotaannya, beliau banyak mendapatkan wawasan tentang masalah sosial-politik umat Islam.
Keterlibatannya dalam dunia politik memotivasi beliau untuk mengambil keputusan untuk mendaftar menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) DI Yogyakarta –Universitas Islam Indonesia(UII) sekarang ini- pada tahun 1947. Beliau diterima sebagai mahasiswa tingkat persiapan pada Fakultas Studi Agama.
Pada masa kuliah inilah beliau bertemu dan akhirnya tertarik pada K. H. Mas Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah dan dosen yang paling dikaguminya di STI. Mukti Ali kagum dengan cara mengajar Kiyai Mas Mansur yang lebih banyak memberikan pemahaman dan penafsiran baru mengenai wawasan keagamaan.
Keasyikannya belajar di STI terhenti akibat kedatangan Belanda ke Yogyakarta yang dalam perkembangan selanjutnya berujung pada terjadinya pertempuran antara pada tahun 1949. Jiwa patriotismenya terpanggil untuk ikut terjun dalam medan pertempuran sebagai anggota pasukan tentara Angkatan Perang Sabil (APS) di bawah pimpinan K. H. Abdurrahman dari Kedungbanteng.
Setelah kedaulatan negara Republik Indonesia kembali diakui, Mukti Ali menerimana tawaran orang tuanya untuk naik haji dengan syarat beliau diizinkan untuk tinggal belajar di Mekkah dan Madinah.
Tiba di Mekkah tahun 1950, namun karena kondisi masyarakat Mekkah pada saat itu dari segi pendidikan tidak lebih baik dari umumnya masyarakat Indonesia. Beliau memutuskan untuk hijrah ke negara lain. Atas saran H. Imron Rosyadi, SH. Konsul Haji Indonesia waktu itu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari belajar di Mekkah karena situasi politik yang ditimbulkan oleh kerasnya gerakan Wahabi di Arab. Mukti Ali lantas mempertimbangkan untuk ke Mesir. Tetapi akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan.
Mukti Ali dengan kemampuan yang baik dalam bahasa Arab, Belanda, dan Inggris menyebabkan beliau diterima pada program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab,Universitas Karachi. Ia mengambil program sejarah Islam sebagai spesialisasinya.
Setelah menamatkan program tingkat sarjana muda, beliau melanjutkannya pada program Ph.D. di Universitas yang sama.Beberapa saat setelah itu, beliau diminta oleh Anwar Harjono; mantan sekjen Masyumi untuk meneruskan studinya ke McGill Universitas Montreal, Kanada tahun 1955.
Di Universitas McGill, beliau mengambil spesialisasi ilmu perbandingan agama. Pemahaman beliau tentang Islam berubah secara fundamental. Perkenalannya dengan metode studi agama-agama dan professor- professor studi Islam, khususnya Wilfred Cantwell Smith adalah awal dari semua itu.
Beberapa tahun setelah kembalinya ke Indonesia, beliau bergumul dalam wilayah pendidikan dengan merintis dan memperkenalkan disipilin ilmu perbandingan agama hingga berhasil menjadikannya sebagai jurusan baru dikalangan mahasiswa IAIN; Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 1960. Dan pada tahun 1971 beliau ditunjuk menjadi Menteri Agama menggantikan K. H. Muhammad Dachlan; tokoh NU, yang belum habis masa jabatannya.
Ide-ide Pembaharuan Mukti Ali
1. Ijtihad
Dalam menghadapi keadaan dunia yang serba berubah dengan cepat, ada orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan prinsip-prinsip lama dengan berdalih bahwa al-Qur’an menyatakan seperti itu, begitu juga dengan sunnah Nabi. Mereka menyatakan bahwa itu adalah cara untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Ajakan ini kadang-kadang menarik karena diletakkan dalam bingkai “pemurnian”, “keaslian” dan sebagainya. Tetapi sikap seperti itu adalah “reaksi” yang tidak didasarkan pada sebuah pemikiran yang dalam dan komprehensif tentang teks-teks agama dan realitas sosial-kemasyarakatan. Kelompok seperti ini (baca: fundamentalisme) tidak menyelesaikan masalah.
Kelompok pemikiran seperti di atas, tidak menyadari betapa cepat dan kuatnya gelombang serbuan peradaban modernisasi yang tak terbendung telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia.
Bagi Mukti Ali sendiri, perubahan itu bukanlah sesuatu yang harus ditakuti ataupun dihindari karena itu adalah sesuatu yang mustahil. Sebagaimana ungkapan beliau :
Abad kita adalah abad baru dalam sejarah dengan benturan-benturan yang kritis dan cepat merata keseluruh ujung dan pojok dunia. Benturan-benturan itu adalah produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif, yang dengannya itu terjadi transformasi sosial dan kultural yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama. Transformasi yang sedemikian itu membawa masalah-masalah yang sulit, disertai krisis pertumbuhan.

Melihat kenyataan seperti di atas, menurutnya, disinilah peran ijtihad untuk melakukan upaya pembacaan secara cermat terhadap teks-teks agama dan mengaitkannya dengan konteksnya. Karena setiap teks-teks agama memiliki konteksnya sendiri-sendiri. Hal ini dapat dipahami dalam pernyataan beliau :
“Teks” (nash) Al-Quran dan As-Sunnah dipahami dengan mengingat keadaan yang berhunbungan disekitarnya, “konteks” dan dengan itu merupakan usaha untuk memahami agama secara “kontekstual”. Memahami agama secara kontekstual adalah sebuah keharusan. Artinya, agama hanya dapat berfungsi apabila ia benar-benar konstektual. Apabila tidak, maka agama hanya merupakan ajaran yang kosong saja. Dalam memahami ajaran Islam, umpamanya, kita harus berusaha mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara “teks” dengan “konteks” : antara “din” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Artinya kita harus berusaha untuk merumuskan ajaran Islam pada konteks ruang dan waktu tertentu.
Persoalan kita adalah bukan perlu tidaknya atau sah tidaknya pemahaman agama secara kontekstual. Setiap pemahaman agama harus kontekstual, karena dalam pemahaman itu harus ada “teks” dan “konteks”. Keduanya harus diperhitungkan. Persoalan kita adalah bagaimana mempertemukan keduanya “teks” dan “konteks”, dalam pemahaman kita. Ini merupakan persoalan, oleh karena amat tergantung pada pemahaman kita tentang hakikat “teks” dan “konteks” dan tempatnya dalam pemahaman kita.
Dalam upaya memahami “teks” dan “konteks” al-Qur’an dan sunnah Nabi. Beliau menawarkan pendekatan hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajiannya pada persoalan interpretasi; understanding of understanding terhadap teks, terutama teks kitab suci, yang datang dalam kurun waktu, tempat, serta situasi tertentu. Secara garis besar dibagi pada tiga pokok kajian, yaitu : the world the Author (dunia pengarang), the world of theTex (dunia teks) dan the world of the Reader (dunia pembaca).
Mukti Ali menegaskan, wahyu itu bersifat kekal dan universal untuk sepanjang zaman. Wahyu Allah (baca: al-Qur’an) atau dalam istilah Syafi’i, al-Wahyu al-Mathlu’ diturunkan kepada Nabi Muhammad dan beliau memiliki otoritas untuk menjelaskannya (baca; hadis, al-Wahyu ghair al-Mathlu’) keduanya adalah juga kontekstual dari kehendak Allah swt.Oleh karena itu masalah kita adalah bagaimana memahami kehendak Allah yang telah sampai kepada kita melalui konteks yang lain itu, sehingga merupakan kehendak Allah yang benar-benar mengenai kita dalam konteks kita, disini dan sekarang ini. Masalah hermeneutik kita, bukanlah bagaimana mengangkat kita agar bisa berada dalam konteks yang “lain” itu dan mencari kehendak Allah di “sana” tetapi justru bagaimana mengangkat “wahyu Allah” itu dari konteksnya yang “lain” untuk hadir dalam konteks kita disini dan sekarang ini. Tiada wahyu tanpa konteks.
Kerumitan pertama di dalam pemahaman kontekstual adalah bagaimana menghubungkan antara yang universal dan partikuler. Mencangkokkan sesuatu yang universal secara semena-mena pada yang partikuler adalah tidak benar. Karena pada hakikatnya yang universal itu selalu ada dalam bentuk yang partikuler. Mengutamakan yang partikuler dan mengabaikan dimensi yang universal juga adalah tidak benar. Karena Allah yang berfirman pada zaman ini tidak lain dan tidak bukan adalah Allah yang sama yang telah berfirman sepanjang zaman.
Persoalan kemudian adalah apakah seluruh ajaran Islam bisa dikontekstualkan tanpa ada pemisahan antara yang qath’iy ataupun yang dzanniy; antara aqidah, akhlak ataupun mu’amalah ? Untuk menjawab peratanyaan di atas, Mukti Ali menyatakan bahwa: Kontekstualisasi bukanlah subjektivisme dan relativisme kultural. Islam yang dipahami secara kontekstual adalah Islam itu, dalam artian pasti ada “masalah pokok” atau entitas “qur’anis” yang berlaku secara universal, yang dapat dikatakan bahwa bila ia diubah, maka seluruh identitas pun berubah pula. Ia tidak “qur’anis” lagi. Pemahaman Islam secara kontekstual lalu hanya merupakan kontekstualisasi, bukan Islam lagi.
Dari pernyataan di atas, menurut hemat penulis tergambar pemahaman beliau bahwa hal yang pertama harus mendapatkan perhatian serius dalam upaya kontekstualisasi adalah membedakan secara jelas antara aspek ajaran Islam yang pokok dan berlaku universal serta abadi. Ketika ajaran Islam dikontekstualisasikan; apakah yang bersifat qath’i ataupun dzanniy maka nilai-nilai keislaman tidak boleh kemudian terkaburkan ataupun terileminasikan oleh dominasi aspek konteks. Karena ketika itu terjadi, maka hilanglah nilai Islamnya. Pemahaman yang harus dimunculkan adalah disamping ia kontekstual ia juga qur’anis.
Penerapan metode ini menurut beliau adalah sesuatu yang tidak mudah. Pernyataan ini memgambarkan bahwa kontekstualisasi pada aspek-aspek ajaran Islam yang “qath’iy” masih membutuhkan perdebatan serius, termasuk menetapkan dalil-dalil mana dari teks-teks agama yang qath’iy.
Secara umum pandangan Mukti Ali tentang ijtihad sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh Muhammad Iqbal, seperti yang dikutipnya sendiri tentang the Principle of Movement atau dalam istilah Fazlur Rahman dalam menggambarkan makna sunnah adalah “Living Tradition”. Kedua istilah mengandung makna kontekstualisasi tanpa menghilangkan “ruh” atau “spirit” ajaran agama.
2. Sosio-Politik Keagamaan: Relasi Agama dan Negara
Pergumulan antara agama (baca: Islam) dan negara telah muncul dari sejak awal hingga saat ini telah melahirkan dua kutub pemikiran -untuk tidak mengatakan gerakan- yang saling berlawanan mewarnai percaturan politik di Indonesia. Pertama, Faksi politik Islam yang berjuang bagi berdirinya negara Islam, dan yang lain, konsep negara sekuler dari faksi non-politik Islam atau dalam istilah Endang Syaifuddin Anshari yang dikutip oleh Din Syamsuddin “nasionalis-Islamisis” versus “nasionalis-sekularis”.
Pergumulan kedua kubu tersebut terus berlansung, termasuk pada masa munculnya dominasi ABRI dan Golkar akhir tahun 1960-an. Pemerintah Orde Baru yang diwakili oleh ABRI dan Golkar berupaya untuk memperkuat basis politiknya dengan mengeleminir kekuatan-kekuatan politik lain, khususnya yang ada dalam pemerintahan. Salah satu hasil dari sikap itu adalah pemberhentian K.H. Mohammad Dachlan sebagai Menteri Agama karena afialiasi politiknya yang menguntungkan kelompok NU. Maka pada saat itu ditunjuklah Mukti Ali sebagai penggantinya.
Sebagai Menteri Agama yang baru, Mukti Ali dihadapkan pada agenda modernisasi politik Orde Baru yang memcoba memisahkan antara otoritas politik dan otoritas keagamaan yang terkesan mengarah pada pembentukan negara sekuler. Hal itu dalam pandangan umat Islam akan semakin meminimalisir dan menghilangkan peran dan hak dalam penentuan kebijakan di pemerintahan.
Ketika kerisauan dan kekhatiran itu muncul dari kalangan umat Islam, dalam konteks inilah, Mukti Ali memberi perhatian yang besar terhadap upaya untuk mendekatkan hubungan umat Islam dengan pemerintahan Orde Baru. Kepada para ulama dan politisi Muslim, ia menyakinkan iktikad baik pemerintah Orde Baru untuk membina kehidupan beragama. Pemerintah, dalam hal ini Departeman Agama, akan memberikan keluasan, bahkan membantu, umat Islam mengerjakan semua kewajiban agama.
Usaha itu terlihat jelas, ketika beliau mencanangkan berbagai program kegiatan keagamaan, seperti disekolah, penjara, rumah sakit, kantor-kantor pemerintah, dan sebagainya. Begitu pula kebijakan untuk mengembangkan seni baca al-Qur’an (MTQ Tingkat Nasional) dan LPTQ di tingkat propensi, kodya, kabupaten dan kecamatan. Pembentukan MUI sebagai lembaga aspirasi umat Islam. Penyusunan UUD Perkawianan 1974, walaupun dalam proses dialog yang cukup panjang dan menegangkan adalah sederet usaha yang tidak sedikit.
3. Dialog Antar Umat Beragama
Latar belakang pendidikan ilmu Perbandingan Agama yang ditempuhnya selama di Kanada telah begitu mempengaruhi pola dan paradigma beliau dalam melihat agama. Begitu juga kondisi sosial-keagamaan masyarakat Indonesia yang heterogen, plural; sering melahirkan perseteruan dan ketegangang. Bahkan pada saat beliau menjabat sebagai Menteri Agama ketegangan antara Islam dan Kristen memcapai puncaknya.
Melihat kondisi di atas, beliau secara maksimal melakukan upaya-upaya yang memungkingkan terjadinya pertemuan dan dialog antara pemeluk umat beragama.Walaupun beliau juga yakin bahwa kebijakan dialog antar-umat beragama semacam itu belum tentu akan membuahkan hasil perdamaian yang total antara komunitas-agama di negara seperti Indonesia.Tetapi, ia percaya bahwa pasti ada sekelompok sosial-keagamaan tertentu yang bisa diharapkan memberi sumbangan terhadap berjalannya dialog antar-umat beragama. Maka beliau menghidupkan kembali forum musyawarah umat-beragama yang ada pada masa K. H. Muhammad Dachlan, yang mandeg karena tidak adanya kesepakatan.
Disamping melakukan usaha-usaha dialog melalui forum-forum umat-beragama beliau juga memperkenalkan ilmu Perbandingan Agama -sesuatu yang belum populer- dikalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa IAIN, yang dewasa ini telah menjadi salah satu mata kuliah yang banyak diminati oleh mahasiswa.
4. Pendidikan
Pengalaman pendidikan yang dirasakan dalam hidupnya telah memberikan pengalaman tersendiri bagi beliau untuk kembali merumuskan dan memformulasikan satu sistem pendidikan yang relevan dan sesuai dengan perubahan zaman.
Ketika beliau menjabat sebagai Menteri Agama beliau merencanakan pembenahan lembaga pendidikan Islam dengan berinisiatif berembuk dengan Departemen P dan K. Setelah melalui proses yang panjang dan hati-hati, maka lahirlah Surat Keputusan Tiga Menteri, yaitu : Menteri Agama, Menteri P & K dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1975, yang menetapkan tiga keputusan, yaitu : (1) Agar semua madrasah -dalam semua jenjang- dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas, dan (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70 % pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.
Melihat garis besar keputusan ini, setidaknya ada dua sasaran politik masa depan pendidikan Islam yang diinginkan Mukti Ali, yaitu : (1) integrasi sistem pendidikan nasional, (2) masuknya kurikulum umum akan memberikan pembenahan yang transformatif kepada lembaga yang beriorientasi pada pengembangan sumber daya manusia.
Keputusan ini, pada awalnya ternyata melahirkan respon negatif bagi para pelaku lembaga pendidikan Islam. Dengan sikap apriori mereka menuduh bahwa upaya ini adalah upaya untuk menghilangkan misi pendidikan Islam yang beriorientasi pada pendidikan ilmu agama, walaupun bagi Mukti Ali sendiri dimaksudkan agar persepsi mereka tentang dualisme pendidikan dapat berakhir
Reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Mukti Ali tidak hanya terbatas pada pendidikan dasar hingga atas, tetapi beliau juga melakukan restrukturalisasi pada pendidikan tinggi. Termasuk pemberdayaan tenaga pengajar melalui pengiriman mereka ke luar negeri untuk pendidikan, seperti : Timur Tengah, Kanada, Belanda hingga ke Amerika Serikat.
Download selengkapnya...
Read More