Published April 20, 2010 by with 0 comment

Sakinah, Mawaddah wa Rahmah

Tadi sore - menghadiri acara resepsi pernikahan, beberapa sahabat, masih penasaran dengan arti yang dikatakan oleh penyampai kata sambutan keluarga, yaitu Sakinah, Mawaddah wa Rahmah. Kebetulan saya guru bahasa Arab, jadi tau arti secara sempit, sebagaimana yang saya uraikan pada sahabat-sahabat tadi.
Namun setelah buka kembali file di laptop, ada artikel tentang ini, tp sudah berupa file doc. sehingga tak tau dari mana sumber artikel ini dulu. mari lanjut ke makna dari kata tersebut. Semoga membantu.

Sakinah

Kata sakinah berasal dari bahasa Arab (سكينة), yang berarti tenang, tenteram, damai, terhormat, aman, nyaman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian, keamanan, ketenteraman, perlindungan, kebahagiaan, keberkahan, dan penghargaan.

Kata "sakinah" juga sudah diserap menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sakinah bermakna kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan.

Mawaddah

Kata mawaddah juga berasal dari bahasa Arab (مَوَدَّة). Mawaddah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan kasih sayang yang menggebu kepada pasangan jenisnya. Mawaddah adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangan jenisnya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik. Seperti cinta yang muncul karena kecantikan, ketampanan, kemolekan dan kemulusan fisik, tubuh yang seksi; atau muncul karena harta benda, kedudukan, pangkat, dan lain sebagainya.

Biasanya mawaddah muncul pada pasangan muda atau pasangan yang baru menikah, dimana corak fisik masih sangat kuat. Alasan-alasan fisik masih sangat dominan pada pasangan yang baru menikah. Kontak fisik juga sangat kuat mewarnai pasangan muda. Misalnya ketika seorang lelaki ditanya, "Mengapa anda menikah dengan perempuan itu, bukan dengan yang lainnya?" Jika jawabannya adalah, "Karena ia cantik, seksi, kulitnya bersih", dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah mawaddah.

Demikian pula ketika seorang perempuan ditanya, "Mengapa anda menikah dengan lelaki itu, bukan dengan yang lainnya ?" Jika jawabannya adalah, "Karena ia tampan, macho, kaya", dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah yang disebut mawaddah.

Kata mawaddah juga sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, menjadi mawadah (dengan satu huruf d). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mawadah bermakna kasih sayang.

Rahmah

Rahmah berasal dari bahasa Arab(رحمة). yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, juga rejeki. Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang lembut, terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, siap melindungi yang dicintai, tanpa pamrih “sebab”. Bisa dikatakan rahmah adalah perasaan cinta dan kasih sayang yang sudah berada di luar batas-batas sebab yang bercorak fisik.

Biasanya rahmah muncul pada pasangan yang sudah lama berkeluarga, dimana tautan hati dan perasaan sudah sangat kuat, saling membutuhkan, saling memberi, saling menerima, saling memahami. Corak fisik sudah tidak dominan.

Misalnya seorang kakek yang berusia 80 tahun hidup rukun, tenang dan harmonis dengan isterinya yang berusia 75 tahun. Ketika ditanya, "Mengapa kakek masih mencintai nenek pada umur setua ini?" Tidak mungkin dijawab dengan, "Karena nenekmu cantik, seksi, genit", dan seterusnya, karena si nenek sudah ompong dan kulitnya berkeriput.

Demikian pula ketika nenek ditanya, "Mengapa nenek masih mencintai kakek pada umur setua ini?" Tidak akan dijawab dengan, "Karena kakekmu cakep, jantan, macho, perkasa", dan lain sebagainya; karena si kakek sudah udzur dan sering sakit-sakitan. Rasa cinta dan kasih sayang antara kakek dan nenek itu bahkan sudah berada di luar batas-batas sebab. Mereka tidak bisa menjelaskan lagi "mengapa dan sebab apa" masih saling mencintai.

Kata rahmah diserap dalam bahasa Indonesia menjadi rahmat (dengan huruf t). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata rahmah atau rahmat bermakna belas kasih; kerahiman; karunia (Allah); dan berkah (Allah).

Read More
Published April 20, 2010 by with 0 comment

AL-FARABI (Filsafat al-Faydh, al-Nafs dan al-Madinah al-Fadhilah)

Dalam sejarah dunia filsafat, Yunani merupakan tonggak pangkal munculnya pemikiran filsafat yang mulai tumbuh dan berkembang di beberapa kota. Pemikiran filosof itu kemudian masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir.
Budaya dan filsafat Yunani masuk ke negeri-negeri tersebut dengan adanya ekspansi Alexander yang agung yang dalam bahasa Arab disebut Iskandar Zulkarnain. Ekspansi tersebut terjadi pada abad ke-4 sebelum Masehi.
Setelah Alexander dapat menaklukkan negeri-negeri tersebut, ia kemudian membuat kebijaksanaan politik untuk menyatakan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia. Pengaruh kebijaksanaan tersebut meninggal-kan bekas yang besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya hingga kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexanderia di Mesir, Jundisapur di Mesopotamia dan Bacha di Persia.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani dalam dunia Islam belum nampak jelas sebab perhatian lebih dipusatkan pada kebudayaan Arab. Namun, setelah pemerintahan Bani Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Yunani nampak lebih jelas karena pada waktu itu orang-orang yang duduk di pemerintahan pusat bukan hanya dari kalangan Arab, tetapi juga orang-orang Persia yang banyak berkecimpung dengan budaya Yunani.

A. Biografi al-Farabi
Nama lengkapnya ialah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalgh. Di kalangan orang-orang Latin abad tengah, al-Farabi lebih dikenal dengan nama Abu Nashr (Abunaser),1 sementara di kalangan masyarakat Eropa ia lebih dikenal dengan al-Farabius, juga Avennaser.2 Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab (sekarang dikenal dengan kota Attar) Turkistan, dimana ia dilahirkan pada 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang jenderal berkebangsaan Iran, sementara ibunya berkebangsaan Turki.3
Sejak kecil al-Farabi sudah menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa terutama di bidang bahasa, khususnya bahasa Persia, Turkistan dan Kurdistan. Nampaknya, ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.4
Dalam usianya yang masih sangat muda, al-Farabi bersama ayahnya pergi ke Baghdad yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan. Pada mulanya, ia memusatkan perhatiannya di bidang logika dan tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) pada Abu Bakar al-Sarraj. Setelah itu, ia kemudian pindah ke Harran, lalu kembali lagi ke Baghdad untuk belajar filsafat. Di sana al-Farabi menetap selama kurang lebih 30 tahun. Waktu puluhan tahun itu digunakannya untuk belajar filsafat, matematika, kedokteran dan bahasa Arab, sekaligus mengajar dan menulis karya-karyanya.5
Pada 330 H/942 M al-Farabi pindah ke Damsyik karena mendapatkan undangan dari pemerintah Syi’i Hamdani, Sayf al-Dawlah dan tinggal bersama para pengikutnya serta beberapa rekannya di Halab (Aleppo) sampai akhir hayatnya pada 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.6
Al-Farabi adalah eksponen filsafat Neo-Platonis muslim yang dimulai oleh al-Kindi dan dilanjutkan kemudian oleh Ibnu Sina. Al-Farabi boleh dikatakan sebagai ensiklopedi hidup. George Sarton – sebagaimana yang dikutip oleh Jamil Ahmad – menulis, “Ia mengenal segenap pemikiran ilmiah pada zamannya”.7
Al-Farabi dianggap sebagai “hujjat al-mantiq” (ahli logika) dan guru besar dalam ilmu filsafat dan ilmu metafisika.8 Filsafat al-Farabi merupakan sinkretisme antara Platonisme, Aristotelisme dan Sufisme. Gagasannya di bidang ini mempunyai pengaruh yang sangat luas dan dalam. Menurut ‘Allamah ibn Khan, “Tidak ada seorang muslim pun yang bisa menyamai taraf ilmu filsafat al-Farabi, hanya dengan menelaah gagasannya dan meniru gaya tulisannya akhirnya Ibnu Sina bisa mencapai kemahiran dan kecerdasan yang menyebabkan karyanya sendiri berguna”.8 Disamping pada Ibnu Sina, pengaruh al-Farabi bisa diusut pada karya-karya pemikir dan pujangga Islam seperti Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, Fakhruddin Razi, Ibn Haytam, Ibn Miskawaih, Jalaluddin Rumi dan al-Ghazali.

B. Filsafatnya
Sebagai pembangun sistem filsafat, khususnya filsafat Islam,9 al-Farabi membaktikan diri untuk berfikir dan merenung, menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan kekisruhan masyarakat. Ia telah meninggalkan sejumlah risalah penting. Di samping murid-murid yang belajar secara langsung, banyak pula orang yang mempelajari karya-karyanya sepeninggalnya, bahkan menjadi pengikutnya. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi Barat dan Timur, lama sepeninggalnya.
Filsafat al-Farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda dengan para filosof lainnya. Ajaran-ajaran para filosof terdahulu diambilnya, lalu ia bangun kembali dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan kemudian disusunnya menjadi sedemikian sistematis dan selaras. Al-Farabi adalah seorang yang logis baik dalam pemikirannya, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya. Filsafatnya mungkin bertumpu pada beberapa perkiraan yang keliru dan mungkin juga berisi beberapa hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan modern, namun ia mempunyai peranan penting dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya. Berikut ini akan diuraikan secara singkat unsur-unsur penting filsafatnya.
1. Filsafat al-Faydh (emanasi)
Salah satu filsafat al-Farabi yang terkenal ialah filsafat al-faydh (emanasi)10 yang menyebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Teori ini membahas tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al-wujud (Tuhan). Hal itu karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.11 Dengan kata lain, Tuhan sebagai al-Maujud al-Awwal merupakan sebab pertama bagi segala yang ada.
Seperti halnya Plotinus, al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa, karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari zat Tuhan itu berbilang, berarti zat Tuhan itu pun berbilang. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila memikirkan sesuatu maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya sesuatu itu.12
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya), yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai zat yang menjadikan. Jadi, meski-pun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.13
Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah akal yang kedua. Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda langit terjauh (al-sama’ al-ula; al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi dari dua obyek pengetahun yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu benda langit dan jiwanya. Dari akal kedua timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) beserta jiwanya dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama. Dari akal ketiga keluar-lah akal keempat dan planet Saturnus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari akal keempat keluarlah akal kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan Matahari (al-Syams) beserta jiwanya. Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet Venus (al-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh dan Bulan (Qamar). Dengan demikian, dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.14

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka Download lengkapnya...
Read More
Published April 16, 2010 by with 0 comment

Merancang Kematian

Khutbah jum'at Merancang Kematian - Rutinitas kehidupan terkadang menyebabkan kita lupa pada kematian. Padahal, kematian itu adalah sebuah peristiwa besar yang pasti kita alami dan rasakan. Kematian adalah sunnatullah (sistem Allah) bagi setiap makhluk yang diberi-Nya kesempatan hidup di dunia ini, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya :
لُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamatlah akan disempurnakan balasan (amal) kalian. Maka, siapa yang (hari itu) dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah sukses besar. Dan tidak adalah kehidupan dunia ini kecuali (sedikit) kenikmatan yang menipu. (QS. Ali Imran : 185)

Jika kematian itu adalah sautu kebenaran yang pasti kita rasakan, maka mengapa kita seakan acuh-tak acuh saja padanya? Mengapa kita seakan melupakannya? Mengapa kesibukan menjalani kehidupan sementara di dunia ini menyebabkan kita seakan tidak maksimal dalam menghadapi kematian?

esibukan kita dalam menjalani kehidupan sementara ini, benar-benar telah memalingkan hati dan pikiran kita dari kematian; satu peristiwa besar yang pasti menimpa diri kita semua. Hal tersebut terbukti bahwa konsentrasi kita mengumpulkan harta, menambah jumlah tabungan bank, mencari berbagai sumber uang untuk merancang dan membangun rumah di dunia dan berbagai kebutuhan hidup lainnya melebihi konsentrasi kita merancang kematian itu sendiri. Padahal kematian adalah suatu kepastian. Hampir setiap hari kita melihat kematian. Sedangkan kematian adalah penentu keberhasilan atau kegagalan dalam perjalanan panjang kita menuju Allah Tuhan Pencipta alam.

Oleh sebab itu, mari kita fokuskan hidup kita untuk merancang kematian, dengan cara mendesain hidup ini semuanya hanya untuk Allah dan dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya. Berbahagialah orang-orang yang diberi Allah kemudahan untuk mendesain semua aktivitas hidupnya hanya untuk Allah dan dapat dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul Muhammad Saw. Sebaliknya, celakalah orang-orang yang memilih jalan hidupnya selain jalan Allah, semua aktivitas hidupnya bukan untuk Allah dan dijalankan di luar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Download lengkapnya...
Read More
Published April 15, 2010 by with 0 comment

Menyambut Kematian

Menyambut Kematian - Kematian adalah suatu kepastian. Ia akan datang tepat waktu, tanpa bisa dimajukan atau diundurkan, kendati barang sedetik. Saat menghadapi kematian, petugas pencabut nyawa, Malakul Maut akan menyelesaikan tugasnya dengan sangat sempurna. Jika Anda adalah orang yang sukses menjalankan Misi Ibadah dan Visi Khilafah dengan baik ketika hidup di atas bumi Allah ini, maka Malakul Maut datang dengan penampilan yang sangat sopan, berpakaian putih bersih dengan aroma harum kasturi. Sambil tersenyum ia mencabut nyawa dari badan Anda dengan sangat hati-hati sehingga nyaris tidak Anda rasakan.
Ketika Anda menghembusakan nafas terakhir sambil mengucapkan لآ الــه الا اللــه (Tiada tuhan yang pantas disembah selain Allah), orang-orang di sekitar Anda akan melihat wajah Anda yang berseri-seri sambil tersenyum simpul. Anda bisa tersenyum karena mengetahui bahwa Anda adalah orang yang akan meraih Great Success (Kesuksesan Tanpa Batas), yakni akan masuk syurga, insya Allah.
Suasana di sekeliling Anda tiba-tiba berubah menjadi isak tangis dan kesedihan yang mendalam yang diekspresikan oleh anak, isteri, karib kerabat, sahabat, teman sejawat Anda yang sempat hadir menyaksikan peristiwa perpisahan sementara dengan Anda. Suasananya sangat kontras dengan ketika Anda memasuki fase kehidupan dunia, yakni ketika lahir sekian puluh tahun yang lalu. Ketika itu, Anda yang berteriak menangis sejadi-jadinya, sedang orang-orang yang ada di sekitarnya malah tersenyum dan tertawa. Sekarang suasana jadi terbalik, giliran Anda yang tersenyum dan mereka yang menangis sejadi-jadinya.

Sebaliknya, jika Anda adalah orang yang gagal menjalankan Misi Ibadah dan Visi Khilafah semasa mendapat jatah hidup di dunia, Izrail (Malakul Maut) akan datang kepada Anda dengan wajah yang marah, garang, hitam pekat dan berbau busuk. Ia akan memperlakukan Anda dengan sangat kasar sambil membentak-bentak dan berkata : Wahai Hamba Allah, Inilah balasan awal dari kegagalanmu dalam menjalankan Misi Ibadah dan Visi Khilafah, karena kesombongan diri, pembangkangan dan kedurhakaan pada Tuhan Pencipta, Allah Rabbul ‘Alamin. Download lengkapnya...
Read More
Published Maret 23, 2010 by with 0 comment

Mengukir Prestasi Dihadapan Ilahi

Mengukir Prestasi Dihadapan Ilahi - Telah dimaklumi bahwa, manusia pada mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa. Daripadanya berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia di negara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua. Dalam hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, artinya:“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Disebutkan dalam ayat ini bahwa kedudukan manusia dihadapan Allah adalah sama, tidak ada perbedaan. Adapun yang membedakan di antara mereka adalah dalam urusan diin (agama), yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
لَيْسَ ِلأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ بِالدِّيْنِ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ. (رواه البيهقي).
“Tidaklah seseorang mempunyai keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”

Ma’asyiral muslimin jama’ah Jum’ah rahimakumullah ...
Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai milyaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikembangkan. Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka temukan. Namun, kalau kita renungkan semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia. Download lengkapnya...
Read More
Published Maret 20, 2010 by with 0 comment

Abu Yasid Al Bustami

Nama lengkapnya adalah Abu Yasid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, ia lahir di daerah Bustan (Persia) yang terletak di propinsi Qumis pada tahun 188 H/804 M, nama kecilnya ialah Taifur. Kakeknya bernama Bostam, Abu yazid adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang tertua bernama Surusyan, seorang penganut agama zoroaster, kemedian memeluk agama islam di Adam kemudian Taifur (Abu Yazid) dan yang mudah bernama Ali. Ketiganya tergolong orang-orang yang ahli zuhud dan ahli ibadah. Hanya saja diantara ketiganya Abu yazid yang tinggi tingkatannya.
Sejak dalam kandungan konon kabarnya Abu Yazid telah memiliki kelainan, Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu yazid akan memberontak sehingga ibunya akan muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kahalalannya. Sewktu mencapai usia remaja, Abu yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Di suatu ketika gurunya membacakan ayat Al-qur’an surah luqman yang artinya:”barterimah kasihlah kepada aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorng sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum menjadi seorang sufi, ia telah manjadi fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang tarkenal adalah Abu Ali As-Sindi ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya. Dalam menjalani kehidupan aebagai seorang sufi selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur makan dan minum yang sedikit saja. Abu Yazid termasuk pembesar sufi di Baghdad pada abad ketiga hijriah. Ia memiliki sejarah kehidupan yang mengagumkan dan prilaku yang kadang-kadang sulit untuk di terima akal. Ini semua tidak terlepas dari peran orang tuanya yang sejak dini mengarahkan Abu Yazid untuk mendalami ilmu-ilmu Agama. Dalam sejarah di katakan bahwa ia pernah berguru kepada 113 orang alim.
Abu Yazid maninggalkan Bistam, merantau dari suatu negeri ke negeri lain selama 30 tahun dan melakukan disiplin diri dengan berpuasa disiang hari dan bertirakat sepanjang malam. Dalam pengembaraannya Abu Yazid selalu melakukan mujahadah (peniadaan nafsu diri) kepada Allah dan selama itu pula menurut pengakuannya tidak ada yang lebih sulit dari pada mempelajari ilmu teologi dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Di riwayatkan bahwa Abu Yazid berkata”aku pergi keMekkah dan melihat sebuah rumah (Ka’bah) berdiri sendiri aku berkata” hajku tidak diterima karena aku telah melihat banyak batu semacam ini, aku pergi lagi lalu aku melihat rumah itu dan juga tuhannya rumah itu, aku berkata ini bukan peng-esaan (tauhid) yang hakiki. Aku pergi ketiga kalinya dan hanya melihat Tuhannya, suara dalam hatiku berkata,” wahai Abu Yazid, jika engkau tidak melihat dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik, walaupun engkaun melihat dirimu sendiri maka engkau adalah seorang musyrik, walaupun negkau buta terhadap jagad raya. Maka dari itu aku bertaubat lagi dan taubatku yang kali ini adalah bertaubat dari memandang wujudku sendiri. Dalam perjalanannya keMekkah memakan waktu 12 tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia berjumpa dengan seorang pengkhutbah. Yang memberikan pengajaran, Abu Yazid segera membantangkan sejadahnya dan melakukan shalat sunnat.
Pada tahun berikutnya ia menunaikan ibadah haji, ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Disebuah kota dalam perjalanan, ada serombongan besar yang telah menjadi pasirnya ketika ia meninggalkan Mekkah, banyak orang yang mengikutinya, dan ketika Abu Yazid bertanya kepada mereka, mereka menjawab bahwa mereka igin berjalan bersamana dan menjadi pengikutnya. Melihat kenyataan itu Abu Yazid memohon kepada Allah, agar Allah tidak menutup penglihatan hamba-hamba-Nya karena dirinya dan agar dirinya tidak mejadi penghalang bai mereka, kemudian Abu Yazid melakukan shalat al-subh dan setelah selesai tiba-tiba dari mulutnya keluar ungkapan yang ganjil, ia berkata “sesungguhnya aku adalah Tuhan, tiada tuhan selain aku dan karena itu sembahlah aku!” mendengar ucapan Abu Yazid yang demikian itu. Kemudian orang-orang tersebut merasa kesal dan menganggap bahwa Abu Yazid adalah ornag gila, oleh karena itu mereka meninggalkan Abu Yazid, meskipun demikian kejadian itu sama sekali tidak menggoyahkan niat Abu Yazid untuk meneruskan perjalanannya menujuh Madinah.
Setalah kembali dari Madinah ia pulang keBisham untuk menemui Ibunya, sesampinya disana disaat tengah malam ia mendengar ibunya berdoa, Abu Yazid menangis lalu mengetuk pintu, ibunya bertanya siapa itu, kemudian ia menjawab anakmu yang terbuang, lalu ibunya membuka pintu dan matanya menjadi kabur, ibunya berkata kepada Abu Yazid “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur, karena aku telah sedemkian banyaknya menteskan air mata sejak berpisah denganmu, punggungku telah bengkok karena beban duka kutangguhkan itu.”
Abu Yazid merupakan tokoh sufi yang membawa ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang di bawanya banyak di tentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian ia memperolah banyak pengikut percaya kepada ajarannya. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tayfuriyah suatu kelompok yang dinisbatkan pada pemimpinnya yaitu Taifur Abu Yazid Al-Bustami. Ia juga merwayatkan sebagai hadits-hadits Nabi SAW dan ia mengikuti mazhab Abu Hanifah atau imam Hanafi.

AJARAN TASAWUF ABU YAZID AL-BUSTAMI
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Al-fana, Al-baqa dan Al-ittihad. Sebagai mana di ketahui Abu Yazid tidak menuliskan ajaran-ajaran tasawufnya dalam buku tertentu yang dapat digunakan sebagai sumber primer bagi sebuah penelitian, ajaran-ajarannya banyak di tulis oleh para pengikutnya.
al-fana dan al-baqa.
Abu Yazid adalah sufi yang pertamakali memperkenalkan paham al-fana dan al-baqa dalam tasawuf. Ia senantiasa dekat dengan Tuhan. Abu Yazid mencari-cari jalan untuk dekat dangan Tuhan. Ia berkata “aku bermimpi melihat tuhan, akupun bertanya” Tuhanku bagaimana jalan untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab tinggalkanlah dirimu dan kemarilah!.
Dari situlah pertama kali di kenalkan al-fana, dari segi bahasa fana berasal dari kata faniyah yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya di artikan sebagai keadaan moral yang luhur. Menurut Abu Bakar Al-kalabadzi. Fana adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana di capai setelah meninggalkan segala keinginan kepada Allah SWT bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan.
Adapun baqa berasal dari kata bagiah, arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah taswuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana, karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Ketika seorang sufi mengalami fana, ketika itu pula ia mengalami baqa, menurut Harun Nasution, paham al fana dan al baqa Abu Yazid tersimpul dalam kata-katanya:
اَعْرِفُهُ بِي حَتَّي فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَ فْتُهُ بِهِ فَحَيَّيْتُ
Artinya: “aku tahu melalui diriku, sehingga aku mati, kemudian aku tahu
Kepada-Nya melalui dari-Nya maka akupun hidup.”
Dari ungkapan tersebut tersirat suatu pemahaman bahwa ketika sedang mengalami al-fana, Abu Yazid tidak menyadari sesuatu (sekan-akan ia telah mati). Akan tetapi, pada saat itu juga ia merasa hidup dengan Allah dan hanya Allah yang ada dalam kesadarannya. Ketika Abu Yazid mulai berada di hadirat Tuhan, dalam pengetahuannya ia merasa bahwa Tuhan adalah dia dan dia Tuhan dan pada seperti inilah keluar kata-kata di mulut Abu Yazid ucapan-ucapan yang belum pernah di dengar dari sufi sebelumnya, di antara ucapannya misalnya: “aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena engkau adalah raja yang mahakuasa.”
Kondisi dan macam ini tidak terjadi kecuali jika al-arif (sufi) telah tertarik secara menyeluruh pada Allah sehingga ia tidak menyaksikan selain Allah. Kesadaran akan pribadinya telah hilang,ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia karena kesadarannya telah menyatu dengan khadirat Allah (kehendak Allah), bukan menyatu dangan wujud-Nyan.
Dengan demikian, dapat di ambil pernyataan akhir bahwa al-fana menurut Abu Yazid adalah sirnanya kesadaran akan diri dan alam sekitarnya karena kesadarannya telah menyatu dengan kehendak Allah, sementara al-baqa merupakan perasaan tahap hidup terus dengan Allah setelah terjadinya al-fana.
Al Ittihad
Paham al ittihad dalam istilah Abu Yasid di sebut dengan tajrid-al fana fil al-tauhid, yaitu penyatuan dengan Allah tanpa di perantarai oleh suatu apapun, ungkapan Abu Yasid tantang peristiwa mi’rajnya berikut akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan : “ pada suatu ketika Tuhan menaikkan dan menampakkan aku di hadirat-Nya, ia berkata padaku “ wahai Abu Yasid makhlukku ingin melihat engkau, aku menjawab hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, dan dandani aku dengan ke-akuan-Mu, dan angkatlah aku dengan ke-esaan-Mu sehingga kalau makhlukmu memandangku mereka akan berkata, kami telah menyaksikanmu, tapi sebenarnya yang mereka lihat adalah engkau dan aku tidak ada di sana.
Ungkapan Abu Yasid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya al Ittihad, dalam hal al-ittihad, seseorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah suatu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa bersatu dirinya dengan tuhan. Bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sesungguhnya ada dua wujud, maka dalam ittihad dapat terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dengan tuhan.
Abu Yasid pernah berkata tatkala dalam tahapan ittihad artinya : Tuhan berkata, semua mereka kecuali engkau adalah makhluk, akupun berkata, engkau adalah aku dan aku adalah engkau.
Dalam riwayat : suatu ketika seseorang melewati rumahnya Abu Yasid dan ia mengetuk pintu, abu yasid bertanya siapa yang engkau cari ? orang itu menjawab Abu Yasid. Abu Yasid berkata, “ pergilah dirumah ini tidak ada Abu Yasid kecuali tuhan yang maha kuasa dan maha tinggi.
Dari ungkapan ungkapan seperti itulah yang membuat Abu Yasid selalu keluar masuk penjara, karena perkataannya yang membingungkan orang orang awam.

Catatan:
Download lengkapnya...
Read More
Published Maret 09, 2010 by with 0 comment

Teori Kebenaran

Pengertian Kebenaran
1. Tinjauan Etimologi
Kata "kebenaran" berasal dari kata "benar" yang memperoleh awalan ke dan akhiran an yang berarti cocok dengan keadaan sesungguhnya, tidak bohong, atau sah. Dan kata kebenaran itu sendiri berarti keadaan (hal tersebut) yang benar (cocok dengan atau keadaan yang sesungguhnya).
Sidi Gazalba memberi pengertian "kebenaran" dengan mengemukakan lawan katanya, karena kata itu menjadi jelas, manakala kata itu dihadapkan pada lawan dan kita susulkan artinya.
Mudhar Ahmad mengatakan bahwa kata "benar" menyatakan kualitas keadaan atau sifat sebenarnya sesuatu. Semua itu bisa berupa pengetahuan (pemikiran) atau pengalaman (perbuatan).
2. Tinjauan terminologi
Secara terminologi, kebenaran mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti halnya arti etimologinya. Pengertian kebenaran secara terminologi berkembang dalam sejarah filsafat. Dalam aliran filsafat masing-masing aliran mempunyai pandangan yang berbeda tentang kebenaran, hal ini tergantung dari sudut mana mereka memandang. Secara garis besarnya paham-paham tersebut antara lain :
a.Paham idealisme memberikan pengertian bahwa "kebenaran" adalah merupakan soal yang hanya mengenai seseorang yang bersangkutan. Kebenaran itu hanya ide, materi itu hanya ide, hanya dalam tanggapan. Demikian dikatakan George Berkeley (1685-1753).
b.Paham realisme berpendapat bahwa "kebenaran" adalah kesesuaian antara pengetahuan dan kenyataan. karena pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata, gambaran yang ada dalam akal adalah salinan dari yang asli yang terdapat diluar akal. Aliran ini dipelopori oleh Herbert Spencer (1820-1903).
c.Kaum pragmatis memberikan defenisi "kebenaran" sebagai suatu proporsi adalah benar sepanjang proporsi itu berlaku atau memuaskan. Peletak dasar paham ini adalah C.S. Peiree (1839-1914). William James menambahnya bahwa kebenaran harus merupakan nilai dari suatu ide.
d.Paham fenomenologi berpendapat bahwa "kebenaran" itu adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan wujud atau akibat yang menggejala sebagai sifat nyata yang merupakan norma kebenaran. Mereka menganggap bahwa fenomena itu adalah data dalam kesadaran dan inilah yang harus diselidiki, supaya hakikatnya ditemukan dan tertangkap oleh kita.
Dari defenisi-defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka maksudkan dengan kebenaran adalah segala yang bersumber dari akal (rasio), pengalaman serta kegunaan yang dapat dibuktikan dengan realita yang ada. Dengan kata lain sebagai kebenaran ilmiah. Tapi ada kebenaran yang tak perlu dibuktikan atau dicari pembuktiannya, cukup kita terima dan yakin bahwa itu adalah suatu kebenaran.

Tingkat Dan Kriteria Kebenaran
1.Tingkat-Tingkat Kebenaran
Kebenaran yang dicari manusia dapat dicapai dengan berbagai cara. Di antara sekian banyak sumber, rasio dan pengalaman inderawi merupakan sumber utama sekaligus ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sumber lain seperti dikatakan oleh Ansar Bakhtiar adalah iluminasi atau intuisi. Selain itu, agama dan dogma termasuk sumber kebenaran.
Karena keanekaragaman sumber tersebut, maka kebenaran itu terbagi atas beberapa macam tingkatan, tergantung dari segi mana orang berpijak untuk membaginya.
a. Dipandang dari segi "perantara" untuk mendapatkannya, kebenaran terbagi atas :
1)Kebenaran inderawi (empiris) yang ditemui dalam pengamatan dan pengalaman.
2)Kebenaran ilmiah (rasional), diperoleh lewat konsepsi akal.
3)Kebenaran filosofis, yang dicapai melalui perenungan murni.
4)Kebenaran religius, yang diterima melalui wahyu Ilahi.
b. Dilihat dari segi “kekuasaan” untuk menekan orang menerimanya, kebenaran dibagi dua :
1)Kebenaran subyektif, yang diterima oleh subyek pengamat sendiri sesuai dengan anggapan moral si subyek.
2)Kebenaran obyektif, yang diakui tidak hanya oleh subyek pengamat, tetapi juga oleh subyek-subyek lainnya, sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir.

Tiap orang menganggap pengetahuannya benar, apakah kita mengetahui kebenarannya atau tidak, tergantung pada pembuktian. Bukti adalah tanda kebenaran manakala pengetahuan itu sesuai subyek yang diketahui, maka ia adalah kebenaran obyektif.
c. Dari segi "kualitasnya (tinggi rendahnya)" kebenaran bertolak seberapa jauh keselarasan tanggapan subyek dengan kenyataan obyek.
Menurut Karl R. Popper, tinggi rendahnya kebenaran itu adalah gagasan tentang tingkat korespondensi yang lebih baik atau lebih buruk terhadap kebenaran atau ide tentang keserupaan yang lebih besar terhadap kebenaran. Misalnya pemikiran akan jawaban soal bergantung pada pemahaman atau tanggapan subyek (peserta ujian) mengenai soal tersebut. Yang akhirnya hasil ujian ini beraneka ragam ada yang tinggi dan ada yang rendah. Lebih jelasnya, kualitas kebenaran itu ada tiga yaitu :
1)Kebenaran mutlak (absolut), yakni kebenaran yang sebenar-benarnya, kebenaran sejati, sempurna atau hakiki.
2)Kebenaran nisbi (relatif), yang masih beragam sifatnya, belum utuh, dan masih mengandung kesalahan dan hanya berlaku pada masa tertentu.
3)Kebenaran dasar, kebenaran yang tidak dapat dipersalahkan dan masih perlu penegasan.
Pada dasarnya filsafat dan ilmu bertujuan ingin mencapai kebenaran mutlak, namun sepanjang sejarah perkembangan manusia hanya mampu mencapai kebenaran relatif dan spekulatif. Kenyataan dengan mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Selama manusia hanya mengandalkan dirinya sendiri, dia tidak akan mampu mencapainya tanpa dukungan dari luar diri manusia, yakni wahyu. Kebenaran spekulatif dan relatif ini, suatu saat akan ditinggalkan manusia, pada saat ditemukan teori baru yang lebih benar.

2.Kriteria Kebenaran
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh karena itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.
a.Ciri yang pertama ialah adanya suatu berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini, maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain menurut logika tertentu.
b.Ciri kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyadarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
c.Adapun cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik. Kegiatan berpikir yang tidak berdasarkan penalaran umpamanya adalah intuisi, sebagai suatu kegiatan berpikir yang non-analitik, tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu.
d.Selain itu, bentuk lain dalam usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan adalah wahyu atau kitab suci yang diturunkan kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasulnya untuk dapat dijadikan pedoman dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia. Ilmu yang merupakan implikasi dan manifestasi wahyu tersebut disebut sebagai pengetahuan dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan Kitab Suci agama memiliki nilai kebenaran suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
Ilmu, dalam upaya menemukan kebenaran, mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria kebenaran. Kriteria tersebut sering juga disebut sebagai teori. Sampai dewasa ini, yang digunakan orang sebagai teori untuk menemukan hakikat kebenaran yang telah terlembaga, yaitu :
1) Teori kebenaran korespondensi merupakan teori kebanaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan obyek yang dikenai pernyataan tersebut. Artinya, bila kita mengatakan bahwa “gula itu rasanya manis" maka pernyataan ini adalah benar sekiranya dalam kenyataannya gula itu rasanya memang manis. Sebaliknya, jika kenyataannya tidak sesuai dengan materi pernyataan yang dikandungnya, maka pernyataan itu adalah salah. Umpamanya saja, pernyataan yang menyebutkan bahwa “gula itu rasanya asin”. Dapat disimpulkan bahwa sifat salah atau benar dalam teori korespondensi disimpulkan dalam proses pengujian (verifikasi) untuk menentukan sesuai atau tidaknya suatu pernyataan dengan kenyataan yang sebenarnya.
Teori korespondensi dikenal pula dengan teori kebenaran tradisional (lama) yang telah dirintis oleh Aristoteles, yang menyatakan bahwa : Segala sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subyek. Atau dengan kata lain adalah suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian (koresponden) dengan kenyataan yang diketahuinya.
2) Teori kebenaran koherensi berpandangan bahwa kebenaran adalah suatu pernyataan yang konsisten (consistence, cocok) dengan pernyataan lainnya yang telah diketahui dan diterima sebagai benar. Teori ini termasuk aliran tradisional yang dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibiz, Spinoza, Hegel, dan lain-lain.
3) Teori kebenaran pragmatis, merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Jadi bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori itu benar. Sekiranya, dalam kurun waktu yang berlainan, muncul teori lain yang lebih fungsional, maka kebenaran kita alihkan kepada teori baru tersebut. Dalam dunia keilmuan, nilai kegunaan pengetahuan didasarkan kepada referensi teori yang satu dibandingkan dengan teori yang lain.
4) Teori kebenaran sintaksis, segala pemikiran yang bertolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan kata lain suatu pernyataan memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan, maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Schleiermacher (1768-1834).
e. Teori kebenaran semantis, yakni bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Teori ini dianut para filosof analis bahasa seperti Bertrand Russel.
Demikian beberapa teori tentang penemuan hakikat kebenaran yang dikemukakan para pakar sebagai bahan studi dan perbandingan, yang antara satu sama lain memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Catatan:
Makalah diatas belum lengkap, silahkan download lengkapnya...
Read More