Published Maret 13, 2011 by with 0 comment

IBNU ‘ARABI (Konsep Wahdah al-Wujud)

Tasawuf dalam Islam timbul bersamaan dengan agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi rasul untuk segenab manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi rasul, berulang kali telah melakukan tahannus dan khalwat di Goa Hira. Di sampaing untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan, Nabi Muhammad juga mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari noda-noda yang menghinggapi masyarakat waktu itu.
Mustafa Zahri mengemukakan apa yang disinyalir oleh Syekh A. Baqi Surur bahwa tahannus Rasulullah di Gowa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf. Itulah benih-benih pertama kehidupan rohaniyah yang disebut ilham hati atau renungan-renungan rohaniyah yang merupakan gambaran lengkap kehidupan sufi yang sebenarnya. Dari sinilah sedikit demi sedikit lahir mazhab-mazhab rohaniyah yang terjun ke gelombang dunia tasawuf.
Tasawuf atau sufisme sebagaimana mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperolah hubungan langsung dan disadari benar bahwa seseorang telah berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme termasuk di dalamnya sufisme, adalah kesadaran adanya hubungan yang komunikatif dan dialogis antara roh manusia dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Itu mengambil bentuk ittihad, yakni bersatu dengan Tuhan. Akan tetapi, sepanjang perjalanan sejarahnya tasawuf pun tak luput dari kecurigaan dan kecaman keras dari golongan Islam ortodoks. Pertentangan antara golongan yang pro dan kontra terhadap tasawuf misalnya, pertentangan antara ahli tasawuf dengan ahli fiqhi, antara ahli hakikat dengan ahli syari’at, antara penganut ajaran isoterik (batin) dan penganut ajaran eksoterik (dzahiri). Komplik terbuka tersebut tidak dapat dihindarkan, bahkan semakain tajam sejak munculnya kecenderungan pada ajaran ittihad Abu Yazid al-Bustami (w. 261/875) dan ajaran hulul Husain Ibnu Mansur al-Hallaj (w. 309/922).
Ajaran-ajaran ini dikecam oleh para ulama ortodoks karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Komplik ini memuncak dengan peristwa tragis, yaitu hukuman mati bagi al-Hallaj di tiang gantungan. Di kalangan sufi memang ada upaya mendamaikan antara tasawuf dengan syari’at sejak abad II Hijriah. Gerakan ini dipelopori oleh Abu Zaid al-Harraz (w. 286/899), Abu al-Qasim Muhammad al-Junaid (w. 298/911), Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (385/995). Namun demikian, hubungan baik yang telah dibina antara tasawuf dengan syari’at ternyata tidak dapat dipertahankan cukup lama. Hubungan ini mulai retak terutama ketika kecenderungan kepada pantheisme muncul kembali dalam bentuknya yang lebih jelas dalam ajaran wahdah al-wujud oleh Muhyi al-Din al-Arabi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Maret 11, 2011 by with 0 comment

Jaminan Sahabat Masuk Syurga dan Adab (Etika)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadis merupakan sumber hukum yang kedua dari Al-Quran. Namun perlu dipahami bahwa al-Qur’an dan hadis tidak sekedar membahas tentang hukum dan ibadah tapi lebih luas dari itu, seperti berbicara tentang tatanan sosial kemasyarakatan, interaksi sosial, adab dan akhlak.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk melakukan penelitian terhadap hadis yang akan menjadi landasan atau dasar untuk melakukan salah satu ibadah dan menentukan suatu hukum ataukah menentukan suatu informasi yang benar-benar datangnya dari Rasulullah. Salah satu contoh, yaitu hadis yang menjadi pokok pembahasan pemakalah, dimana hadis tersebut memberikan informasi tentang seseorang (sahabat) yang akan masuk sorga.

I. Matan Hadis Pertama Yang Ditakhrij
A. Matan Hadis Bokhari

فَجَاءَ رَجُلٌ فَاسْتَفْتَحَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَفَتَحْتُ لَهُ فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ فَبَشَّرْتُهُ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ فَاسْتَفْتَحَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَفَتَحْتُ لَهُ فَإِذَا هُوَ عُمَرُ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ اسْتَفْتَحَ رَجُلٌ فَقَالَ لِي افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُهُ فَإِذَا عُثْمَانُ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ *


B. Takhrij al-Hadis

Hadis tersebut di atas, ditakhrij dari kitab Shahih Bukhari dan Sunan At-Turmuziy dengan menggunakan kitab Mu’jam Al-Mufahras dengan bantuan CD Digital yaitu: Mausu’ah Hadis Asy-Syarif. Dengan melihat akar kata dari lapadz فتح, يفتح, افتح.

C. I’tibar Sanad
Dari skema di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa periwayatan atau takhrij hadis melalui jalur riwayat Bokhari dan at-Turmiziy terjadi perbedaan sanad pada thabaqat Tabi’ittabi’in.

D. Kritik Sanad Hadis I
Melalui periwayatan jalur Bokhari ini, terdapat enam sanad termasuk Bokhari, di antaranya adalah:
1. Al-Bokhari
2. Ahmad bin Abdah
3. Hammad bin zaid
4. Ayyub
5. Utsman an-Nahdiy
6. Abi Musa Al-Asy’ariy.

II. Matan Hadis Kedua
A. Matan (Redaksi) Hadis at-Turmuziy

فَدَخَلَ حَائِطًا لِلْأَنْصَارِ فَقَضَى حَاجَتَهُ فَقَالَ لِي يَا أَبَا مُوسَى أَمْلِكْ عَلَيَّ الْبَابَ فَلَا يَدْخُلَنَّ عَلَيَّ أَحَدٌ إِلَّا بِإِذْنٍ فَجَاءَ رَجُلٌ يَضْرِبُ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ قَالَ ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَدَخَلَ وَبَشَّرْتُهُ بِالْجَنَّةِ وَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ فَضَرَبَ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُمَرُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا عُمَرُ يَسْتَأْذِنُ قَالَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَفَتَحْتُ الْبَابَ وَدَخَلَ وَبَشَّرْتُهُ بِالْجَنَّةِ فَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ فَضَرَبَ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا عُثْمَانُ يَسْتَأْذِنُ قَالَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُهُ قَالَ أَبمو عِيس
َى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ *

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan Download Makalah lengkapanya.
Download Sini
Read More
Published Februari 13, 2011 by with 0 comment

IBN MISKAWAIH (Falsafat al-Nafs dan Falsafat al-Akhlaq)

Pemikiran mengenai filsafat masuk ke dunia Islam setelah terjadinya interaksi antara kebudayaan Islam dan non Islam, terutama bangsa Yunani. Pada masa daulah Bani Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid tahun 786 M, yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan sehingga ia sangat giat menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, buku yang diterjemahkan adalah buku yang mengenai kedokteran, ilmu pengetahuan dan filsafat serta buku-buku filsafat Aristoteles, Plato dan Gaelan.
Dari usaha yang digeluti oleh khalifah tersebut timbulah minat orang-orang Islam untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga bemunculanlah para cendekiawan dan filosof dikalangan umat Islam, seperti al-Kindi, al- Farabi, Ibn Sina, al-Razi dan Ibn Miskawaih yang mengenai filsafat al-Nafs dan filsafat al-Akhlaq.
Ibn Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof muslim sekaligus sebagai seorang cendekiawan muslim. Banyak ilmu yang dikuasai, tetapi ia sangat terkenal setelah ia mengarang buku di bidang akhlaq yang berjudul “Tahhdzibu Akhlaq wa Tahhir al-A’raq”.

1.Biografi Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada tanggal, 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari, dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.
Perihal kemajuannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya Ibn Miskawaih sendiri terlahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama Bapaknya, Muhammad.
Ia juga diduga beraliran Syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi pada al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-Muhallabi pada tahun 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn Al-Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray. Setelah Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaiki, ‘Adhud al-daulah. Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai Bendahawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.
2.Pemikirannya
a.Filsafat al Nafs (jiwa).
Adapun jiwa, menurut Ibn Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argumen, Ibn Miskawaih memajukan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan warna putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikan. Bahkan menurut beliau, kebahagian dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan bukanlah kelezatan hakiki.
Menurut ibn Miskawaih keberadaan jiwa dimaksudkan untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya ruh bagi manusia. Namun, ruh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi :
1)Indera, setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
2)Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
3)Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain, intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
4)Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
5)Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
6)Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Februari 08, 2011 by with 0 comment

Isim-isim Istifham

أَسْـمَاءُ اْلأِسْتِفْهَـامُ

A. Pengertian
Isim istifh±m secara umum kita pahami adalah suatu kata yang mengandung pertanyaan atau ketika isim istifh±m diletakkan pada awal kalimat maka itu memberikan pengertian terhadap lawan bicara bahwa dia menanyakan sesuatu.

B. Huruf-Huruf Istifham
Huruf-huruf istifh±m mempunyai beberapa macam, dan masing-masing memiliki perbedaan dengan huruf istifh±m yang lain dalam penggunaan dan fungsinya.

1. مَنْ، وَمَنْ ذَا
Digunakan untuk bertanya pada sesuatu yang berakal.
2. مَـا، وَمَـاذَا
Keduanya digunakan untuk bertanya pada sesuatu yang tidak berakal, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, profesi, sifat, dan benda
3. مَنْ، وَمَـا
Sebagaimana yang di atas bisa mau£ul dan istifham
4. مَتَى
Adalah juga sebagai ªarf yang digunakan untuk bertanya tentang zaman atau waktu yang telah lalu atau yang akan datang
5. أَيْـنَ
Adalah juga sebagai ªarf yang digunakan untuk bertanya tentang tempat yang tertuju pada sesuatu
6. أَيَّانَ
Adalah juga ªarf yang digunakan untuk bertanya tentang keadaan dan waktu, hampir sama dengan makna متى, akan tetapi hanya digunakan pada waktu yang akan datang, tidak pada waktu yang telah lalu
7. كَيْفَ
Isim yang digunakan untuk menanyakan keadaan sesuatu
8. أَنَّى
Bermakna من أين
9. كَمْ
Digunakan untuk bertanya tentang bilangan yang ingin diperjelas
10. أَيُّ
Pertanyaan yang menuntut kejelasan sesuatu


C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai isim-isim istifh±m, dapat memberikan pemahaman terhadap bentuk-bentuk kalimat yang mengandung pertanyaan, baik itu pertanyaan mengenai waktu, tempat, benda, pekerjaan, sifat, dan lain-lain bahwa setiap tersebut di atas mempunyai ciri tersendiri didalam penggunaan isim-isim istifh±mi sebagaimana contoh-contoh diuraikan.
Dengan demikian sesuatu yang ditanyakan dapat dibedakan dengan melihat isim-isim istifh±m yang digunakan di awal kalimat pertanyaan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan Download disini untuk lengkapnya
Read More
Published Januari 14, 2011 by with 0 comment

Analisis Perbandingan Tentang Ilmu

Makalah yang ditampilkan dalam blog ini belum lengkap, hanya bagian besarnya saya sebagai gambaran buat saudara. Kalau bahan ini dapat membantu anda silahkan di download disini.

Pendahuluan
Dewasa ini ilmu sudah di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia. Ilmu bukan saja menimbulkan dehumanisasi, namun kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan atau dengan kata lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidupnya.

Pengertian
Kata ontologi, epistimologi dan aksiologi, menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani. Kata ontologi berasal dari kata "ontos" yang berarti "berada" , atau pengkajian tentang hakikat yang ada. Kata epistomologi berasa dari kata "epistime" yang berarti "pengetahuan" logos berarti "teori, uraian atau ulasan". Jadi epistemologi dapat diartikan tentang cara mengetahui yang ada. Dalam bahasa inggris dipergunakan istilah theory knoledge.


Pembahasan
A. Ontologi (hakikat) علم حقيقة
Dalam persoalan ontologi, orang menghadapi persoalan bagaimana menerangkan hakikat dari segala yang ada, misalnya dalam agama, ontologi memikirkan tentang Tuhan. Dari pengalaman manusia sehari-hari, ternyata bahwa melihat, mengukur dan menghukumkan tentang bagaimana keadaan sebenarnya dari suatu benda selama dikacaukan dua perkara:

B. Epistemologi
Dalam Teori epistemologi yang membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha memperoleh pengetahuan, umumnya dikenal tiga hal yang menjadi sumber atau sarana terciptanya pengetahuan yaitu akal, indra dan intuisi, ketiga hal ini juga di akui oleh epistimologi al-Gazali. Hal tersebut lebih bersifat kegiatan dari pada suatu produk yang siap dikomsumsi.

C. Aksiologi
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering terlibat dalam pembicaraan nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi dan nilai kondisi. Kita bisa melihat pemandangan yang indah, menyaksikan perilaku anak yang sopan terhadap orang tuanya, merasakan suasana lingkungan yang menyenangkan, merasakan kondisi badan sehat dan segar. Semua yang telah kita alami kita berikan nilai. Pemandangan alam dengan nilai indah, perilaku anak terhadap orang tuanya dengan nilai sopan, dan seterusnya.

Download disini Makalah lengkapnya.

Read More
Published Januari 09, 2011 by with 0 comment

HUSAIN IBNU MANSHUR AL-HALLAJ ( Konsep al-Hulul )

Nama al-Hallaj mencuat kepermukaan dan menjadi buah bibir para ulama dan sufi sesamannya serta menjadi tema diskusi masyarakat akademis hingga hari ini. Ketenaran nama al-Hallaj adalah karena faham “al-Hulul” yang merupakan pengalaman batiniyah diungkapkan kepada masyarakat umum. Pengalaman al-Hallaj tersebut tidak hanya menggerakan masyarakat awam, bahkan mengejutkan para sufi sezamannya.
Al-Hallaj mengatakan bahwa barang siapa yang menyangka ketuhanan bercampur dengan keindahan menjadi satu atau keindahan masuk ke dalam ketuhanan, mka kafirlah orang itu, sebab Allah sendiri dalam zat-Nya dan sifat-Nya dari pada makhluk bentuk apapun.
Teofani “Ana al-Haq” yang merupakan pengalaman kesatuannya dengan Tuhan, mendapat tanggapan kontroversial. Ada yang memujinya dan salut kepada al-Hallaj dan ada pula yang mencacimakinya. Reaksi terhadap pernyataan tersebut tidak hanya menjadi bahan pembicaraan kontroversial, tetapi lebih dari itu. Pernyataan tersebut selanjutnya mengantarkan al-Hallaj ke tiang gantungan yang mengakhiri hayatnya. Al-Halalj bukan saja tokoh sejarah, tetapi juga sebuah legenda. Kisah-kisah tentang dirinya masih terus dikenang hingga sekarang ini.
Al-Hallaj yang terkenal dengan faham al-Hulul-nya yang mendasarkan dua sifat ketuhanan yang disebutnya اللا هوت dan الناسوت (manusia mempunyai sifat ketuhanan dan Allah mempunyai sifat kemanusian) yakni Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia setelah manusia mampu melenyapkan sifat kemanusiannya melalui fana. Ketika al-hulul berlangsung keluarlah syatahat dari lidah al-Hallaj yang berbunyi “أناالحق”.

A. Riwayat hidup
Al-Hallaj nama lengkapnya adalah Mughits Husain bin Manshur al-Hallaj Dia dilahirkan di Baidha Persia pada tahun 244 H/858 M. Pada usianya yang sangat belia, al-Hallaj sudah mempelajari tata bahasa Arab, menghafal al-Qur’an dan tafsirnya serta mempelajari teologi. Ia belajar kepada seorang sufi terkenal yaitu Sahl al-Tsauri. Sehabis belajar dengan sufi tersebut ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada Amar ibnu Utsman al-Makki seorang sufi terkemuka di zamannya, tetapi tidak lama kemudian ia pindah. Pada tahun 264 H/878 M., ia pergi ke Bagdad dan balajar pada Junaid al-Bagdadi, pemuka sufi di sana.
Al-Hallaj tidak lama berguru kepada Junaid al-Baghdadi, kemudian pergi meninggalkan gurunya karena berbeda pendapat. Al-Hallaj terkenal sebagai sufi yang gemar berkelana ke berbagai daerah, sehingga al-Hallaj banyak berkenalan dan sekaligus belajar pada sufi-sufi kenamaan. Ia mengembara ke India dan Asia Tengah, bahkan ada keterangan bahwa ia sampai ke Negeri Cina.
Perjalanan yang beliau lakukan telah memberikan pengalaman yang banyak, sehingga ia mempuyai andil bagi terbentuknya pandangan dan pendirian dan keyakinan keagamaan yang kuat yang berbeda dengan kebanyakan sufi waktu itu. Di usianya ke 53 tahun, ia telah menjadi perbincangan dan isu konflik di tengah-tengah cedekiawan muslim waktu itu disebabkan konsep tasawwufnya yakni al-Hulul yang bergulir di masyarakat.
Al-Hallaj dikenal sebagai seorang sufi dengan syair-syairnya yang menggugah keimanan. Namun, penentangan terhadap konsep tasawufnya mulai berdatangan. Di antaranya datang dari ulama fiqhi terkemuka yaitu Ibn Daud al-Asfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran Al-Hallaj adalah sesat. Atas dasar itulah Al-Hallaj dipenjarakan. Akan tetapi setelah satu tahun di penjara, ia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang sipir yang menaruh simpati kepadanya karena melihat kemurnian hidup beliau selama dalam tahanan.
Dalam kondisi yang dilematis, ia melarikan diri ke Sus. Di sana ia bersembunyi selama empat tahun dengan tidak merubah pendirian dan pandangan hidupnya. Akhirnya pada tahun 903 M., ia ditangkap kembali dan dimasukkan kembali ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya.
Delapan tahun dalam penjara, tidak melunturkan pendiriannya. Akhirnya pada tahun 901 M., diadakan persidangan ulama di bawah naungan kerajaan Bani Abbasyiah pada khalifah Al-Muqtadir dengan vonis hukuman mati dengan mula-mula dipukuli, dicambuk dengan cemeti lalu disalib. Kedua kaki dan tangannya dipotong dan lehernya dipenggal. Setelah itu, potongan-potongan tubuhnya ditinggalkan tergantung di pintu gerbang kota Bagdad.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Al-Hallaj sebelum digantung ia ditahan delapan tahun. Ketika digantung, dicambuk delapan kali tanpa mengeluh kesakitan. Kemudian barulah kepalanya dipenggal. Namun sebelumnya, ia sempat sembahyang dua rakaat. Setelah itu, kedua kaki dan tangannya dipotong. Badannya dibungkus dengan tikar bambu, kemudian dimasukkan ke dalam nafta lalu dibakar. Abunya dibuang ke sungai sedang kepalanya di bawah ke khurusan. Setelah itu kepalanya diperlihatkan di jalan agar orang-orang mengetahuinya.
Sebesar apakah dosa Al-Hallaj sehingga khalifah al-Muqtadir begitu marah dan tidak mengenal prikemanusiaan dalam memperlakukan Al-Hallaj ? Kematian Al-Hallaj yang menggemparkan dunia tasawuf waktu itu telah melahirkan sikap mutasawwif yang lain untuk lebih moderat. Sebagaimana ungkapan al-Syibli yang telah dikutip oleh Suwarjo dan Abdul Hadi “al-Hallaj dan aku memiliki kepercayaan yang sama, tetapi kegilaanku menyelamatkan diriku sedangkan kecerdasannya telah menghancurkan dirinya”.
Kematian al-Hallaj memang mengharukan. Nicholson sebagaimana yang dikutip A.J Arberry melukiskan keharuan itu:
“Tatkala ia dibawa untuk disalib dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh kepada orang-orang seraya berdo’a, yang diakhiri dengan kata-kata: dan hambaMu yang bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karuniamu, ampunilah mereka ya Tuhan dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya engkau anugerahkan kepada mereka apa yang telah engkau anugerahkan kepadaku, tentu mereka tidak melakukan apa yang mereka lakukan. Dan bila kamu sembunyikan dari diriku yang telah kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam segala yang engkau kehendaki”.
Ungkapan itu adalah sebuah isyarat keihlasan seorang sufi sejati yang rela berhadapan dengan resiko apapun tanpa terbesit kata-kata dendam. Meskipun berada di tiang gantungan semata-mata karena kehendak-Nya. Mengenai latar belakang hukuman mati yang ia terima, terdapat berbagai versi. Banyak penulis mengatakan bahwa kematian al-Hallaj disebabkan oleh serangkaian fatwa-fatwa sufinya yang dianggap menyesatkan umat Islam. Namun, dari sekian faktor yang menyebabkan al-Hallaj dihukum penjara dua kali, sampai akhirnya dihukum mati adalah persoalan politik.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak pemerintahan al-Muqtadir, negara berada dalam keadaan yang tidak stabil. Kelompok ekstrim Syi’ah Isma’liyah yang dimotori oleh kaum sufi tidak mengakui kepemimpinan pemerintahan Sunni di Baghdad, sehingga mengadakan perlawanan. Para sufi terus melakukan gerakan untuk menggulingkan pemerintahan Abbasyiah, khususnya di daerah Iraq Selatan. Al-Hallaj dihubungkan dengan gerakan tersebut dan perannya sangat menonjol sebagai tokoh Syi’ah Ismailiyah.
B. Ajaran al-Hallaj “al-Hulul”
Al-Hulul secara bahasa berarti nuzul dan iqamah (turun, menetap atau inkarnasi) . Sedangkan menurut istilah ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusian dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham ini pada awalnya muncul dari pemikiran bahwa Tuhan melihat pada dirinya. Tuhan berdialog dengan dirinya, dialog tanpa huruf dan tanpa bunyi. Tuhan hanya melihat ketinggian dan kemulian zat-Nya. Kecintaan Tuhan ini, menjadi sebab wujudnya sesuatu, yakni Adam. Setelah Tuhan menjadikan Adam, Dia memuliakan, mengagungkan dan mencintainya. Dalam kondidsi demikian, Tuhan berada dalam diri Adam. Hal ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Penghormatan Tuhan terhadap Adam dapat dilihat dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah (2): 34.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ(34)
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Al-Hallaj memahami ayat tersebut bahwa perintah Tuhan kepada Iblis agar bersujud kepada Adam. Karena dalam diri Adam terdapat roh Tuhan yang menjelma. Pada diri Adam terdapat kekutan lain di luar sifat kemanusian Adam, yaitu roh ketuhanan, sebagaimana juga terjadi pada diri Yesus dalam ajaran Kristiani, Tuhan menjelma dalam dirinya.
Persatuan Tuhan dengan manusia dapat diilustrasikan seperti kita melihat besi disapu api sampai merah. Dalam hal ini sulit bagi kita membedakan mana besi dan mana api atau seperti kita melihat ombak di laut. Kita sulit membedakan mana ombak dan mana air.
Gambaran cinta al-Hallaj kepada Allah dapat dilihat dalam sya’ir-syairnya:
Aku melihat cintaku dengan mata hatiku
Dan dia bertanya, “siapa kamu”?
Aku jawab, “kamu”

Juga terlihat dalam sya’irnya sebagai berikut:
سبحان من أظهرنا سوته سر سنالاهوته الثاقب
ثم بدالخلقه ظاهرا فى صورة الأكل والشارب
Maha suci zat yang menampakkan nasut-Nya
Dengan lahut-Nya, yang cerah seiring bersama
Kemudian ia tampak-Nya di dalam makhluknya
Seperti gambaran orang makan dan minum
Seperti bertemunya (kedipan) kelopak mata

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Desember 12, 2010 by with 0 comment

Modernisme dan Pasca Modernisme Telaah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi

Kedatangan Renaisance pada pertengahan abad 15 merupakan tonggak dimulainya fase modern. Masa dimana masalah ketuhanan atau hal-hal yag bersifat metafisik tidak banyak diperhatikan, bahkan cenderung diabaikan. Perhatian mulai difokuskan kepada hal-hal yang berifat konkrit yaitu kepada alam, manusia, hidup kemasyarakatan dan kepada sejarah. Beberapa penemuan dihasilkan seperti halnya Nikolas Kopernikus (1473-1543), seorang tokoh Gereja Ortodoks menemukan teori bahwa matahari berada pada pusat jagat raya dan bumi mempunyai gerak. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Johannes Kepler (1571-1630) dengan menemukan hukum gerak bagi planet-planet. Selanjutnya datang Galileo Galilei yang dianggap sebagai pahlawan modernitas karena jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Kemajuan tersebut memuncak pada dua peristiwa yang kurang lebih terjadi secara simultan, yaitu revolusi industri di Inggris yang menimbulkan kemajuan pesat dalam berbagai bidang kehidupan dan revolusi Perancis yang telah membangun norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia dengan semboyan yang terkenal: Kebebasan, Keadilan dan Persaudaraan. Suasana ini terus berlangsung disertai rasa optimisme besar bahkan diyakini sebagai sesuatu yang dapat membawa keselamatan dan berkat. Akhirnya masyarakat terpaku dalam hegemoni (keunggulan) modernitas. Kehidupan menjadi selalu didekati dan diukur dengan kriteria-kriteria tehnik. Jecques Elluel menyebutnya dengan istilah “Kebudayaan Teknologi”. Hal ini sebagai konsekuensi logis terhadap pendewaan rasio manusia. Rasio diyakini dapat mengatasi semua pengalaman yang bersifat khusus dan menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak, universal, tak terkait dengan waktu bahkan rasio bisa pula menjadi agama baru bagi manusia.

Kata modern dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai mutakhir, terbaru, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman. Sedangkan kata Postmodernisme tersusun dari kata Post yang berarti sesudah atau setelah dan makna Modernism berarti sikap, tingkah laku yang modern. Senada dengan pernyataan tersebut diatas Sidney I Landaw mengemukakan makna Post: Prefix after in time or order; following,yaitu awalan kata yang bermakna setelah pada suatu waktu atau kemudian. Sedangkan modernisme: character of modern time, yang berarti karakteristik dari kemoderenan.
Akbar S. Ahmed yang mengutip dari Oxford English Dictionary mendefenisikan Modernisme adalah sebagai pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi dalam masalah keyakinan agama agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernisme juga diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya kepada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan.
Munculnya modernisme dipandang sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan hidup. Agama meskipun penting tetapi dipandang tidak lagi terdapat dalam dogma melalui wahyu. Agama sudah harus ditegakkan diatas prinsip rasio. Seiring dengan kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan rasio tersebut, pandangan empiris datang memperkokoh sehingga kedaulatan rasio-empiris menjadi intrumen pengetahuan dalam menghidupsuburkan sains dan teknologi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...
Read More