Published Januari 19, 2012 by with 0 comment

NAHDATUL ULAMA (Suatu Gerakan Tradisionalis Islam)

 NAHDATUL ULAMA 
(Suatu Gerakan Tradisionalis Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagai sebuah gerakan, Nahdatul Ulama (NU) hadir seiring dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih terhegemoni oleh kekuasaan penjajahan asing (Belanda). Pada masa itu pula, setiap gerakan rakyat yang muncul selalu berdedikasi kepada keinginan untuk merubah keadaan bangsa dan meningkatkan kualitas warga bangsa melalui peningkatan kualitas keagamaannya. Paling tidak terdapat dua gerakan besar yang hadir pada masa itu dan berkembang pesat hingga kini sehingga dapat dianggap sebagai gerakan Islam terbesar di Indonesia. Walaupun keduanya lahir dalam suasana yang sama, tetapi dari sisi lain keduanya mempunyai wawasan yang berbeda, sehingga dalam perkembangannya, perbedaan itu menjadi ciri-ciri yang berkembang dengan sangat menyolok pada basis sosial masing-masing.

Dalam pandangan kosmologinya, NU lebih lebih mengutamakan harmoni dan sebisa mungkin menghindari konflik, pertimbangan rasa lebih utama ketimbang nalar atau rasio. Mempercayakan nasib pada takdir lebih dicondongi ketimbang mempetaruhkannya dengan kemampuan dan prakarsa sendiri sehingga NU dikatakan sebagai masyarakat keagamaan yang feodalistik dan mempunyai modal perilaku tradisional.

Namun mengapa organisasi atau kaum muslim tradisional cenderung diabaikan dan sebaliknya perhatian lebih banyak diberikan kepada organisasi atau kaum muslim modernis dan reformis ? pertanyaan ini memerlukan jawaban yang kompleks. Tetapi setidaknya terdapat anggapan-anggapan tertentu terhadap mereka dimana organisasi atau kaum tradisional pada umumnya dianggap tidak menarik karena dipandang sebagai orang-orang jumud yang ketinggalan zaman, berpikiran sempit dan picik, serta merupakan remnants (sisa-sisa) dari masa lampau yang tidak relevan lagi dengan situasi masa sekarang.

Anggapan-anggapan seperti ini harus diakui, namun perlu diuji kembali secara serius dalam skala perbandingan antara NU dengan organisasi lainnya. Misalnya Muhammadiyah yang selama ini dipandang sebagaimana organisasi modern dan reformis, namun justru tampak lebih tradisionalis darib pada NU yang justru lebih liberal dalam beberapa lompatan berpikir. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba mengkaji eksistensi Nahdatul Ulama sebagai salah satu organisasi pergerakan Islam terbesar di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang lahirnya NU. ?
2. Benarkah NU sebagai gerakan tradisional Islam ?
3. Bagaiman kifrah Kiprah NU dalam dunia pendidikan dan politik ?
---------------
BABII
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Nahdatul Ulama (NU)
Terbentuknya sejumlah pergerakan muslim yang menekankan pembaharuan keagamaan, modernisme pendidikan dan aksi politik memancing sebuah gerakan tandingan di kalangan ulama tradisional seperti Persatuan Ulama Minagkabau yang didirikan tahun 1921 dan diikuti dengan berdirinya NU di Jawa Timur pada tahun 1926.

NU didirikan di seputar jaringan kerja para tokoh agama yang berpusat pada pesantren di Jombang, Jawa Timur. NU mempertahankan prinsip-prinsip keagamaan tradisional dan mengikuhkan syari'ah, mazhab-mazhab fikih dan praktek sufi yang merupakan inti spritualitas mereka. NU menyangkal penegasan kaum reformis tentang posisi Al-Qur'an dan hadis menggantikan praktek Islam tradisional. Sekalipun demikian, perkumpulan baru ini menandai sebuah perubahan penting organisasi masyarakat Islam Jawa tradisional.
Sesungguhnya NU lahir karena reaksi terhadap dua hal. Pertama, ia merupakan reaksi terhadap politisasi agama yang dilakukan oleh Syarikat Islam (SI), dan kedua, merupakan reaksi terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah. Tetapi kedua hal tersebut bukanlah merupakan faktor langsung yang menyebabkan berdirinya NU. Adapun yang menjadi penyebab langsungnya adalah adanya penyambutan yang tidak baik terhadap gagasan K.H. Abdul Wahhab Hasbullah yang menyarankan agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktek keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia kepada raja Ibn Sa'ud di Mekkah. Penolakan yang dilakukan oleh kaum reformis telah menyebabkan kaum tradisional menjadi terpojok dan terpaksa memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, yakni membentuk sebuah komite yang dinamakan Komite Hijaz untuk mewakili mereka di hadapan raja Ibn Sa'ud. Untuk memudahkan tugas ini, tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisional yaitu NU. Persoalan ini kemudian dapat dipandang sebagai momentum kelahiran Nahdatul Uama.

Pada awalnya organisasi ini tidak mempunyai rencana yang jelas kecuali yang bersangkutan dengan masalah penggantian kekuasaan di Hijaz. Organisasi ini juga tidak memiliki anggaran dasar, tidak pula pendaftaran keanggotaan. Sehingga pada tahun 1927 barulah merumuskan tujuan organisasi. Organisasi ini bermaksud memperkuat ikatan pada salah satu dari empat mazhab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota yang sesuai dengan Islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di antara para ulama yang masih berpegang pada mazhab, pengawasan terhadap pemakaian kitab-kitab di pesantren, penyebaran Islam seperti yang diajarkan oleh mazhab yang empat, penambahan jumlah madrasah serta perbaikan organisasinya. Yang terpenting adalah pembentukan badan-badan untuk memajukan usaha para anggota NU.

B. NU Sebagai Gerakan Tradisional Islam
1. Perkembangan NU
Posisi dan peranan NU memiliki kedudukan yang unik tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia Islam. NU adalah organisasi yang didukung oleh rakyat banyak bahkan kehadiran NU mengakar di kalangan rakyat banyak terutama di pededesaan, pengaruhnya pun berkembang di seluruh Indonesia. Dengan gerakan tradisionalismenya itu timbul upaya-upaya untuk memperkuat sistem kelembagaan yang dipimpin oleh ulama terutama mesjid dan pesantren. Berbeda dengan Muhammadiyah yang mendirikan sekolah-sekolah umum, panti asuhan, poliklinik, dan rumah sakit. Namun NU melakukan beberapa kegiatan utama lainnya yaitu: pertama, melakukan aktualisasi ajaran-ajaran Islam dengan kegiatan yang kini terkenal dengan Bahtsul Masail. Sebenarnya dengan membahas masalah-masalah keagamaan yang aktual di masyarakat itu para ulama juga melakukan penggalian dan konsolidasi ajaran tradisional. Kedua, NU melakukan kegiatan yang sangat penting dalam memelihara tradisi Islam yakni mencetak kader-kader ulama, dengan cara ini NU sebenarnya juga melakukan suatu pewarisan nilai dari generasi ke generasi.

NU disebut sebagai organisasi massa Islam tradisional dengan ciri-ciri; pertama, NU menganut dan mengembangkan ajaran empat mazhab (Imam Syafi'i, Hambali, Malik, dan Hanafi). Kedua, metode pendidikan Islam yang diterapkan melalui pesantren-pesantren dinilai kurang mampu mengakomodasikan perkembangan dunia modern. Ketiga, pola hubungan struktural (interbal komunitas NU bersifat superordinasi) yang menunjukkan peran kyai pada strata atas dengan berbagai legitimasinya. Ciri inilah yang sering diperhadapkan dengan organisasi Muhammadiyah yang sering disebut berciri pembaharu, yakni purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari berbagai bentuk pengaruh tradisional.

Hingga saat ini perjalanan NU telah menunjukkan perkembangan dalam tiga fase dengan ciri-ciri yang berbeda. Pertama, sebelum kemerdekaan dengan ciri utamanya adalah kiprahnya lebih ditekankan pada pengembangan ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah melalui pendidikan pesantren. Kedua, NU melibatkan dirinya dalam politik praktis. Ini tampaknya juga berkaitan dengan situasi politik pada awal kemerdekaan atau sebagai dampak dari diakomodasinya kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh dalam masyarakat untuk mewujudkan diri mereka menjadi parta politik dengan bergabung di Masyumi yang merupakan salah satu representasi dari unsur islamisme yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, kembali ke khittah 1926, ini memiliki alasan yang kuat sehingga terus mendorong upaya mengembalikan NU pada semangat awalnya. Salah satu alasan yang cukup mendasar adalah selama NU berkiprah di politik praktis, ada kecenderungan yang menunjukkan gejala terlantarnya lembaga-lembaga pesantren sebagai basis pengembangan gerakan NU. Dalam perkembangan selanjutnya NU sekarang ini merupakan organisasi sosial keagamaan. Namun sebagian dari tokoh-tokohnya masih merupakan orang-orang yang aktif dalam kegiatan politik secara tersebar. 
Demikianlah perkembangan NU sebagai gerakan tradisonalis Islam yang pada awalnya memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga pesantren dan kemudian pada politik praktis dan yang terakhir telah kembali ke khittah (semangat) 1926.

2. Penganut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah
Sejak awal NU menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al-Qur'an, sunnah, ijma, dan qiyas. Oleh karena ingin mempertahankan dan mengembangkan paham ini maka NU berdiri.
Secara harfiah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama'ah adalah sahabat-sahabatnya. Secara ringkas berarti segolongan pengikut sunnah (jejak) Rasulullah saw yang di dalam melaksanakan ajaran-ajaran beliau berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jamaah (sahabat Nabi).

Pada persoalan-persoalan hukum, NU merupakan penganut "mazhab empat" terutama mazhab Syafi'i yang dikenal sebagai ulama moderat. Meskipun NU bermazhab tetapi penerimaannya tidak mutlak, hukum-hukum itu diperiksa, diselidiki, kemudian dijadikan pedoman.
Posisi religi-ideologis NU dalam hal hadis dan sunnah seperti itu diperkuat lagi oleh sikapnya yang khas dalam fikih. Mazhab fikih seperti dikemukakan Martin yang dikutip oleh Asyumardi Azra agaknya juga merupakan salah satu konsep yang paling sentral dalam lingkungan Islam tradisional. Bagi kaum tradisional, fikih adalah "Ratu" ilmu-ilmu Islam. Fikih dipandang sebagai panduan bagi segenap tingkah laku dan perbuatan kaum muslimin yang menetapkan mana yang boleh dikerjakan dan mana yang tidak.
Sejauh menyangkut fikih, NU sangat menekankan taklid dan sebaliknya cenderung tidak mendorong ijtihad, sebab dalam pandangan NU adalah berbahaya jika seseorang berpegang hanya kepada bacaan dan pengertiannya sendiri mengenai Al-Qur'an dan hadis. Bahkan tindakan seperti ini dapat membawa kepada dosa besa. Karena itulah kaum muslimin ditekankanuntuk mengikuti secara ketat ijtihad yang telah distandarisasikan dalam empat mazhab Sunni, yaituHanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi'i.

C. Perbandingan NU dengan Organisasi Modern dan Reformis (Muhammadiyah)
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pendahuluan bahwa NU merupakan organisasi yang digolongkan pada kaum muslim tradisional dan Muhammadiyah sebagai organisasi modern reformis, menggugah penulis untuk mencari titik perbedaan dan persamaan di antara keduanya. Hal ini diharapkan dapat mengantar kita untuk memahami kedua organisasi ini agar tidak terjadi mispersepsi terutama terhadap organisasi yang disebut oleh sebagian para ahli sebagai "organisasi tradisional" ini.
Dalam melihat fenomena, agaknya perlu dilakukan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Misalnya saja apakah "modernis-tradisionalis" itu mengacu kepada ideology keagamaan atau pada tingkah laku praktis. Apalgi dengan terjadinya perubahan-perubahan sosiologis dalam pemikiran dan gerakan Islam pada beberapa dasawarsa terakhir. Dalam hal ini maka Fazlur Rahman sebagaimana yang dikutip pula oleh Azyumardi Azra memperkenalkan distingsi dan tipologi semacam modernis (yang mencakup modernis klasik dan neorevivalis). Kerangka yang ditawarkan Rahman agaknya bisa bermanfaat untuk melihat kembali posisi NU dan Muhammadiyah. Dengan menggunakan kerangka Rahman, NU agaknya termasuk ke dalam tipologi "revivalis", ini setidaknya jika dilihat dari sudut wacana keagamaan kedua organisasi tersebut.
Penjelasannya cukup sederhana, NU ternyata cukup adaptif dalam meresponi tantangan intelektual dan institusional modern yang semakin banyak muncul dalam masa belakangan ini. Hal ini misalnya terlihat jelas dalam pembentukan Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) Summa. NU melakukan penafsiran ulang dan kontekstualisasi terhadap konsep-konsep fikih klasik yang berkenaan dengan masalah "riba" dan juga tentang kebolehan bekerjasama (ta'awwun) dengan pihak non muslim dalam pandangan sosial ekonomi umat Islam.

Sedangkan Muhammadiyah pada pihak lain, meskipun pada dasarnya juga sangat adaptif dan akomodatif terhadap institusi modern tetapi pada tingkat ideology keagamaannya adalah revivalis, karena orientasi yang kuat dalam paham keagamaannya kepada Salafisme. Paradigma ideologi Muhammadiyah adalah kembali kepada Islam pristine, Islam yang murni sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Penjelasan dan argumen dari para ahli lainpun bermunculan seperti Sayyed Hosein Nasr yang memberikan penjelasan terhadap esensi Islam tradisional yang dianut NU. Menurutnya istilah "tradisi" sebagaimana digunakan kaum tradisionalis sendiri mengacu kepada wahyu Allah swt dan pengejawantahan wahyu tersebut dalam kehidupan historis manusia di lingkungan tertentu.
Karena itu tradisi mencakup 3 aspek penting; pertama, al-Din dalam pengertian seluas-luasnya yang mencakup seluruh aspek agama dan ramifikasinya. Kedua, al-Sunnah yang terbentuk dan berkembang bersadarkan model-model sakral sehingga menjadi tradisi, dan ketiga, silsilah yaitu mata rantai yang menghubungkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran dalam dunia tradisional kepada yang maha awal. Singkatnya "tradisi" mengandung makna segala kebenaran sakral, abadi, kebijaksanaan perennial dan penerapannya yang terus menerus dari prinsip-prinsip yang abadi kepada berbagai kondisi ruang dan waktu.

Hal yang sama dikemukakan oleh Martin Van Bruinessen bahwa dalam memahami NU pertama-tama harus dipahami adalah apa yang dimaksud dengan istilah "tradisi". Menurutnya terdapat beberapa konsep kunci dalam Islam yang sering diterjemahkan sebagai "tradisi", yang terpenting di antaranya adalah hadis, sunnah, dan adat. Tetapi Martin beragumen tidak satupun di antara ketiga istilah itu yang bersifat co-extencive dengan "tradisionalisme" muslim.
Hadis yang secara sederhana berarti "berita" tetapi juga sering diterjemahkan sebagai "tradisi" adalah pernyataan yang dikaitkan dengan Nabi tentang berbagai tindakannya. Hadis tentu saja merupakan sumber doctrinal yang paling otoritatif bagi kaum muslim. Bahkan hadis memiliki dampak lebih besar dalam kehidupan mereka, karena hampir seluruh hal yang bersangkutan dengan keimanan dan ibadah harus lebih dahulu dirinci, dijelaskan dan diabsahkan hadis. Dengan demikian mereka sangat mementingkan hadis setidak-tidaknya dalam seluruh aspek keagamaan mereka.

Tetapi seperti yang dikemukakan Martin terdapat perbedaan di antara kaum tradisional dan kaum modernis reformis. Martin menyebut kedua kelompok ini dalam tarikan nafas yang sama dalam memberlakukan hadis. Kelompok modernis reformis tentu saja terkenal dengan slogannya yakni "kembali kepada Al-Qur'an dan hadis" dalam konteks terakhir yang mereka maksudkan adalah hadis shahih yakni hadis-hadis yang betul-betul telah teruji orientasinya, tidak mengandung kelemahan-kelemahan tertentu baik dari segi sanad maupun matan.

Sebaliknya kaum tradisionalis yang juga mengakui sangat pentingnya hadis-hadis sahih. Berdasarkan pada hasil survei yang dilakukan bahwa kebanyakan mereka menemukan hadis dalam bentuk yang sudah "diproses" yakni yang digunakan sebagai pendukung argumen-argumen fikih. Hal ini dilihat Martin sebagai inti (core) tradisionalisme NU, yakni lebih baik mengikuti ulama-ulama besar di masa silam daripada mengambil kesimpulan-kesimpulan sendiri berdasarkan Al-Qur'an dan hadis.

Dari uraian ini Azyumardi menyimpulkan bahwa kaum tradisionalis khususnya NU cenderung menerima hadis secara relatif longgar karena itu tidak terlalu kritis atau tidak sangat mempersoalkan tentang apakah hadis yang mereka terima itu banar-benar merupakan hadis shahih atau dha'if khusus dari segi sanadnya. Bagi mereka, kelihatannya yang lebih penting adalah matan atau substansi hadis, apalagi jika hadis tersebut dipandang dapat mendorong mereka kepada fadha'il amal, keutamaan dan kesempurnaan amal ibadah. Pengadopsian hadis seperti itulah yang menjadikan ibadah kaum tradisionalis lebih "berbunga-bunga" penuh dengan tambahan-tambahan yang oleh kaum modern reformis disebut sebagai bid'ah karena semata-mata berlandaskan pada hadis-hadis yang lemah.

Sebaliknya kaum modernis seperti dikemukakan sebelumnya memperlakukan hadis ekstra hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah otensitas atau kemurnian hadis terutama dari segi sanadnya. Mereka bisa menerima hanya hadis-hadis sahih sanadnya dan sebaliknya menolak hadis-hadis dha'if yakni cacat sanadnya meski matannya dapat mendorong ke arah apa yang disebut kaum tradisionalis sebagai "fadha'il al-amal". Konsekuensinya, ibadah-ibadah kaum modernis reformis cenderung tidak berbunga-bunga dengan kata lain cenderung sangat "bersahanja" dan karena itu agaknya "kering" dari pengalaman keberagamaan yang intens.
Kaum modernis dan reformis seperti diketahui tentu saja menekankan ijtihad dan menolak keras apa yang mereka sebut sebagai "taklid buta" yakni mengikuti saja pendapat ulama masa lampau tanpa pemikiran kritis. Bagi mereka, sikap taklid merupakan salah satu sebab pokok kemunduran Islam dan kaum muslimin. Karena itu jika kaum muslimin ingin maju maka harus meninggalkan sikap taklid buta dan sebaliknya mengembangkan ijtihad, berpikir secara independen untuk menghasilkan rumusan-rumusan baru yang lebih sesuai sesungguhnya tuntutan dan kebutuhan zaman.

Apakah sikap taklid itu betul-betul rigid dan tidak memberi peluang sama sekali bagi intervensi akal sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum modernis reformis ? Lagi-lagi Martin mengemukakan argumen yang provokatif bahwa taklid tidak harus berarti kaku (rigid). Berkenaan dengan kesediaan kaum tradisionalis untuk mengakomodasi berbagai pendapat yang berbeda dan inkonsisten dalam mazhab-mazhab fikih yang ada, terdapat potensi tertentu bagi pengembangan dan penyesuaian serta inilah yang sebenarnya terjadi dalam waktu akhir-akhir ini bahwa kaum ulama tradisionalis kelihatan lebih fleksibel dan longgar dalam meresponi berbagai masalah fiqhiyah dibandingkan dengan ulama-ulama modernis reformis. Di mana mereka lebih cenderung tidak berkembang, posisi mereka sekarang tetap sama dengan posisi yang mereka ambil sejak awal abad 20, ini adalah sebuah ironi.

D. Kiprah Politik NU dalam Dunia Pendidikan dan Politik
Sesuatu yang menarik untuk dicermati gagasan mengenai finalitas bentuk negara Indonesia justru dicetuskan oleh NU. Organisasi yang telah dikenal dengan identitas tradisionalnya. Pengakuan terhadap negara RI sebagai sebuah bentuk final dan sistem kenegaraan yang sah.
Demikan pula perubahan NU dari organisasi yang berwatak tradisional radikal menjadi organisasi sosial keagamaan yang mempelopori penerimaan asas tunggal Pancasila menjadi catatan tersendiri dalam sejarah hubungan NU dengan negara, hal ini karena pada dasawarsa 1970-an, NU tampil sebagai unsur PPP yang paling keras mengkritik kebijaksanaan pemerintah.

Perubahan tingkah laku politik tersebut yang tidak jarang melahirkan cap oportunis (politik elastis) karena diilhami oleh ideologi Sunni yang dianut NU. Dalam hal ini aspek normatif pendirian NU adalah pencapaian kemashlahatan umat, dasar inilah yang menjadi pijakan dalam menjalankan roda organisasi. Perilaku-perilaku riil NU yang tampak unik dan controversial pada dasarnya berangkat dari prinsip tersebut.
Sejak dikendalikan Abdurrahman Wahid, NU seolah memasuki era baru. Apalagi dengan mengamati dinamika generasi muda NU masa kini, terlihat semacam pergeseran pemahaman yang bisa dipertimbangkan untuk meninjau ulang identitas tradisional pada NU. Semangat kritisisme, egaliter, universal, inklusif dan liberal sangat kental dalam pemikiran kaum muda NU. Mereka tidak segan-segan mengadopsi paham Mu'tazilah, mengelaborasi doktrin Khawarij serta memperhitungkan paham Syi'aisme bahkan mereka sangat antusias terhadap wacana filsafat Barat dan pemikiran Islam kini.

Kendati NU dicap sebagai lambang tradisionalis akan memperjuangkan citra ketradisionalan yang kental dengan ajaran Islam, namun perannya di panggung sejarah pergerakan kemerdekaan sangatlah besar bahkan dapat mengalahkan partai politik seperti PKI. Pada saat NU terlibat dalam politik praktis telah mengantarkan tokoh-tokohnya terlibat langsung dalam mewarnai corak Islam pada peri kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjuangan NU di bidang politik kenegaraan juga tidak ketinggalan, ulama-ulama NU banyak yang merasa terpanggil untuk aktif dalam pemerintahan. Pada masa pendudukan Jepang para Kyai NU membentuk Hizbullah semacam unit militer bagi pemuda Islam yang bergerak memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Slogan mereka yang terkenal adalah "hidup mulia atau mati syahid".
Sampai saat ini peran NU tidak diragukan lagi dalam pergumulan modernitas politik kenegaraan dan ini menjadi cerminan tentang mencuatnya akar tradisionalisme dalam percaturan besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran-peran vital yang dimainkan oleh tokoh-tokoh NU secara modern tidak kalah dengan para tokoh-tokoh yang lebih dahulu dianggap berhaluan modern. Sehingga menempatkan NU sebagai bagian integral secara luas dalam proses pergulatan pemikiran Islam di Indonesia.

-----------------


BAB III
P E N U T U P
Kesimpulan
Setiap pergerakan yang hadir tidak pernah terlepas dari gejolak situasi sosial yang melingkupinya. Seperti halnya NU, hadir sebagai sebuah pergerakan dengan berbagai kapasitasnya. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, setidaknya sejak negeri ini berdiri, kesadaran semacam itu telah mengental di kalangan umat Islam. Sebab disadari bahwa agama pada dasarnya mempunyai peran strategis dalam mengembangkan etika sosial, ekonomi dan politik. Persoalan kemudian adalah, apakah proses artikulasi nilai-nilai Islam yang mesti diperjuangkan itu perlu melibatkan institusionalisasi agama dalam praksis sosial-politik yang bersifat formalistik atau tidak?

Tidak dipungkiri bahwa perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia tidak lepas dari peran strategis umat Islam yang memang mayoritas. Dalam hal ini, keterlibatan NU sebagai sebuah organisasi besar Islam di Indonesia tidak dapat disangkal. Basis pesantren sebagai jalur pengembangan pendidikan merupakan wadah yang sekaligus menjadi basis generasi NU ke depan.
-----------------
DAFTAR PUSTAKA

Anshariy, Suardi. The Role of Muslim Gramps in Contemporary Nationalisme Thesis MC Gill Canada, 1999.
Azra, Azyumardi. Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Bruinessen, Martin Van. Pesantren and Kitab Kuning; Maintenance and Continuation of a tradition of Religious Learning. Jakarta: Mizan, 1992.
Dhofier, Zamakhsyari. K.H. Hasyim Asy'ari; Penggalang Islam Tradisional. Cet. I; Jakarta: Prisma, 1984
____________. Tradisi Pesantren. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1982.
Feillard, Andre. Islam at Armee dans L'indonesie Contemporaine. Diterjemahkan oleh Lesmana dengan judul NU; Vis-à-vis Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 1999
Ismail, Faisal. Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Cet. I; Jakrta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI., 2004.
Ida, Laode dan Tanthowi Jauhari, Gusdur di antara Kebersihan dan Kenestapaan. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Khaidar, M. Ali. Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia Pendekatan Fiqhi Dalam Politik (Disertesi) untuk memenuhi tugas, guna memperoleh Gelar Doktor Ilmu Agama Islam di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam untuk Aksi. Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998.
Lapidus, Ira. M. A History of Islamic Societies. Diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas'adi dengan judul Sejarah Sosial Umat Islam, Bag. III. Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Erlangga, 1992
Nasr, Sayyed Hossein. Tradisional Islam in The Modern Word. London Dan New York: Kegan Paul Internasional, 1990.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1924. Cet. VIII; Jakarta: LP3S, 1996.
Pasha, Mustafa Kamal. dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif dan Ideologi. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rahardjo, Dawam. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi. Cet. I; Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Shaleh, Imam Anshori. NU Lepas dari Kemelut. Cet. I; Yogyakarta: Lukman Offset, 1986.
Syaukani, Ahmad. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam. Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Thaba, Abdul. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Wahid, Marzuki (at.al), Geger di Republik NU. Jakarta: LAPERSDAM NU, 1999.


Read More
Published Januari 17, 2012 by with 1 comment

MUHAMMADIYAH (Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan)


Pendahuluan
Pada awal Abad ke 20 dikenal sebagai masa kebangkitan nasional di Indonesia ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan nasional bangsa Indonesia yang menjelma dalam bentuk organisasi. Hal ini tampak tatkala didirikan “Budi Utoma” pada tahun 1908 oleh Dr. Sutomo, dan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi serta Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Amin Rais mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang merupakan suatu fenomena modern. Ciri kemoderenan dari organisasi ini menurutnya ada tiga hal pokok; Pertama bentuk gerakannya yang terorganisir, kedua aktivitas pendidikannya yang mengacu pada model sekolah modern untuk ukuran zamannya dan ketiga pendekatan teknologi yang digunakan dalam mengembangkan aktivitas organisasi terutama amal usahanya. Selanjutnya Nur Ahmad mengatakan bahwa Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai fenomena baru dari wajah Islam abad ke 20 yang kemudian melahirkan modernisme Islam Indonesia.

Adapun Deliar Noer mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah salah sebuah organisasi Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai pada era sekarang ini.
Dari pernyataan-pernyataan para ilmuan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan organisasi sosial keagamaan modern dalam Islam.
Disinyalir bahwa organisasi Sarekat Dagang Islam lahir didirikan oleh sekelompok santri untuk memainkan peranan dalam bidang perdagangan dan politik. Kehadiran Muhammadiyah yang notabene dirintis juga oleh kaum santri yang memegang sebahagian besar tanggung jawab umat dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Lahirnya berbagai organisasi di atas sudah barang tentu berfungsi sebagai suatu langkah yang diambil untuk merespon tuntutan zaman demi kepentingan masyarakat muslim.

Namun demikian Muhammadiyah dalam kurun waktu perjalanan sejarah hampir 1 abad lamanya sejak didirikannya pada tahun 1912 sampai saat ini kenyataannya membuktikan bahwa apa yang telah dirintis sebagai hal baru di masa lalu dengan penuh susah payah kini telah menjadi milik masyarakat umum, bahkan organisasi ini, kini ternyata dilanda gejala pengaburan eksistensi. Ia kini tidak banyak dikenal orang, dengan kata lain eksistensinya hanya dirasakan oleh sebahagian pengurus dan para anggotanya. Sementara di luar komunitas secara bersamaan maupun berurutan, umat kini dalam kondisi kritis menanti jawaban Muhammadiyah terutama realitas pemikiran dalam menghadapi tantangan baru.
Permasalahannya adalah bagaimana eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan modernis dalam Islam atau gerakan sosial keagamaan, yang dinamis dan realistis di tengah-tengah perubahan masyarakat modern? Pertanyaan yang problematika tersebut muncul sebagai cerminan akan keprihatinan masyarakat terhadap ketidak berdayaan organisasi Islam alam mengantisipasi berbagai persoalan umat sebagai tanggung jawab moril dan struktural

Tinjauan Historis Lahirnya Muhammadiyah
A. Latar belakang
Peranan K.H. Ahmad Dahlan cukup jelas, ia mendirikan organisasi persyarikatan Muhammadiyah tanggal 8 Dzulhijah 1330 H atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Sebagai gerakan Islam di dalam diri persyerikatan tersebut dititipkan amanah pembaharuan masyarakat, bangsanya berdasarkan cita-cita Islam.
Ketika Muhammadiyah didirikan umat Islam berada dibawah belenggu cengkraman penjajahan, kebekuan pemikiran keagamaan, rendahnya mutu pendidikan terlebih lagi jika dibandingkan dengan dunia pendidikan umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial dan yayasan Katolik / Protestan. Dalam bidang pelayanan sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo dan lain sebagainya mengalami nasib yang sama. Belum lagi situasi umum umat Islam yang sangat mengkhawatirkan seperti kebodohan, Keterbelakangan dan kemiskinan.
Dalam situasi tersebut di atas, muncullah ide untuk mendirikan suatu persyarikatan guna merespon tantangan Zaman tersebut dalam wujud pendirian sebuah “organisasi” yang menampakkan ciri khas model gerakan pembaruan keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia merupakan pioner, di samping sarekat Islam (SI).

Dalam bahasa HAMKA (1908-1981) ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan ini pertama Keterbelakangan dan kebodohan umat Islam di Indonesia pada semua aspek kehidupan, kedua kondisi kemiskinan yang parah yang dialami oleh umat Islam, Ketiga kondisi pendidikan Islam yang sudah amat kuno seperti yang telihat dalam pesantren.
Sedangkan Mustafa Kamal Pasyha mengatakan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini yakni faktor subyektif dan faktor obyektif.
Pertama : Faktor subyektif yakni hasil dari perenungan, penelaahan, pembahasan dan pengkajian yang mendalam Ahmad Dahlan terhadap al-Quran
Kedua : Faktor obyektif yang bersifat internal yakni ketidak murnian amalan umat Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an an Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebahagian besar umat Islam, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam ketika itu belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengembang misi selaku khalifah Allah di atas bumi.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal yakni semakin meningkatknya gerakan kristenisasi di Indonesia. Penetrasi bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia khusunya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia
Hadirnya Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, lepas pengaruh paham Modernisme Islam Timur Tengah yang dipelopori oleh ulama Cendikiawan Mesir “ Muhammad Abduh”
Muhammad Abduh secara khusus berpandangan bahwa kaum muslimin dapat bersatu hanya dengan mengikuti prinsip-prinsip Islam yang benar dan meninggalkan bid’ah dan khurafat-khurafat yang umumnya dianggap sebagai bagian integral agama. Selanjutnya berpendapat bahwa cara paling tepat untuk menjawab tantangan barat adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan masyarakat Islam sambil memegang teguh sumber-sumber Islam yang asli.
Juga tatkala pentingnya adalah adanya pertentangan internal masyarakat Jawa, dimana paling tidak ada dua kelompok yang bersemberangan yaitu “Priyayi” (muslim) yang dangkal tingkat komitmen keislamannya di satu pihak, dan kaum “santri” di pihak lain.

Sebagai keturunan kaum muslim santri, Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh di lingkungan yang religius tempat ortodaksi Islam tengah menghadapi ancaman serius Jawa-Hindu. Saat berdirinya Budi Utomo, Dahlan menyaksikan kuatnya Islam singkritis melalui kebangkitan kebudayaan priyayi. Dengan melihat kondisi seperti ini Ahmad Dahlan merasa terpanggil dan tertantang untuk bertindak segera melawan gelombang ini. Bagi Ahmad Dahlan tidak ada pilihan kecuali mendirikan organisasi yang dapat membebaskan Islam Jawa dari kebudayaan lokal dengan demikian dapat dipahami bahwa lahirnya Muhammadiyah merupakan respon logis terhadap “Ketidakmurnian” yang telah lama berakar dalam masyarakat Jawa yang dikembangkan oleh Priyayi.

B. Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di kampung kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis ayahnya adalah K.H. Abu Bakar, seorang khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama sitti Aminah putri K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta. Singkatnya bahwa Muh Darwis baik dari pihak ayahnya maupun pihak ibunya adalah keturunan ulama.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Kauman khususnya ketika itu tersebar pendapat umum bahwa barang siapa memasuki sekolah gubernuran dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah.

Selanjutnya ia menambah berbagai ilmu pengetahuan agama dari para ulama yang kenamaan di yogyakarta. Kemudian atas ajaran ayah bundahnya Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1890 M. Selanjutnya memanfaatkan kesempatan bersilaturrahmi dengan para ulama yang telah ditunjukkan oleh ayahnya di samping itu ia menerima berbagai ilmu pengetahuan di Masjid Haram. Ketika berguru pada ulama Mazhab Syafi’i Sayyid Bakri Shyanta dan mendapat Ijazah nama K.H Ahmad Dahlan. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1891 M. selain berganti nama juga bertambah ilmunya. Selain nama K.H. Ahmad Dahlan juga mendapat gelar khatib amin, setelah kembali dari tanah suci yang kedua kalinya ia disibukkan oleh berbagai kegiatan seperti berdakwah, mengajar, berdiskusi bahkan melibatkan diri pada organisasi yang telah ada seperti Budi Uotomo. Al-Hasil puncak dari pada usaha K. H. Ahmad Dahlan didirikanlah organisasi “Muhammadiyah” dengan harapan para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw.

C. Makan dari Nama Muhammadiyah
Secara etimologi Muhammadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama nabi dan rasul Allah yang terakhir. Kemudian mendapat “Ya Nisabah” yang artinya menjelaskan. Jadi Muhammadiyah berarti Umat Muhammad saw atau pengikut Muhammad saw yaitu semua orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Secara terminologi Muhammadiyah ialah gerakan Islam, dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam dan bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. di kota Yogyakarta dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya “Izzatul Islam wal Muslimin” kejayaan Islam sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.

D. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan organisasi ini telah mengalami beberapa kali amandemen, baik dari redaksional, susunan bahasa dan perubahan istilah. Pada mula berdirinya, rumusan maksud dan tujuannya adalah : Pertama menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putra, dalam residen Yogyakarta, memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Kemudian setelah organisasi ini melebar ke luar Yogyakarta, maka rumusannya disempurnakan menjadi. Pertama; meningkatkan dan mengembangkan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda. Kedua; memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam, kepada sekutu-sekutunya
Dalam perkembangan selanjutnya sebagai mana kita lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah Bab II pasal 2 sebagai berikut : Maksud dan Tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga tujuan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Prospek Muhammadiyah Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan
Eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dapat dilihat dari dua hal yaitu : 1. Ciri khas Muhammadiyah sebagai gerakan. 2. Esensi yang menjadi sifat strategi gerakannya.
Perjalanan sejarah panjang persyariktan Muhammadiyah memperlihatkan ciri khasnya yang menjadi identitas dari hakikat atau jati dirinya

1. Ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah pertama; Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, kedua; Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, ketiga; Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berarti segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah baik dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, kerumah tanggaan, perekonomian dsb tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Tegasnya kedepan gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dan wujud yang riel, konkrit dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar’ berkiprah ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai model usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak, semacam berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kanak-kanak hingga perguruan Tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, seluruh amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi atau perwujudan dakwah Islamiyah dengan niat dan tujuan yang tangguh, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sebagai pemurni ajaran Islam dari berbagai penyimpangan seperti; syrik, khurafat, bid’ah dan taqlid, yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang….. Tajdid yang dikenalkan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebagai pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah yang melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dan kehidupan masyarakat…
Untuk membedakan antara keduanya adalah “Tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (Purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation)

2. Esensi dari Kepribadian Muhammadiyah Terletak Pada Sepuluh Sifat yang dimilikinya
Pertama; Muhammadiyah beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Kedua; Memperbanyak kawan dan mengamalkan dakwah Islamiyah. Ketiga; Lapang dada dan luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat; Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Kelima; Mengindahkan segala hukum undang-undang peraturan, serta dasar dan Falsafah negara. Keenam; Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi corak teladan sesuai dengan ajaran Islam. Ketujuh; Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud Islah pembangunan sesuai dengan ajaran Islam Kedelapan; Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan ilmu serta membela kepentingannya. Kesembilan; membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain di dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah. Kesepuluh; Bersifat adil dan kreatif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Baik ciri perjuangan Muhammadiyah maupun esensi yang menjadi sifat strategisnya sebagai gerakan merupakan senjata yang paling ampuh dalam menghadapi tantangan di masyarakat baik dalam sejarah maupun dimasa yang akan datang. Muhammadiyah tetap eksis sebagai gerakan sosial keagamaan dihadapan setumpuk persoalan.

Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang cukup dan bermanfaat bagi pembinaan individu maupun sosial. Misalnya dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan program ini dalam skala yang besar dengan sistem yang berbeda dengan sistem yang dianut oleh pesantren pada masa lalu. Sementara telah ada institusi pendidikan yang dikelola oleh misionaris yang pada umumnya terletak di perkotaan dengan manajemen yang dianggap modern pada saat itu. Persoalannya ialah masih layakkah pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan kini sebagai gerakan reformasi.

Sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, Muhammadiyah akan senantiasa terlibat dengan setiap wacana masalah keumatan (kerakyatan), isu demokratisasi, Hak Asasi dan pemberdayaan rakyat serta gender. Setelah itu muncul kritik sistemik, krisis moral, korupsi dan lingkungan hidup, yang akan menjadi persoalan krusial, dihadapan Muhammadiyah sebagai organisasi yang didedikasikannya untuk keumatan harus merespon kenyataan tersebut. Persolannya ialah Mampukah Muhammadiyah kini untuk menjawab tantangan itu?
Berdasarkan paradigma Kontowijoyo, maka Muhammadiyah susah untuk merespon tantangan itu, Menurut Kontowijoyo, hal ini disebabkan oleh karena perspektif “Community development” Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas, oleh karena itu Muhammadiyah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Selama gerakannya belum pernah didasarkan pada elaborasi yang mendalam tentang realitas sosial yang obyektif. Gerakannya masih didasarkan atas kesadaran subyektif-normantik.
Misalnya, Muhammadiyah selama ini tampaknya masih belum bisa menerjemahkan siapa yang dimaksud dengan kaum Dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin dalam konteks sosial yang empiris. Keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial belum didasarkan pada kesadaran obyektif-empiris, namun didasarkan pada kesadaran subyektif normatif.
Adalah menjadi tugas ijtihad gerakan-gerakan pembaharu semacam Muhammadiyah untuk mulai membangun Islam dalam realitas obyektif. Di samping untuk terus memperjuangkan Islam dalam konteks kesadaran subyektif, kita berupaya memperjuangkan Islam dalam realitas obyektifnya.
Dalam konteks ini, memperjuangkan Islam dalam realitas obyektif adalah menata sistem-sistem sosial masyarakat Islam. Dalam artian, kita harus menerjemahkan Islam pada tataran empiris. Misalnya bagaimana mengimplementasikan konsep-konsep normatif tentang siapa yang dimaksud dengan kaum dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin pada formulasinya yang obyektif dan empiris. Implementasi ini akan membantu dalam memberikan panduan tentang bagaimana peranan mereka dalam sistem ekonomi, sosial, birokrasi, dan sebagainya. Tanpa obyektivitas semacam ini, umat Islam akan mengalami spilit existence- dalam realitas subyektif ia Muslim tapi pada saat yang sama ia tidak mampu mempertahankan kemuslimannya pada dunia obyektif.

Berbagai realitas yang dapat dikemukakan untuk memperjelas fenomena melemahnya daya antisipasi terhadap perubahan-perubahan adalah :
Kenyataan Pertama :berada pada perkembangan amal usaha Muhammadiyah; kenyataan kedua berhubungan dengan adopsi teknologi dalam arti produk, dan kenyataan ketiga berkaitan dengan metode atau cara pengembangan organisasi.
Melemahnya daya antisipasi berikut berbagai gejala yang menampakkannya tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor penting, baik eksternal maupun internal. Pertama, terjadinya degradasi aspek pemikiran dalam tubuh Muhammadiyah sebagai suatu pemikiran. Kedua, sebagai jajaran persyarikatan maupun amal usaha lebih terpaku pada rutinitas gerak, ketiga, melemahnya daya dukung ekonomi, dan keempat, sektor pengkaderan.
Jika hal ini tidak diatasi dengan baik, maka Muhammadiyah akan tenggelam dalam arus marginalisasi peranan. Agar jati diri Muhammadiyah sebagai pemekarsa pergerakan inovatif tetap eksis dan menjadi ormas yang berpengaruh di masa depan, maka ada beberapa persoalan yang ia harus rekonstruksi, yakni :
Pertama, merumuskan kembali “ideologi tajdid” yang menjadi jati dirinya, Ketika telah banyak lapangan Muhammadiyah tekad direbut oleh organisasi lain, maka Muhammadiyah harus merumuskan kembali corak tajdid sebagai bahan acuan yang membedakan Muhammadiyah dengan ormas keagamaan lainnya.
Kedua, menghilangkan kesenjangan antara potensi diri yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan tuntutan peranan yang harus dimainkan. Dalam konteks ini, kaderisasi, kepemimpinan adalah aspek yang paling memprihatinkan. Bukan saja kuantitas pimpinan mumpuni yang minim, tetapi juga kualitas pimpinannya juga tidak sepadan dengan tugas yang harus dijalankannya.
Ketiga, Penentuan proritas kegiatan Muhammadiyah telah menjadi organisasi yang sangat ambisius yang ingin mengerjakan begitu banyak bidang tetapi tidak didukung dengan sumber daya dan dana yang sepadan akibat tidak tegasnya dalam memilih lahan kegiatan.
Berbagai fenomena yang digambarkan di atas, baik yang berhubungan dengan kelemahan dan kekuatan Muhammadiyah, maupun yang berkaitan dengan peluang dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah, tentu saja belum menggambarkan keseluruhan persoalan. Masih diperlukan lagi upaya yang serius dan terus menerus untuk menganalisis berbagai fenomena serta mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Penutup / Kesimpulan
Kebutuhan manusia akan agama adalah kebutuhan manusia terhadap kemanusiaan itu sendiri . Islam yang memiliki ajaran sosial sebagai petunjuk, peringatan sekaligus penuntun kepada pencerahan kehidupan sosial. Di era ketika nilai kemanusiaan menjadi degradasi, persoalan kultural hingga struktural menjadi wacana yang memerlukan pemecahan dengan kecerdasan dalam upaya aktualisasi agama.
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan tak bisa menghindari dari respon-respon terhadap fenomena global. Maka dari itu, khittah perjuangan Muhammadiyah dan slogan-slogan yang telah “basi” perlu direkonstruksi ulang dalam direvitalisasi dalam rangka menghadapi tantangan tersebut.
Untuk mempertahankan citranya sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah harus menampilkan dirinya sebagai gerakan ilmu. Jika tidak, Muhammadiyah harus dengan rela melepaskan atribut gerakan tajdid agar beban mental dan psikologi sedikit berkurang, karena saat ini Muhammadiyah menjadi gerakan Islam “Biasa-biasa saja”



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Pendekatan Teologi: dalam memahami Muhammadiyah dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intellektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.

Ahmad, Nur dan Pornomo Tantowi(ed), Muhammadiyah “Digugat” Revosisi di tengah Indonesia yang Berubah. Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000.

Ali, A. Mukti, Alam Pikiran di Indonesia dan Modernisme Islamic Thought in Indonesian. Yayasan NIDA 1971.

Hamka, “K.H. Ahmad Dahlan” dalam Buku Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah. Jakarta 1952.

Kontowijoyo, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah Sebagai Gerakan Organisasi Sosial Keagamaan” dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.

Kusuma, Hadi, Dari Jamaluddin al-Afgani Sampai K.H. Ahmad Dahlan. Persatuan Yogayakarta, t.th.

Jainuri, A Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Keduapuluh Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Nashir, Haedar, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah.Cet. I; Yogyakarta: 2000.

Mulkan, Abdul Munir, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Cet. I; Yogyakarta: Persatuan, 1990.

Noer, Deliar The Modernisme Muslim Movement Indonesia 1900-1942, diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dengan judul Gerakan Modernisme dan Islam di Indonesia 1990-1942 (Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.

Pasyha, Mustafa Kamal, dan Muh. Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2000.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anggran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. Cet. I; PP. Muhammadiyah, 2000.

Rais, Amin, “Kata Pengantar” dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyosong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan 1995.

Shihab, Alwi, Memendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi Indonesia.Cet. I; Bandung: Mizan, 1998.

Sukardi dkk (ed)Embrio Cendikiawan Muhammadiyah. Cet. I; Jakarta : Perkasa 1995.

Read More
Published Januari 15, 2012 by with 0 comment

Pemuda dan Putri Cantik

Suatu ketika seorang pemuda tampan melewati sebuah irigasi. Kemudian, terdengar dengan jelas sosok yang memanggil namanya. Dia telusuri ke arah sumber suara, alangkah terkejutnya ternyata yang memanggilnya adalah seekor kodok.
"Bawalah aku. Ciumlah aku. Aku akan berubah menjadi putri cantik jika kamu sudi menciumku," ungkap kodok tersebut.
Pemuda tersebut lalu membungkuk ke arah sang kodok, kemudian ia mengambil kodok tersebut dan menaruhnya ke dalam tas dan membawanya pergi.
Setibanya dari rumah, Kodok itu pun kembali berkata, "Hai tampan, Jika kamu menciumku, aku akan berubah menjadi putri yang cantik."
Pemuda itu pun mengeluarkan sang kodok dari dalam tasnya, menatap ke arah sang kodok lalu tersenyum, kemudian dimasukkannya kembali ke dalam tas.
Seolah tidak kenal lelah, sang kodok kembali merayu pemuda itu untuk menciumnya.
"Jika kamu benar-benar membantu mengubah diriku kembali menjadi putri cantik, aku akan menjadi teman hidupmu selamanya dan akan mengabulkan semua permohonanmu," ujar sang kodok. Sayangnya, sang pemuda tetap melakukan hal yang sama, menatap sang kodok, tersenyum dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Sang kodok pun merasa heran dan agak kesal. Ia pun bertanya kepada sang pemuda sambil menangis.
"Kamu kenapa, sih? Saya kan sudah memberitahu kami bahwa saya sebenarnya adalah seorang putri cantik. Saya juga rela hidup denganmu dan mau mengabulkan semua permohonanmu," ungkap sang kodok.
Lalu, pemuda itu hanya menjawab, "Lihatlah, saya ini adalah seorang Programer Komputer. Saya tidak punya waktu untuk berpacaran, apalagi memiliki seorang istri. Tapi, memiliki seekor kodok yang bisa berbicara merupakan hal yang cukup menarik dan menghibur bagiku."
@http://www.sentra-edukasi.com

Read More
Published Desember 19, 2011 by with 0 comment

Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance
2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.

B. Filsafat Ilmu Era Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.
Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.

C. Filsafat Ilmu Era Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme

D. Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka Download makalah lengkapnya...
Read More
Published November 23, 2011 by with 0 comment

MTQ Prop. di KSB

Telah lama daku tak menceritakan kegiatan dan aktivitas daku dikau. Kali ini daku akan membagi info seputar kegiatan MTQ Tingkat Prop. di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) - NTB.
Banyak waktu yang disita demi mempersiapkan diri tuk ikut serta dalam kegiatan (lomba) kali ini. Sebelum Ramadhan lalu kami telah melakukan TC (Training Center) di Hotel La Ila Kota Bima, Karena memang rencana diadakannya MTQ ini tepat setelah Bulan Ramadhan 2011, namun apa kendala dan apa gerangan sehingga tertunda hingga bln Nopember 2011 ini. Daku utusan dari Kafilah Kab. Bima, sebelum kami berangkat menuju arena di KSB tentunya ada acara pelepasan oleh Bupati Bima "Bpk. Fery Zulkanain, ST" di Pandopo tempat kediaman beliau dan star ba'da Isya'.
Singkat cerita, sampai di KSB kami di sambut oleh Camat Taliwang selengkapnya...
Read More
Published November 13, 2011 by with 0 comment

AL-MUHKAM WA AL-MUTASYABIH

Pada perkembangannya, masalah muhkam dan mutasyabih telah menjadi wilayah diskursus ambiguitas dan distingsi dan merupakan karakteristik teks yang paling penting dalam kajian-kajian kritis kontemporer, sebab yang membedakan antara teks yang berwatak murni informatif dengan teks sastra terletak pada kemampuan teks sastra menciptakan sistem semantiknya yang unik di tengah sistem semantik umum pada kebudayaan yang relevan dengan teks itu sendiri.
Al-Qur’an sebagai bahasa Tuhan sekaligus bahasa agama diakui oleh setiap orang beriman sebagai petunjuk, hidayah, dan mukjizat yang pada dasarnya datang untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya. Kajian ini menjadi postulat mendasar yang pada akhirnya menimbulkan tanda tanya: "Mengapa ada ayat mutasyabihat yang sulit dipahami, padahal Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, dan bukankah akan mudah dipahami jika semua ayat itu muhkamat" ?


Rumusan Masalah

Sesuai konteks pemahaman di atas, maka ada beberapa masalah penting yang dapat dikaji dalam permasalahan yang diangkat oleh pemakalah, yang rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan muhkam mutasy±bih ?
2.Bagaimana muhkam mutasy±bih dalam persfektif al-Qur’an ?
3.Bagaiman pembagian mutasy±bih serta pandangan ulama terhadap al-Qur’an ?
4.Apa saja kriteria mutasy±bih ?
5.Hikmah adanya ayat-ayat mutasy±bih ?

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka Download Makalah selengkapnya....
Read More
Published November 13, 2011 by with 0 comment

REFORMASI SUFISTIK (Refleksi atas Pemikiran Jalaluddin Rakhmat)

Memadukan antara Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Akhlaki
Ada dua varian pemikiran tasawuf yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki. Tasawuf yang pertama lebih mengarah pada pergulatan pemikiran spekulatif dan intuisi rasa, lebih banyak berkembang di dunia Syi’ah. Penganutnya seperti Ibnu Arabi dan Suhrawardi. Sedangkan tasawuf yang kedua mengarahkan pada perbaikan akhlak dan moral seperti yang dianut oleh Al-Gazali. Dalam konteks keindonesiaan dapat dilacak pada ajaran Hamzah Fanzury dan Muhyiddin Al-Jawi yang bercorak falsafi sedangkan akhlaki (sunni) pada Nuruddin al-Raniri, Abd. Samad al-Palembani dan Hasyim Asyari.
Fenomena yang terjadi sekarang nampaknya masih terjadi varian-varian tersebut. Dan ternyata pada diri Jalaluddin Rakhmat antara tasawuf falasafi dan tasawuf akhlaki mengkristal menjadi satu. Hal terjadi karena akar-akar tasawuf dapat dilacak sampai pada pemikiran spekulatif Syi’ah yang memang mumnya falasafi, akan tetapi Jalaluddin juga sangat kental warna akhlakinya. Realitas ini tidak mengherangkan pada diri seseorang memadu dua varian sekaligus, Suhrawardi (al-hikmah Isyraqiyyah) dan Mulla Sadra (al-Hikmah al-Muta’aliyah) juga memadu antara pemikiran tasawuf dan filsafat serta pemikiran persia klasik sekaligus.
Sebagai contoh tulisan-tulisan banyak diilhamai oleh pemikiran Ali bin Abi Thali dan Ja’far Shadir serta Ali Zainal Abidin (Syi’ah istna Asyariyah), Ibnu Arabi, Al-Gazali (Sunni), Mulla Sadra, Ali Syariati, Murthadha Mutahahhari, Imam Khomeini (juga banyak dipengaruhi Ibnu Arabi), Sayyed Hosein Nasr (Syi’ah kontemporer) dan sebagainya. Jalaluddin menulis bahwa meskipun Ibnu Arabi adalah seorang Sunni tetapi lebih banyak dikaji di dunia Syi’ah. Ia kemudian mengutip pandangan Ibnu Arabi wahdah al-wujud tentang realitas dan entitas.
Ibnu Arabi membagi yang ada menjadi dua macam saja : Huwa dan La Huwa (Dia dan bukan Dia). Sekarang tengoklah ke sekitar. Apa yang disaksikan ? Matahari, pepohonan, hewan, orang lain, atau diri Anda—semuanya—adalah La Huwa. Allah swt.berfirman dalam Qs. Al-Baqarah (2): 115.“Kemanapun kalian menghadapkan wajah kalian, di sana ada wajah Allah”. Sekarang hadapkanlah wajah Anda kemana saja. Apa yang Anda lihat ? Wajah-wajah selain Allah ? La Huwa ? Alquran pasti tidak salah. Yang salah diri kita, karena ihwal kita yang kotor atau karena diri kita belum dihiasi dengan sifat-sifat Tuhan. Dia tidak tampak pada kita. “penampakan” Tuhan itu disebut tajalli . Ketika tajalli, ke mana pun kita arahkan wajah, kita hanya akan melihat Huwa. Oleh karena itu, bersihkan diri kita lebih dahulu, kemudian hiasi diri kita dengan akhlak Tuhan. Yang pertama disebut takhalli.yang kedua disebut tahalli.
Kemudian pada kesempatan yang lain, Jalaluddin mengutip puisi Ibnu Arabi yang merupakan kata “syatahat al-Sufiyah”;“Dia memujiku maka aku memuji-Nya, Dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya”
Puisi ini sering dikutip untuk menunjukkan kekafiran Ibnu Arabi. Padahal, kalau dimaknai, puisi ini berarti. “Tuhan, kau mengabdi kepadaku, aku pun mengadi kepada-Mu”. Karena besarnya kasih-sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia “mengabdi” kepada kita, melayani seluruh keperluan kita. Seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita. Demikian katanya.
Jalaluddin juga sangat banyak dipengaruhi pandangan Imam Al-Gazali, bahkan sejak muda ia telah membaca Ihya ulumuddin karya masterpiece ini. Mengenai masalah-masalah istilah ruh. qalb, akal dan nafs nampak Jalaluddin sangat dipengaruh oleh Al-Gazali. Contohnya ketika ia menulis;
Menurut Al-Gazali, istilah ruh, (ruh), qalb (kalbu), aql (akal) dan nafs (jiwa) sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non-fisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena menjadi pusat aliran darah ke seleruh tubuh qalb adalah jantung….Makna hati yang kedua yaitu; lathifah rabbaniyah ruhaniyah; sesutau yang lembut yang berasal dari Tuhan yang bersifat ruhaniyah. Lathifah itulah yang membuat kita mengetahui dan merasakan sesuatu. Kata Alquran, hati itu mengetahui, merasakan, juga memahami. Jadi, hati adalah satu bagian ruhani yang kerjanya memahami sesuatu. Itulah qalb.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka silahkan download versi lengkapnya....
Read More